Saat delapan dari sembilan fraksi di DPR sudah menyetujui draf revisi UU Mahkamah Konstitusi, pemerintah belum bersedia menandatanganinya. Tanpa persetujuan pemerintah, pembahasan revisi UU MK tidak bisa diselesaikan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Penyelesaian pembahasan revisi keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terancam mengalami kebuntuan. Pemerintah belum menyepakati sejumlah perubahan yang telah disetujui delapan dari sembilan fraksi di Komisi III DPR, terutama ketentuan peralihan masa jabatan hakim konstitusi yang kini masih menjabat.
Berdasarkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diterima Kompas, ketentuan peralihan bagi hakim konstitusi yang tengah menjabat tertera pada Pasal 87 huruf a dan b. Pasal itu mengatur bahwa hakim konstitusi yang telah menjabat 5-10 tahun melanjutkan jabatannya sampai dengan 10 tahun jika disetujui lembaga pengusul. Adapun masa jabatan hakim konstitusi yang sudah menjabat lebih dari 10 tahun berakhir mengikuti usia pensiun 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun.
Usulan pada aturan peralihan itu sudah ditandatangani perwakilan delapan dari sembilan fraksi di Komisi III DPR dalam rapat konsinyering di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, 28-29 November 2023. Hanya perwakilan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) yang tidak membubuhkan tanda tangan. Tidak ada pula tanda tangan dari pemerintah yang dalam pembahasan diwakili Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Saat dikonfirmasi pada Jumat (1/12/2023), Yasonna menegaskan, masih ada hal yang perlu dibahas ulang oleh pemerintah dan DPR. ”Ada poin yang harus dibahas ulang,” ujarnya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (1/12), mengungkapkan, jika pemerintah tidak bersedia menandatangani draf peralihan itu, pembahasan RUU MK bisa dihentikan. ”Kalau pemerintah tidak mau tanda tangan, RUU ini bisa saja didrop,” kata politisi PDI Perjuangan yang biasa dipanggil Bambang Pacul itu.
Padahal, Komisi III menargetkan agar RUU MK bisa mendapatkan persetujuan untuk disahkan menjadi undang-undang pada masa sidang yang akan berakhir pada 5 Desember mendatang. Hal itu penting karena Komisi III DPR masih harus membahas sejumlah RUU lain yang juga mendesak.
Tiga hakim konstitusi
Bambang mengungkapkan, ketentuan peralihan itu akan berdampak pada tiga hakim konstitusi yang kini tengah menjabat. Mereka adalah Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra. Sebab, RUU tersebut akan langsung berlaku setelah disahkan.
Dengan ketentuan yang ada di Pasal 87a RUU MK, kelanjutan masa jabatan Suhartoyo, Enny, dan Saldi harus melalui penilaian dari lembaga pengusul hakim MK yang terdiri dari Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan DPR. Ini karena masa jabatan mereka sudah di atas lima tahun tetapi belum mencapai 10 tahun. Adapun Enny dan Saldi diusulkan oleh Presiden, sedangkan Suhartoyo oleh MA.
Sementara itu, Anwar Usman dan Arief Hidayat yang juga masih menjabat tidak terdampak. Keduanya tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul untuk melanjutkan masa jabatan. Sebab, masa jabatan mereka sudah di atas 10 tahun. Mengacu Pasal 87b RUU MK, kedua hakim konstitusi itu bisa melanjutkan masa jabatannya hingga memasuki usia pensiun.
Ketentuan itu dibuat untuk membatasi kekuasaan hakim konstitusi yang selama ini tidak terbatas. Ini untuk kepentingan jangka panjang bahwa kekuasaan itu harus dibatasi
Meski demikian, Bambang menepis dugaan sejumlah pihak bahwa rumusan Pasal 87a dibuat untuk menyingkirkan sejumlah hakim yang tengah menjabat untuk kepentingan tertentu, tidak terkecuali terkait Pemilu 2024. Hal ini karena seluruh sengketa pemilu akan ditangani oleh MK.
Bambang menegaskan, ketentuan itu dibuat untuk membatasi kekuasaan hakim konstitusi yang selama ini tidak terbatas. ”Ini untuk kepentingan jangka panjang bahwa kekuasaan itu harus dibatasi,” ujarnya.
Ia mengakui, pembahasan RUU MK memang dilakukan di tengah tahapan Pemilu 2024. Akan tetapi, ia mengklaim bahwa itu tidak saling terkait. Apalagi Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat untuk membahas revisi keempat UU MK sejak Februari lalu.
Ikuti putusan MK
Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih menegaskan, revisi keempat UU MK seyogianya mendasarkan diri pada Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023 yang sudah dibacakan pada Rabu (29/11). Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, perubahan ketentuan, baik mengenai masa jabatan maupun syarat usia hakim, tidak berlaku untuk hakim yang tengah menjabat. Aturan baru itu diberlakukan untuk hakim yang diangkat berdasarkan undang-undang yang baru.
”Putusan nomor 81 tersebut sudah berlaku mengikat sejak diucapkan kemarin sehingga menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang, termasuk revisi undang-undang,” kata Enny.
Dalam pertimbangan putusan nomor 81, MK menyatakan perubahan undang-undang tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Ini juga sesuai dengan ketentuan UU No 13/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memberikan jaminan atau perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak perubahan sebuah ketentuan perundangan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai, ketentuan peralihan tersebut melanggar asas keadilan. Pembentuk undang-undang tidak bisa memberlakukan ketentuan baru itu langsung terhadap hakim-hakim lama yang diangkat berdasarkan peraturan lama.
”Ketika jabatan sudah berjalan berdasarkan aturan yang lama, maka seharusnya peraturan yang baru itu menghormati peraturan yang lama, dengan tidak langsung menetapkan bahwa peraturan yang lama itu dikoreksi. Apalagi soal jabatan. Jadi, ini tidak fair,” ujar Aan.