Jelang Pemilu 2024, Kongres Ulama Perempuan Serukan Lima Maklumat
Salah satu dari lima maklumat berisi seruan agar kekuasaan tak digunakan sewenang-wenang, melainkan untuk wujudkan cita-cita bangsa.
JAKARTA, KOMPAS — Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI mengeluarkan lima maklumat untuk merespons situasi politik jelang Pemilihan Umum 2024 saat ini. Lima maklumat itu di antaranya seruan untuk menjalankan pemilu dengan cara yang ma’ruf atau baik dan bermartabat untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Lima butir maklumat politik itu dibacakan oleh Masrukhah, Ida Rasyida, Lailatul Fitriyah, dan Faiquhuddin Abdul Qadir di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (20/11/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Lima butir maklumat itu mengingatkan kembali bahwa cita-cita luhur berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945 adalah untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, kekuasaan yang dipercayakan kepada para penyelenggara negara seharusnya semata untuk mencapai cita-cita itu. Bukan justru digunakan secara sewenang-wenang dan mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan, melukai rasa keadilan bangsa, dan merendahkan prinsip kedaulatan rakyat.
Baca juga: Pemilu 2024 Menjadi Ujian Netralitas ASN
Kekuasaan yang dipercayakan kepada para penyelenggara negara seharusnya semata untuk mencapai cita-cita itu, bukan justru digunakan secara sewenang-wenang.
Kedua, sistem demokrasi di Indonesia mensyaratkan pemilihan presiden dan anggota legislatif sebagai wasilah (sarana) menuju pencapaian cita-cita luhur berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, norma-norma dan proses-prosesnya harus ma'ruf atau sesuai peraturan perundang-undangan, menjunjung tinggi akal sehat, dan memberi ketenangan batin rakyat. Segala upaya pelemahan demokrasi, manipulasi hukum, praktik politik uang, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kontestasi politik tidak bisa dibenarkan.
Ketiga, perempuan sebagai warga negara yang mencakup separuh penduduk Indonesia merupakan subyek penuh dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Perempuan selalu hadir pada saat-saat genting untuk ikut menjaga dan merawat tanah air, warga dan anak bangsa. Oleh karena itu, perspektif, kepentingan, kemaslahatan, dan keterwakilan perempuan merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan dalam seluruh aspek penyelenggaraan pemilu agar bermartabat dan berintegritas sehingga dapat mewujudkan peradaban yang berkeadilan.
Keempat, menurut KUPI, masyarakat sipil berfungsi sebagai pilar penyangga bangsa yang tak henti memperjuangkan cita-cita luhur berbangsa dan bernegara. Mereka tanpa lelah membela kaum tersingkir, terpuruk, dan terluka dalam perjalanan bersama yang penuh liku-liku. Oleh karena itu, daya kerja dan ruang gerak masyarakat sipil perlu terus dikuatkan, dipertahankan, dan dirawat sebagai bagian dari kekuatan warga bangsa untuk memastikan berlangsungnya proses berdemokrasi yang sejati.
Kelima, ulama perempuan Indonesia telah berperan penting dalam sejarah perjuangan bangsa dan negara, dan terus berperan aktif dalam merawat Negara Kesatuan RI (NKRI), menjaga kedaulatan rakyat, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, atas dasar keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah, ulama perempuan Indonesia bertekad mengambil peran kepemimpinan untuk ikut mengawal proses berdemokrasi sejati sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil untuk mencapai cita-cita luhur berbangsa dan bernegara melalui pemilu bersih, jujur, aman, dan berintegritas demi terwujudnya peradaban yang berkeadilan.
Baca juga: Suara Kegelisahan Mahasiswa dan Warga di Mimbar Bebas Surabaya
Hukum jadi alat kekuasaan
Ketua Majelis Musyawarah KUPI Badriyah Fayumi mengatakan, kepedulian KUPI bukan pada politik partisan untuk mendukung calon tertentu. Akan tetapi, menurut dia, bagaimana KUPI sebagai bagian masyarakat sipil ikut mengawal pemilu dalam berjalan bersih dan bermartabat.
Ia juga mengungkapkan keprihatinannya pada situasi politik belakangan. Ia menyebut hukum dan aparatur negara dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Ia mencontohkan, beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah norma UU tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini menuai penolakan dari para pakar hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat. Kemudian, tak lama berselang terbukti terjadi pelanggaran kode etik di dalam proses putusan MK tersebut.
Menurut dia, pascaputusan itu, MK harus melakukan reformasi internal dan memulihkan kredibilitas agar marwah MK sebagai lembaga negara pengawal konstitusi kembali sebagaimana mestinya.
Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan & Politik berunjuk rasa menolak Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang keterwakilan perempuan dalam partai di depan Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/4/2013).
Badriyah menegaskan, sebagai representasi, kalangan agama bergerak di ranah kultural. Sementara itu, aktor politik, eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai pengemban kekuasaan merupakan bagian dari negara yang ada di ranah struktural. Mereka tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dan saling menafikan satu sama lain.
Oleh karena itu, menurut dia, aspirasi KUPI untuk mewujudkan pemilu yang bersih, adil, dan bermartabat adalah titik pertalian antara visi keislaman dan kebangsaan dalam memenuhi keadilan.
”Visi keislaman KUPI berkelindan dengan visi kebangsaan, kemanusiaan, serta kesemestaan bagi terwujudnya cita-cita peradaban berkeadilan,” katanya.
KUPI juga menyoroti tentang tidak terpenuhinya kuota 30 persen calon anggota legislatif perempuan. Mereka menilai hal ini adalah langkah mundur.Baca juga: Tak Semua Partai Penuhi Imbauan KPU soal Jumlah Minimal 30 Persen Caleg Perempuan
Representasi perempuan
KUPI juga menyoroti tentang tidak terpenuhinya kuota 30 persen calon anggota legislatif perempuan. Mereka menilai hal ini adalah langkah mundur di mana seharusnya caleg perempuan pada pemilu kali ini panen atau lebih banyak dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Nur Rofiah, mengatakan, KUPI sangat sedih dengan fakta tersebut. KUPI sebenarnya berharap mereka yang maju sebagai caleg adalah aktor perempuan yang membawa perubahan. Dengan demikian, perspektif ulama perempuan terpenuhi secara biologis, yaitu berjenis kelamin perempuan.
Namun, karena kenyataan tidak seindah harapan, dan daftar calon tetap (DCT) caleg 2024 sudah ditetapkan, strategi yang akan diambil KUPI adalah melakukan pengaderan, pembibitan bagi calon anggota legislatif perempuan untuk pemilu berikutnya. Pengaderan tidak lagi akan diserahkan secara alami, tetapi KUPI juga ingin berinisiatif melakukan gerakan sistemik agar bisa mempersiapkan perempuan berkhikmad di legislatif.
”Tugas kita sekarang juga bertugas untuk memastikan bahwa siapa pun yang terpilih nanti harus memiliki perspektif perempuan yang kuat. Calon anggota legislatif yang laki-laki juga harus memiliki perspektif yang berpihak terhadap aspirasi perempuan,” tegasnya.
Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Musyawarah KUPI, Alissa Wahid, menambahkan, ada tiga hal yang perlu didorong kepada calon pemimpin ke depan. Pertama, mereka harus memastikan keadilan seutuhnya atau keadilan hakiki menjadi cara pandang utama.
Kedua, lanjutnya, mereka harus punya kebijakan yang berpihak pada kelompok yang terpinggirkan, yaitu kelompok yang dilemahkan oleh sistem seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan perempuan. Ketiga, calon pemimpin juga harus bisa memastikan setiap agenda pembangunan membawa perspektif yang adil, termasuk adil jender, dan afirmasi untuk perempuan.