Demokrasi Dinilai Melemah, Masyarakat Sipil Serukan Kawal Pemilu
Ratusan aktivis, pegiat antikorupsi, tokoh pers, akademisi, hingga guru besar yang tergabung dalam Forum Lintas Generasi menyerukan masyarakat untuk mengawal penyelenggaraan Pemilu 2024.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat memandang praktik demokrasi di Indonesia kian melemah. Pelemahan itu berjalan secara senyap melalui institusi hukum. Karena itu, mereka meminta seluruh elemen bangsa untuk mengawasi segala bentuk kecurangan yang berpotensi terjadi dalam Pemilu 2024 sebagai upaya menyelamatkan demokrasi.
Seruan tersebut disampaikan oleh ratusan orang dari kelompok aktivis, pegiat antikorupsi, tokoh pers, pengajar, hingga guru besar yang tergabung dalam Forum Lintas Generasi. Seruan itu diawali dengan mimbar terbuka untuk para hadirin yang hadir di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Senin (27/11/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Mereka di antaranya Ketua STF Driyarkara Simon Petrus Lili Tjahjadi; Ketua Ikatan Alumni Driyarkara Yustinus Prastowo; Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society Omi Komaria Madjid; Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto; sastrawan sekaligus perupa Goenawan Mohamad; dan aktivis dari Poros Anak Muda Sosia Politika, Acep Jamaludin.
Karlina Supelli, filsuf dan salah satu astronom perempuan pertama RI, berpendapat, tanda bahaya terhadap demokrasi sudah menyala sejak Pemilu 2019. Saat itu, pembelahan terjadi besar-besaran yang menyedot energi dan membuat publik tidak menyadari kondisi terkini.
”Puncaknya (penurunan demokrasi) pada putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, beberapa waktu lalu. Itu terang-terangan menodai rasa keadilan. Kita tidak boleh diam saja. Perusakan demokrasi terjadi dari dalam demokrasi itu sendiri melalui kerangka hukum,” ujarnya.
Putusan MK tersebut memperbolehkan orang berusia di bawah 40 tahun untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden apabila pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan itu dinilai oleh sejumlah pihak sebagai upaya untuk memuluskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Karlinajuga menyinggung kasus yang melibatkan terdakwa Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Mereka dinilai telah mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut Karlina, kasus itu merupakan upaya kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang HAM karena bersikap kritis.
Ini panggilan untuk semua orang agar terlibat. Kita perlu mencegah kecurangan. Pemilu harus mengedepankan etika dan moral. Penting sekali untuk memasukkan moral dan etika dalam variabel bernegara.
Secara perlahan, lanjut dia, Indonesia menuju rezim otokrasi elektoral–pemimpin yang terpilih lewat pemilu demokratis tetapi secara bertahap membajak berbagai institusi demokrasi dan meredam nalar kritis. ”Wajah demokrasi masih ada, tapi makin lama makin hilang. Mari kita kawal Pemilu 2024 karena kejujuran lebih baik daripada kebajikan moral,” katanya.
Yustinus Prastowo menambahkan, seruan bersama ini baru sebatas permulaan dan belum menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, Forum Lintas Generasi perlu menyerap aspirasi dan melibatkan pihak lebih banyak lagi.
”Ini panggilan untuk semua orang agar terlibat. Kita perlu mencegah kecurangan. Pemilu harus mengedepankan etika dan moral. Penting sekali untuk memasukkan moral dan etika dalam variabel bernegara,” ujar Yustinus yang juga Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis itu.
Ia juga meminta agar kandidat pemilu tidak merendahkan generasi Z dan milenial dengan berpandangan bahwa anak muda hanya senang hal yang lucu-lucu. Anak muda dinilai sudah cukup cerdas untuk memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak, visi, misi, dan program yang ditawarkan kandidat.
Sulistyowati Irianto mengajak seluruh pengajar dan guru besar di universitas untuk bersuara dan bergerak. Fungsi ilmu pengetahuan tidak akan berjalan apabila akademisi hanya diam dan menerbitkan karya ilmiah. ”Mari kita terjun ke masyarakat, menyadarkan pentingnya mengawal pemilu,” ujarnya.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim berpandangan, demokrasi Indonesia saat ini berada di tepi jurang. Seluruh pihak harus bersuara dan berjuang untuk menyelamatkannya. Hal itu bisa dilakukan dengan mengawal jalannya Pemilu 2024.
Gejala-gejala kecurangan dinilai telah muncul di daerah-daerah dan terlihat. Namun, diperlukan validasi atau pembuktian untuk menguatkan temuan yang mengarah pada kecurangan. ”Karena itu, saya mengajak kawan-kawan semua untuk berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk mengawal Pemilu 2024. Mari kita buat riset penelitian,” terangnya.
Temuan-temuan tersebut, kata Sasmito, tidak hanya dilaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tetapi juga sebagai dasar untuk membangun gerakan masyarakat. Dengan demikian, publik perlu memastikan segala bentuk kecurangan ditindaklanjuti demi kepastian supremasi sipil dan hukum.
Menurut pengajar STF Driyarkara, Yanuar Nugroho, capaian negara dalam demokrasi tidak boleh mundur. Sebab, tidak ada negara yang maju tanpa diikuti penguatan demokrasi dan partisipasi masyarakat. ”Ini soal menjaga demokrasi, menurut saya, kini dalam bahaya besar. Segala cara yang terlihat demokratis kini dilakukan untuk membunuh demokrasi,” ujarnya.