KPU Tindak Lanjuti Putusan Bawaslu dengan Konsultasi ke DPR
KPU menindaklanjuti putusan Bawaslu terkait keterwakilan perempuan dengan mengirim surat konsultasi ke DPR. Pemohon perkara menilai langkah KPU itu tak sesuai putusan sehingga Bawaslu diminta mengadukan KPU ke DKPP.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menindaklanjuti putusan Badan Pengawas Pemilu dengan menyampaikan surat konsultasi kepada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, pemohon atau penggugat menilai tindak lanjut KPU tidak sesuai dengan putusan sehingga Bawaslu diminta mengadukan KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Berdasarkan Pasal 462 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota paling lama tiga hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan. Dalam hal KPU tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu, seperti diatur dalam Pasal 464 UU Pemilu, maka Bawaslu mengadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota KPU, Mochammad Afifuddin, mengatakan, KPU sudah menindaklanjuti putusan Bawaslu dalam perkara nomor 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 terkait dengan pencalonan anggota DPR. Tindak lanjut yang dilakukan berupa mengirimkan surat konsultasi ke Komisi II DPR. Tindak lanjut tersebut sesuai putusan dengan memedomani surat dari Wakil Ketua Mahkamah Agung sesuai bunyi putusan.
”Intinya, kami sudah menindaklanjuti dengan hari ini menyampaikan surat ke Komisi II DPR sebagai bentuk tindak lanjut dari putusan tersebut,” ujarnya di Jakarta, Jumat (1/12/2023). Afifuddin tidak menjelaskan secara rinci maksud dan tujuan dari bentuk tindak lanjut dengan mengirimkan surat konsultasi ke DPR.
Pada Rabu (29/11/2023), Bawaslu menyatakan KPU terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu. Atas pelanggaran administrasi pemilu oleh KPU, Bawaslu memerintahkan KPU melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pada tahapan pencalonan anggota DPR dengan menindaklanjuti putusan MA dan surat Wakil Ketua MA. Bawaslu juga memberikan teguran kepada KPU untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan.
Titi Anggraini menilai, tindak lanjut KPU tidak sesuai dengan perintah Bawaslu.
Tindak lanjut tak sesuai
Menanggapi tindak lanjut yang dilakukan KPU, salah satu pemohon perkara, Titi Anggraini, menilai, tindak lanjut KPU tidak sesuai dengan perintah Bawaslu. Menurut dia, tindak lanjut yang semestinya dilakukan adalah mengoreksi 267 daftar calon anggota DPR yang bermasalah sehingga memenuhi keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Ia melanjutkan, putusan nomor satu menunjukkan KPU terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif pemilu. Artinya, daftar calon yang ditetapkan oleh KPU melanggar aturan administratif pengajuan daftar calon sehingga tidak bisa dibenarkan untuk ditetapkan sebagai calon untuk mengikuti pemilu. ”Poin pertama adalah esensi putusan,” katanya.
Pelanggaran administrasi pemilu dinilai dilakukan oleh KPU karena pada 3 November KPU menetapkan 1.512 daftar calon anggota DPR dari 18 partai politik (parpol) yang di dalamnya terdapat 267 daftar calon anggota DPR yang persentase keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen. Hal itu bertentangan dengan Pasal 245 Undang-Undang (UU) Pemilu dan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 24 P/HUM/2023.
Pasal 245 UU Pemilu mengamanatkan daftar bakal caleg harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Adapun putusan MA dimaksud adalah putusan pada 29 Agustus lalu yang membatalkan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal itu mengatur metode penghitungan 30 persen caleg perempuan, yaitu pembulatan ke bawah jika penghitungan menghasilkan pecahan kurang dari 50 dan pembulatan ke atas jika hasilnya angka pecahan 50 atau lebih.
MA menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”. Untuk diketahui, skema penghitungan yang diputuskan oleh MA ini telah diberlakukan pada Pemilu 2019.
Menurut Titi, Komisi II DPR tidak memiliki urusan dengan pelanggaran administratif yang dilakukan KPU. Sebab, prosedur administratif penetapan daftar calon tetap (DCT) merupakan ranah KPU sehingga tindak lanjut yang dilakukan tidak memerlukan konsultasi dengan DPR. Daftar calon yang tidak berubah hingga hari ketiga sejak putusan dibacakan menunjukkan bahwa KPU tidak melakukan tindak lanjut sesuai dengan putusan Bawaslu.
”Bawaslu harus melaporkan KPU ke DKPP karena tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu. KPU seharusnya sudah punya sikap hari ini karena batas akhir pelaksanaan putusan, bukan justru meminta konsultasi,” tuturnya.
Anggota Bawaslu, Puadi, enggan memberikan penjelasan terkait putusan yang telah dibacakan. Tafsir atas putusan diserahkan kepada KPU ataupun para pemohon. ”Putusan yang sudah kami keluarkan, apalagi kami menjadi majelis, tidak bisa kami menerjemahkan putusan, menjelaskan lagi, atau mengargumentasikan putusan yang sudah kami keluarkan. Kami bisa kena kode etik,” katanya.
Putusan Bawaslu seharusnya memuat perintah yang jelas kepada KPU.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menambahkan, putusan Bawaslu seharusnya memuat perintah yang jelas kepada KPU. Sebab, ada pelanggaran administratif yang dilakukan KPU sehingga perlu ada perintah perbaikan terkait tata cara dan prosedur yang tepat.
”Putusan Bawaslu cenderung menggantung, bahkan seperti menghindari bola panas dan melemparkannya kembali ke KPU,” ujarnya.