Suara Kegelisahan Mahasiswa dan Warga di Mimbar Bebas Surabaya
Universitas Dr Soetomo di Surabaya, Jawa Timur, menjadi tempat pelaksanaan Mimbar Bebas Mahasiswa Bersama Rakyat Selamatkan Demokrasi. Tema Tolak Politik Dinasti dan Tuntaskan Pelanggaran Hak Asasi Manusia diusung.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Suasana Mimbar Bebas Mahasiswa Bersama Rakyat Selamatkan Demokrasi di Universitas Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/11/2023). Mimbar Bebas mengkritisi perjalanan rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Lapangan di depan Gedung F Universitas Dr Soetomo (Unitomo), Surabaya, Jawa Timur, Rabu (15/11/2023), dipenuhi massa. Mereka menggelar Mimbar Bebas Mahasiswa Bersama Rakyat Selamatkan Demokrasi bertema Tolak Politik Dinasti dan Tuntaskan Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).
Di sisi barat lapangan berderet penjual makanan dan minuman. Ada ote-ote, pentol, gorengan, keripik stik, roti, kue, es teh, dan kopi. Harganya dalam kisaran Rp 2.000-Rp 25.000, bergantung jenis dan porsi. Barisan lapak itu menjadi penyelamat dan penyemangat peserta mimbar bebas yang telah hadir meski disengat terik sinar matahari dan suhu 36 derajat celsius.
Di lapangan telah berdiri panggung untuk orasi, puisi, lagu. Di samping kiri terbentang spanduk putih untuk ditandatangani sebagai Petisi Aliansi Mahasiswa Jatim Bersama Rakyat Selamatkan Demokrasi 15 November 2023. Spanduk dan poster berisi kritik serta kecaman dibentangkan di dinding, tiang, dan pagar sekeliling lapangan utama kampus di tepi Jalan Nginden Semolo itu.
Beberapa poster dan spanduk terbentang di sana. Beberapa di antaranya bergambar Presiden Joko Widodo dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan bagian mata ditutup tulisan censored alias sensor. Kritik, antara lain, bertuliskan ”Jokowi Tak Dewasa Berdemokrasi”, ”MK Mahkamah Keluarga”, ”Lagi Haus Kekuasaan Pak De?”, ”Asline Mager Pol”, ”Emang Boleh Sedinasti Itu?”, dan ”Kita Seolah-olah Merayakan Demokrasi Tetapi Memotong Lidah Orang Yang Pemberani”.
Dari spanduk dan poster, mimbar bebas ini jelas mengarahkan kritik kepada Presiden Joko Widodo. Kritik diberikan salah satunya karena Presiden Jokowi dinilai ”mendorong” putra sulung Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra). Sebelumnya, putra bungsu Presiden, yakni Kaesang Pangarep, bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia dan dalam dua hari dipilih sebagai ketua umum.
Mendekati pukul 16.00, mimbar bebas dimulai. Pembawa acara meminta semua peserta yang tersebar berkumpul di depan panggung meski cuaca panas masih terasa. Massa yang enggan berkumpul disindir dengan penggalan ungkapan pergerakan, yakni tunduk tertindas atau bangkit melawan karena diam adalah pengkhianatan.
Kemudian dikumandangkan lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, disusul lagu ”Darah Juang”. Setelah itu, bergiliran orang tampil di mimbar bebas.
Rudi Surya, kreator konten dari Bangkalan, Pulau Madura, mengatakan, dalam mimbar bebas jangan ada yang baperan atau sensitif dan mudah tersinggung karena bawa perasaan (baper). ”Jangan gampang baper terus pindah partai, iya kalau menang,” kata pemuda pemengaruh yang dijuluki si raja sambat oleh pengikut akun media sosialnya.
Menurut Fredrik Mincar, mahasiswa, Jokowi telah mencederai demokrasi dengan menjalankan politik dinasti untuk menjamin kelanggengan kekuasaan. Ia juga menyoroti Anwar Usman yang dicopot dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar etik terkait putusan yang dianggap memuluskan jalan Gibran ke kontestasi Pilpres 2024.
”Di mimbar bebas ini, mari menyuarakan perlawanan. Hidup rakyat yang melawan! Hidup mahasiswa!,” katanya.
Kegelisahan
Senada diutarakan oleh Abi Naga Parawansa, mahasiswa. Dengan lebih tegas dan keras, ia menyatakan gelisah karena pembangkangan konstitusi dan pelecehan demokrasi oleh rezim penguasa. Jika diam adalah pengkhianatan, maka yang harus muncul adalah gerakan.
”Majulah, jangan mundur. Karena, jika diam adalah pengkhianatan, maka mundur jauh lebih buruk dari khianat,” ujarnya.
Aktivis Totenk Mahdasi Tatang Rusmawan atau Totenk MT tampil bersama trio gitarisnya melantunkan lagu ”Bella Ciao”. Lagu ini mengusung semangat perjuangan partisan Italia melawan fasisme 1922-1945.
Di sela kegiatan, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Unitomo Hendrik Rara Lunggi mengatakan, mimbar bebas merupakan kolaborasi mahasiswa di Jatim dan masyarakat untuk melawan politik dinasti. Mimbar bebas ini juga untuk mendorong penuntasan pengusutan pelanggaran HAM. Selain itu, menyamakan pandangan bahwa saat ini Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
”Peserta mimbar bebas tidak boleh datang dengan atribut partai politik atau organisasi massa, kecuali almamater kampus,” kata Hendrik. Peserta yang membawa atribut partai atau organisasi non-kampus tidak diperkenankan masuk mimbar bebas.
Hendrik melanjutkan, mimbar bebas bertujuan memelihara ikhtiar pergerakan dengan cara yang elegan, selain unjuk rasa ke jalanan. Kampus adalah bagian dari laboratorium peradaban sosial. Gerakan mahasiswa melalui mimbar bebas untuk memelihara daya kritis dan idealisme sivitas terhadap keberlangsungan penyelenggaraan negara.
Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mimbar bebas adalah salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum secara bebas dan terbuka. Kegiatan ini hak legal warga negara yang dijamin oleh konstitusi, yakni Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu, Pasal 28E Ayat 3 UUD menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga melindungi kemerdekaan penyampaian pendapat. Pasal 25 regulasi itu menyebut setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kendati demikian, pelaksanaan penyampaian pendapat harus sesuai aturan dengan tertib dan tanggung jawab.
Dalam mimbar bebas, ada yang mengingatkan tentang puisi-puisi perjuangan warisan Widji ”Thukul” Widodo, penyair dan aktivis HAM yang hilang sejak 10 Februari 1998. Misalnya, dicuplik puisi Kemerdekaan yang isinya singkat, yakni Kemerdekaan adalah nasi, Dimakan jadi tai. Si pengingat berharap suara-suara dari mimbar bebas yang adalah wujud kemerdekaan itu bukanlah nasi yang dimakan oleh penguasa lalu menjadi kotoran.
Baris akhir puisi itu berbunyi … Dalam keyakinan kami Di mana pun tirani harus tumbang!