Tak Semua Partai Penuhi Imbauan KPU soal Jumlah Minimal 30 Persen Caleg Perempuan
Hasil kajian Netgrit terhadap daftar calon tetap DPR RI di Pemilu 2024 menunjukkan hanya PKS yang memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30 persen di semua daerah pemilihan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Sebanyak 17 partai politik dari 18 parpol nasional peserta Pemilu 2024 masih mendaftarkan calon anggota DPR RI yang tidak memenuhi jumlah minimal 30 persen perempuan untuk sejumlah daerah pemilihan. Hal ini dinilai mengindikasikan imbauan Komisi Pemilihan Umum melalui surat edaran agar pendaftaran caleg memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan tak diikuti oleh banyak partai politik.
Penelusuran Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) terhadap daftar calon tetap (DCT) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), daftar calon anggota DPR dari 17 partai politik tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil) yang diikuti.
Padahal, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Demokrat merupakan parpol yang jumlah caleg perempuan di dapilnya paling banyak kurang dari 30 persen. Dari 84 dapil yang diikuti PKB, 29 dapil di antaranya tidak memuat daftar calon dengan minimal 30 persen perempuan. Sementara daftar caleg di 26 dapil yang didaftarkan PDI-P kurang dari 30 persen, dan daftar caleg Demokrat di 24 dapil kurang dari 30 persen.
Satu-satunya parpol yang daftar calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dari 580 caleg PKS di 84 dapil, di setiap dapil telah memenuhi keterwakilan perempuan atas 30 persen.
”Ini adalah satu pelanggaran yang nyata-nyata sangat serius yang belum pernah terjadi di pemilu kita sejak adanya pengaturan afirmasi,” kata Direktur Eksekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay saat konferensi pers bertajuk ”Quo Vadis Penyelenggara Pemilu 2024?”, Kamis (9/11/2023).
Hadar menuturkan, sebagian parpol telah berupaya memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang saat mendaftarkan calonnya ada 29 dapil yang keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen, di DCT sudah berkurang signifikan menjadi empat dapil.
Sementara Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dari awalnya ada 27 dapil yang keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen berkurang menjadi 19 dapil. Adapun Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang saat pendaftaran tidak ada satu pun dapil yang jumlah caleg perempuan kurang dari 30 persen justru saat penetapan DCT ada lima dapil yang keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen.
”Seharusnya semua dapil memuat caleg perempuan paling sedikit 30 persen,” ujar Hadar.
Menurut dia, UU Pemilu telah mengatur secara jelas afirmasi kepada perempuan agar parpol mengajukan daftar calon dengan memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Namun, pada pemilu kali ini, hampir semua parpol tidak menaati aturan tersebut.
KPU, kata dia, justru menolerir tindakan parpol yang melanggar perundang-undangan. Kondisi ini juga berdampak pada hak pencalonan ribuan perempuan untuk ikut pemilu tersingkirkan karena kuota bagi mereka diisi oleh caleg laki-laki.
Tidak semua patuh
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, tidak semua parpol mematuhi surat dinas yang disampaikan KPU agar memedomani penghitungan 30 persen caleg perempuan sesuai putusan Mahkamah Agung. Surat dinas yang tidak memiliki daya ikat kepada parpol akhirnya diabaikan sehingga banyak parpol yang mendaftarkan calegnya tidak sesuai peraturan yang berlaku.
Menurut dia, klaim KPU yang menyebut jumlah caleg perempuan mencapai 37,13 persen tidak tepat. Sebab, penghitungan KPU dilakukan secara kumulatif di seluruh dapil. Padahal, arena pertarungan berada di setiap dapil sehingga ketentuan minimal 30 persen caleg perempuan seharusnya dihitung per dapil.
”Regulasi mengenai afirmasi perempuan di UU Pemilu sudah cukup baik dan sudah diterapkan dalam dua pemilu terakhir, tetapi sekarang justru mengalami kemunduran,” kata Khoirunnisa.
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, pencalonan parpol di dapil yang keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen tidak sah. Parpol harus mengoreksi daftar calon dan KPU semestinya hanya menerima pendaftaran parpol jika memenuhi ketentuan tersebut. Jika tidak ada koreksi, pemilu terancam inkonstitusional dan berbuntut pada potensi gugatan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wahidah Suaib, menilai, ada tendensi dari KPU untuk melemahkan aturan sekaligus mendorong ketidakpatuhan parpol mengikuti ketentuan perundang-undangan. Sementara Bawaslu cenderung tidak menjalankan fungsi pengawasan, khususnya dalam memastikan semua parpol mematuhi ketentuan keterwakilan perempuan. Peran pengawasan justru lebih banyak dilakukan oleh masyarakat sipil.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, mendesak Bawaslu agar tidak mendiamkan situasi ini. Bawaslu harus melakukan penegakan hukum terhadap ketidakpatuhan KPU dalam memastikan semua parpol mengikuti ketentuan perundang-undangan dalam proses pencalegan. Bawaslu bisa melakukan tindakan tanpa harus menunggu laporan dari masyarakat.
Direktur Eksekutif International Non Governmental Organization Forum on Indonesian Development (Infid) Iwan Misthohizzaman mengatakan, rendahnya perempuan yang mengikuti Pemilu 2024 bisa berakibat pada menurunnya jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR. Akibatnya, produk legislasi yang dibuat parlemen berpotensi tidak mengakomodasi kepentingan perempuan sehingga muncul ketimpangan jender.
Secara terpisah, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan, tidak ada sanksi bagi parpol yang daftar calonnya di setiap dapil tidak memenuhi paling sedikit 30 persen perempuan. Sebab, UU Pemilu hanya mengatur ketentuan dan tidak memuat sanksi bagi yang tidak melaksanakan ketentuan itu.
”Sepanjang yang saya ketahui, di UU Pemilu tidak ada sanksi. Ketika ada publikasi, sama dengan KPU menginformasikan kepada publik tentang partai politik mana yang memenuhi keterwakilannya 30 persen di daftar calon. Jadi, masyarakat bisa membuat penilaian tentang komitmen masing-masing partai politik tersebut,” katanya.