Agus Rahardjo Akui Sempat Tak Ungkap Perintah Presiden Hentikan Penyidikan Setnov
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku tak menuruti keinginan Presiden Jokowi hentikan penyidikan Setnov. Kala itu pun diakui mantan komisioner KPK, Saut Situmorang, ada 2 pimpinan KPK yang tak setuju kasus itu disidik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2015-2019 Agus Rahardjo, Jumat (1/12/2023), mengaku sempat tak menceritakan pemanggilan dirinya oleh Presiden Joko Widodo kepada pihak lain. Hingga di acara bincang-bincang dengan Rosianna Silalahi di Kompas TV, Kamis malam, Agus mengaku dalam pemanggilan itu ia diminta Presiden menghentikan penyidikan terhadap bekas Ketua DPR Setya Novanto terkait dugaan korupsi pada proyek kartu tanda penduduk elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Permintaan Presiden itu, menurut Agus, sebelumnya tak pernah ia ungkap kepada siapa pun. Harapannya, agar KPK semasa ia pimpin tetap bekerja seperti biasa untuk menuntaskan perkara. ”Lama setelah kejadian, baru saya cerita (kepada) komisioner (KPK) yang lain,” ujar Agus yang sebelum menjabat sebagai Ketua KPK, lebih dahulu menjabat sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Hal itu dia sampaikan saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Dalam bincang-bincang dengan Rosianna dalam acara Rosi di Kompas TV, Agus mengaku bahwa ia dipanggil sendirian menemui Presiden Jokowi. Saat itu, Presiden ditemani oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Agus heran dengan pemanggilan tersebut karena biasanya lima unsur pimpinan KPK, termasuk dirinya, dipanggil Presiden secara bersama-sama. Apalagi, saat menemui Presiden di tempat kerjanya kala itu, ia tidak masuk lewat ruang wartawan, tetapi melalui masjid. Begitu masuk, Presiden Jokowi marah dan memintanya untuk menghentikan kasus bekas Ketua DPR Setya Novanto, atau dikenal dengan panggilan Setnov, dalam perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el).
Akan tetapi, Agus tidak menuruti keinginan Presiden Jokowi karena surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) kasus KTP-el sudah dikeluarkan tiga minggu sebelum pemanggilan tersebut. Apalagi, KPK saat itu tidak bisa mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Pengakuan Agus itu pun didukung oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dan mantan komisioner KPK, Saut Situmorang. Alexander mengatakan, Agus pernah bercerita terkait pemanggilan Presiden tersebut kepada pimpinan KPK lainnya. Namun, keinginan Presiden Jokowi ditolak karena sprindik terkait kasus korupsi KTP-el sudah terbit dan tidak mungkin dihentikan penyidikannya.
Saut mengungkapkan, Agus memberi tahu dirinya soal pemanggilan Presiden tersebut sebelum pimpinan KPK menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi pada 13 September 2019. Adapun Saut menandatangani sprindik kasus KTP-el pada 2017.
Saut mengungkapkan, dalam kasus e-KTP terdapat tiga unsur pimpinan yang setuju kasus tersebut dilanjutkan ke penyidikan dan dua unsur pimpinan lainnya tidak setuju.
Menurut Saut, biasanya Presiden Jokowi memanggil lima unsur pimpinan tidak langsung terkait dengan kasus yang ditangani KPK. Ketika terjadi pertemuan dan membicarakan perkara yang ditangani KPK, maka hal itu bertentangan dengan Pasal 36 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal itu disebutkan, pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.
Saut mengungkapkan, dalam kasus e-KTP terdapat tiga unsur pimpinan yang setuju kasus tersebut dilanjutkan ke penyidikan dan dua unsur pimpinan lainnya tidak setuju. Namun, ia tidak mau mengungkapkan nama pimpinan yang setuju dan tidak setuju. Ia menegaskan, pimpinan tidak memaksakan kasus ini, tetapi penyidik menyimpulkan bahwa kasus ini dilanjutkan ke penyidikan.
Bisa jadi tindak pidana
Menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, tindakan Presiden Jokowi tersebut bisa menjadi tindakan pidana jika permintaan itu diiringi dengan upaya untuk merintangi penyidikan. Zaenur menegaskan, tidak ada satu pun pihak atau pejabat yang berwenang meminta penghentian perkara.
Ia mengatakan, permintaan untuk menghentikan sebuah perkara merupakan bentuk intervensi nyata dari Presiden kepada KPK yang merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan tidak tunduk pada kekuasaan mana pun sebelum UU KPK direvisi. ”Ketika kekuasaan mengintervensi KPK, maka itu juga merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden,” kata Zaenur.
Menurut dia, masalah ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan revisi UU KPK. Sebelum UU KPK direvisi, KPK susah dikendalikan. Akibatnya, Presiden dan DPR merevisi UU KPK. Ketika UU KPK berhasil direvisi, KPK berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif sehingga Presiden punya banyak instrumen untuk mengintervensi KPK. Revisi UU KPK ini menyebabkan KPK menjadi hancur karena kehilangan independensi.
Ia menegaskan, KPK harus independen agar bisa memproses secara efektif kepada pemegang kekuasaan. Oleh karena itu, UU KPK harus kembali direvisi agar KPK menjadi independen lagi.