Mengikuti putusan MKMK, menurut rencana, MK akan mengggelar RPH memilih ketua MK yang baru menggantikan Anwar Usman yang dicopot dari Ketua MK. Anwar juga dilarang periksa uji materi syarat usia capres-cawapres lainnya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11/2023), mencopot Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, khususnya akibat adanya benturan kepentingan dalam penanganan perkara pengujian syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan putusan tersebut, menurut rencana, MK akan rapat permusyawaratan hakim atau RPH untuk membahas perintah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Adapun prinsip-prinsip dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ”Sapta Karsa Hutama” yang dilanggar adalah prinsip ketakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, serta kepantasan dan kesopanan.
Sebagai tindak lanjut dari pemberhentian Anwar dari jabatan Ketua MK yang langsung berlaku sejak diucapkan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memerintahkan agar Wakil Ketua MK segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan baru dalam waktu 2 x 24 jam. Dalam pemilihan itu, Anwar dilarang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim MK berakhir.
MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie dan didampingi dua anggota MKMK, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih, menyatakan, sebagian pengaduan pelanggaran etik terhadap Anwar Usman dan delapan hakim lainnya terbukti.
Juru Bicara MK Enny Enny Nurbaningsih, Selasa, saat dikonfirmasi mengungkapkan, MK harus menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) terlebih dahulu untuk membahas perintah MKMK tersebut. ”Secepatnya besok RPH dulu,” ujar Enny.
MKMK yang diketuai Jimly Asshiddiqie dan didampingi dua anggota MKMK, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih, menyatakan, sebagian pengaduan pelanggaran etik terhadap Anwar Usman dan delapan hakim lainnya terbukti. MKMK menerima 21 pengaduan dari sejumlah pihak, misalnya dari 15 guru besar hukum tata negara, Denny Indrayana, Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), serta beberapa pihak lainnya. Putusan untuk ke-21 pengaduan itu dibacakan seluruhnya pada Selasa (7/11/2023) dalam empat berkas terpisah.
Memperhatikan tindak-tanduk Anwar
Dalam pertimbangannya putusan untuk Anwar Usman, MKMK menyebutkan, MKMK memperhatikan tindak-tanduk Ketua MK tersebut dalam kurun waktu proses pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara 90 pada Jumat (29/10/2023) dan Sabtu (30/10/2023). Dalam pemeriksaan, MKMK menemukan Anwar Usman menaruh perhatian besar atas pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan uji materi untuk perkara 90 itu dengan ditandai kehadirannya di kantor MK pada Sabtu. Anwar juga meminta kehadiran panitera pada saat yang sama untuk menyampaikan dokumen berkenaan dengan pencabutan dan pembatalan pencabutan.
”Ini memperkuat kesan Majelis Kehormatan bahwa hakim terlapor memang menaruh perhatian lebih pada perkara dimaksud. Dalam kapasitasnya selaku Ketua MK, urusan administrasi berkenaan dengan pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara semestinya dapat dilimpahkan pada proses di kepaniteraan MK,” demikian pertimbangan MKMK yang dibacakan.
MKMK menilik kejanggalan pada turun langsungnya Anwar Usman dalam pencabutan dan pembatalan pencabutan itu.
Putusan MK untuk perkara Nomor 90 itu oleh publik memang mendapat sorotan tajam karena memberikan karpet merah bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi calon wakil presiden. Apalagi, Anwar Usman memiliki hubungan kekeluargaan dengan Presiden mengingat ia menikahi Idayati, adik Jokowi atau merupakan paman Gibran. Pasca-putusan 90, Gibran pun akhirnya dideklarasikan menjadi cawapres Prabowo Subianto dan didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum.
Untuk menghindari potensi benturan kepentingan di masa mendatang, MKMK melarang Anwar terlibat atau melibatkan diri dari pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Hal ini dilakukan, menurut Jimly, untuk menjamin kepercayaan publik.
Terhadap putusan tersebut, anggota MKMK, Bintan R Saragih, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurut dia, sanksi terhadap pelanggaran berat hanyalah pemberhentian tidak dengan hormat. ”Tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,” ujar Bintan.
Dalam pemeriksaan atas 21 pengaduan, MKMK juga memberikan sejumlah rekomendasi untuk memperbaiki internal MK. Disarankan agar hakim konstitusi tidak boleh membiarkan praktik saling memengaruhi antarhakim dalam penentuan sikap saat menangani sebuah perkara. Sebab, hal ini menyebabkan independensi fungsional tiap-tiap hakim sebagai sembilan pilar tegaknya konstitusi menjadi tidak kokoh. Pada gilirannya, hal itu membuka peluang untuk terjadinya pelemahan terhadap independensi struktural kekuasaan kehakiman MK secara kelembagaan.
MKMK juga meminta hakim konstitusi tidak boleh membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan antarhakim, juga kepada pimpinan. Ini terjadi karena budaya ewuh pakewuh sehingga prinsip kesetaraan antarhakim terabaikan. Hal itu juga membuat praktik pelanggaran etika biasa terjadi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti menilai putusan tersebut yang terbaik meskipun putusan kompromis. Ia mengutip dissenting opinon Bintan R Saragih bahwa seharusnya yang dijatuhkan adalah pemberhentian tidak dengan hormat sesuai PMK 1/2023.
”Kalau saya pribadi, apakah ini merupakan sebuah putusan yang kompromi sebagai ketua MK karena mungkin majelis melihat betapa influencial-nya dia (Anwar Usman) sebagai Ketua MK, apalagi ada kata intervensi,” ujar Susi.
Susi menambahkan, ”Tapi, kita juga tahu kalau diberhentikan tidak dengan hormat itu wajib melakukan pembelaan diri, melalui banding. Persoalannya adalah ketentuan mengenai MKMK banding itu, kan, belum ada,” katanya.
Ia juga mendorong agar Anwar Usman mundur dari jabatannya sebagai hakim meskipun tidak ada perintah eksplisit dari MKMK. Namun, seharusnya ia bisa melakukan penilaian diri setelah dinyatakan melakukan pelanggaran berat. ”Bagaimana mungkin mempertahankan posisi beliau sebagai hakim konstitusi mengingat putusan MKMK menyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat,” kata Susi.
Dalam putusannya, MKMK menyatakan tidak bisa melakukan penilaian terhadap putusan 90. Sebab, hal itu melampaui kewenangan MKMK. Apabila MKMK bisa menilai dan mengoreksi putusan 90, hal itu akan menabrak sifat final dan mengikat putusan MK, seperti ditegaskan dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945.
Susi meminta agar MK memeriksa permohonan pengujian Pasal 169 huruf q tersebut secara cepat. Sebab, ada kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan cepat. Putusan MKMK ini juga seharusnya menjadi pelajaran bagi MK.
Pengujian baru
Selepas membacakan putusan, Jimly mengungkapkan, MK sendirilah yang berwenang memeriksa kembali pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Apalagi saat ini ada permohonan pengujian baru yang masuk ke MK.
Berkaitan dengan pengujian baru itu, MKMK juga melarang Anwar Usman untuk ikut memeriksa dan memutus perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang segera akan ditangani MK. Secara spesifik, MKMK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) sebagai bagian dari advokasi terhadap perkara 141/PUU-XXI/2023. Perkara tersebut diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Unusia, yang mengajukan uji materi kembali pasal syarat usia capres dan cawapres.
”Majelis Kehormatan merekomendasikan kepada Mahkamah Konstitusi agar pemeriksaan perkara 141/PUU-XXI/2023 dilakukan oleh delapan hakim konstitusi tanpa melibatkan hakim terlapor,” kata MKMK.
Susi meminta agar MK memeriksa permohonan pengujian Pasal 169 huruf q tersebut secara cepat. Sebab, ada kebutuhan untuk melakukan pemeriksaan cepat. Putusan MKMK ini juga seharusnya menjadi pelajaran bagi MK sebab pengadilan seharusnya tidak memberikan putusan pada saat proses pemilu tengah berlangsung.