Ihwal Keterwakilan Perempuan, KPU Terbukti Langgar Administrasi Pemilu
Bawaslu menyatakan KPU terbukti sah melakukan pelanggaran administratif pemilu terkait keterwakilan perempuan pada calon anggota DPR. KPU mengaku akan mempelajari salinan putusan Bawaslu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memutus Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar administrasi pemilu berkaitan dengan pengaturan keterwakilan calon anggota legislatif perempuan sebesar 30 persen. Karena itu, KPU diminta untuk melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan pencalonan anggota DPR sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 24 P/HUM/2023 dan Surat Wakil Ketua MA Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 tanggal 23 Oktober 2023.Adapun KPU masih akan mempelajari putusan tersebut.
Putusan itu dibacakan oleh majelis pemeriksa Bawaslu yang dihadiri oleh ketua majelis Puadi dan anggota majelis Totok Hariyono, Lolly Suhenti, serta Herwyn Malonda di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam pertimbangan putusan, Puadi mengatakan, majelis pemeriksa menilai tindakan KPU selaku terlapor terlambat dan membuktikan bahwa mereka tidak memiliki komitmen dan keseriusan untuk melaksanakan putusan MA. Keterlambatan itu, lanjutnya, mengakibatkan ketidaksiapan parpol peserta pemilu untuk melakukan perbaikan daftar bakal calon untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Majelis pemeriksa menilai tindakan KPU selaku terlapor terlambat dan membuktikan bahwa mereka tidak memiliki komitmen dan keseriusan untuk melaksanakan putusan MA.
”Terlapor justru mengajukan fatwa kepada MA yang pada pokoknya meminta pemberlakuan putusan MA terhadap penyelenggaraan pemilu selanjutnya (2029). Surat kemudian ditanggapi melalui Surat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 yang salah satu poinnya menyatakan pelaksanaan putusan uji materi MA adalah wewenang KPU, bukan di ranah MA,” kata Puadi.
Sebelumnya, pada 29 Oktober 2023, MA mengabulkan permohonan pengujian Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal itu mengatur metode penghitungan 30 persen caleg perempuan, yaitu pembulatan ke bawah jika penghitungan menghasilkan pecahan kurang dari 50 dan pembulatan ke atas jika hasilnya angka pecahan 50 atau lebih.
MA membatalkan norma itu karena dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Kompas, 31/8/2023).
Puadi juga menilai, KPU seharusnya segera menentukan sikap terkait waktu pelaksanaan putusan MA apakah dilaksanakan pada Pemilu 2024 atau pemilu selanjutnya. Ketidakjelasan sikap KPU itu pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Sikap terlapor dinilai menunjukkan pengingkaran keadilan perempuan sebagaimana adagium hukum justice delayed is justice denied atau keadilan yang tertunda sama saja dengan mengingkari keadilan itu sendiri.
Sebab, pada 3 November lalu, KPU telah menetapkan daftar calon anggota DPR dari 18 partai politik melalui daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2023 yang di dalamnya terdapat 267 daftar calon anggota DPR yang persentase keterwakilan perempuannya kurang dari 30 persen. Hal itu, menurut Puadi, bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu dan Putusan MA No 24 P/HUM/2023.
”Majelis pemeriksa berpendapat tindakan terlapor yang tidak mengindahkan putusan MA No 24 P/HUM/2023 dalam proses pencalonan merupakan pelanggaran administrasi pemilu sesuai dengan ketentuan Pasal 460 Ayat (1) UU Pemilu,” ujarnya.
Setelah mendengarkan keterangan pelapor, terlapor, dan saksi selama persidangan, Bawaslu memutuskan menyatakan KPU terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administrasi pemilu. Bawaslu juga memerintahkan kepada terlapor untuk melakukan perbaikan administratif terhadap tata cara prosedur dan mekanisme pada tahapan pencalonan anggota DPR dengan mengindahkan Putusan MA No 24 P/HUM/2023 dan Surat Wakil Ketua MA Nomor 58/WKMA.Y/SB/X/2023 tanggal 23 Oktober 2023.
”Memberikan teguran kepada terlapor untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan,” ucap Puadi.
Ditemui seusai persidangan, salah satu pelapor, Wahidah Suaib, mengatakan, pihaknya berbahagia karena Bawaslu telah menjalankan fungsi kontrol, pengawasan, dan penegakan aturan yang semestinya ditegakkan. Aturan keterwakilan perempuan 30 persen, menurut dia, adalah sesuatu yang sangat nyata karena diatur secara eksplisit dalam undang-undang sehingga tidak perlu penafsiran.
Ia juga mengapresiasi putusan Bawaslu yang meminta KPU memperbaiki DCT yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen di 267 daerah pemilihan. Seharusnya, Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk membatalkan atau menyatakan parpol yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu.
”Hari ini putusan Bawaslu menerima semua permohonan kami dan secara nyata mengatakan KPU telah melakukan pelanggaran administrasi,” kata Wahidah.
Jika memang ada itikad baik dari KPU untuk mematuhi putusan Bawaslu, KPU seharusnya mengembalikan hak ribuan bakal calon anggota legislatif perempuan yang seharusnya masuk dalam daftar bakal caleg.
Diharapkan KPU tak menunda
Wahidah berharap KPU tidak lagi menunda-nunda eksekusi putusan Bawaslu ini. Kesempatan itu seharusnya digunakan untuk memperbaiki kesalahan yang dikoreksi oleh MA ataupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Perjuangan kami sudah panjang. Kami sudah menguji materi PKPU ke MA. Itu dikabulkan, tetapi tidak ditindaklanjuti. DKPP juga telah memberikan peringatan keras kepada Ketua KPU dan sanksi peringatan kepada anggota, tetapi ternyata tidak ada efeknya,” kata Wahidah.
Ia menyadari eksekusi putusan Bawaslu berkejaran waktu dengan tahapan pemilu, baik itu masa kampanye Pemilu Legislatif 2024 maupun proses pencetakan logistik pemilu. Namun, jika memang ada itikad baik dari KPU untuk mematuhi putusan Bawaslu, KPU seharusnya mengembalikan hak ribuan bakal calon anggota legislatif perempuan yang seharusnya masuk dalam daftar bakal caleg.
”Kalau mau menegakkan keadilan substanstif untuk semua, semestinya daftar caleg di 267 daerah pemilihan yang belum memenuhi syarat itu diperbaiki. Bukan hanya untuk caleg di DPR RI, tetapi juga DPRD provinsi serta DPRD kabupaten dan kota supaya adil buat semua partai politik,” kata Wahidah.
Ia yakin parpol sebenarnya memiliki kandidat-kandidat perempuan untuk memenuhi syarat keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Namun, karena KPU tidak tegas terhadap aturan itu, akhirnya syarat minimal itu tak terpenuhi hingga DCT ditetapkan pada awal November lalu.
Komisioner KPU, Mochammad Afifuddin, mengatakan, KPU akan mempelajari terlebih dahulu salinan putusan lengkap Bawaslu. KPU akan menindaklanjuti putusan itu setelah menggelar rapat pleno dengan seluruh komisioner KPU. Prinsipnya perbaikan yang dilakukan itu tidak boleh mengganggu tahapan pemilu ataupun pengadaan logistik pemilu.
”Saya, kan, harus laporan dulu hasil sidangnya. Kami akan memperbaiki mana yang harus diperbaiki,” katanya singkat.