Kebebasan mimbar akademik merupakan hak individu sivitas akademika di bawah instrumen HAM internasional. Namun, tekanan terhadap kebebasan akademik justru semakin kuat seiring menebalnya otoritarianisme.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kebebasan mimbar akademik merupakan hak individu sivitas akademika di bawah instrumen hak asasi manusia internasional. Namun, tekanan terhadap kebebasan akademik justru semakin kuat seiring menebalnya otoritarianisme.
Riset Free to Think yang dirilis Scholars at Risk menunjukkan, kasus tekanan dan serangan kebebasan akademik cenderung meningkat. Pada September 2018-Agustus 2019 terdapat 324 kasus di 56 negara dan periode yang sama pada 2019-2020 terdapat 341 kasus di 58 negara, termasuk Indonesia.
Scholars at Risk telah melaporkan lebih dari 1.600 serangan kebebasan akademik di lebih dari 100 negara sejak 2011. Serangan itu berupa serangan siber terhadap aktivitas akademik, penundukan kampus ataupun lembaga riset oleh otoritas negara, serangan terhadap pers mahasiswa, kriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik, penangkapan/penahanan dalam aksi, skorsing, dan serangan terhadap mahasiswa (Kompas, 8/12/2020).
Pandemi Covid-19 ini menciptakan dan mengungkapkan kerentanan baru terhadap kebebasan akademik. Di sejumlah negara, para ilmuwan diancam karena penelitian dan informasi tentang Covid-19 yang bertentangan dengan sumber resmi, juga ketika mereka mengkritik penanganan Covid-19.
Di China, misalnya, pada awal Januari 2020, dokter Li Wenliang diinterogasi polisi karena dituduh menyebarkan rumor setelah memberi tahu bahwa virus korona baru telah terdeteksi di Provinsi Hebei. Di Amerika Serikat, Departemen Kesehatan Florida memecat Rebekah Jones, ilmuwan data yang memimpin pemetaan Covid-19 di negara bagian itu.
Di Venezuela, seorang gubernur memerintahkan penyelidikan terhadap dokter Freddy Pachano, Direktur Fakultas Kedokteran Universitas Negara Bagian Zulia, yang menyampaikan kekhawatiran atas kasus Covid-19 dan kurangnya alat pelindung diri. Sementara epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengalami serangan siber setelah mengkritik penanganan pandemi Covid-19 (Kompas, 5/11/2020).
Motivasi di balik tekanan dan ancaman kebebasan akademik tersebut tetap sama, untuk mengontrol dan membungkam institusi dan sivitas akademika. Padahal, perguruan tinggi memiliki peran sentral mengkaji dan mencari jalan keluar dari pandemi ini. Sementara negara bertanggung jawab memastikan keselamatan masyarakat serta melindungi dan meningkatkan kemampuan para akademisi untuk melaksanakan pekerjaan mereka.
Tekanan dan ancaman terhadap kebebasan akademik tidak hanya mengancam individu yang bersangkutan. Lebih dari itu, tekanan dan ancaman merusak seluruh sistem perguruan tinggi dengan mengikis otonomi kampus yang merupakan tempat pengembangan daya kritis dan kreatif. Membatasi ruang berpikir dan berpendapat di kampus juga membatasi wacana publik serta merusak perkembangan sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang dapat dinikmati masyarakat.
Karena itu, semua negara harus menahan diri, tidak membatasi atau reaktif terhadap mimbar akademik selama itu tidak mengandung kekerasan dan dilakukan secara bertanggung jawab. Kebebasan berpikir bukanlah kejahatan dan wacana kritis bukanlah ketidaksetiaan. Ini tantangan juga bagi Indonesia jika ingin membangun Kampus Merdeka yang tidak hanya merdeka secara kelembagaan, tetapi juga merdeka berpikir dan menyampaikan pendapat.