PDI-P menyudahi polemik tarik ulur kartu tanda anggota mantan kadernya, Gibran Rakabuming Raka. Para kader partai itu diminta fokus bergerak memenangkan Ganjar-Mahfud.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P akhirnya menutup lembaran kisah tarik ulur kartu tanda anggota milik Gibran Rakabuming Raka. Majunya Gibran sebagai bakal calon wakil presiden dari partai lain menggugurkan keanggotaannya di partai berlambang banteng itu. Kini, fokus seluruh kader PDI-P diarahkan untuk pemenangan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
Gibran diusung menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) oleh Koalisi Indonesia Maju. Dia akan mendampingi Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2024. Pasangan itu telah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 25 Oktober 2023.
Setelah pendaftaran itu, tanda tanya besar langsung tertuju kepada Gibran. Pasalnya, ia masih berstatus sebagai kader PDI-P. Apalagi, putra sulung Presiden Joko Widodo itu juga menjabat sebagai Wali Kota Surakarta setelah diusung PDI-P.
Sebelum dideklarasikan sebagai bakal cawapres dari koalisi sebelah, Gibran memang sempat menemui Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Puan Maharani. Namun, dalam perjumpaan itu, Gibran hanya disebut berpamitan tanpa mengajukan surat pengunduran diri secara resmi.
Sejak saat itu, terjadi tarik ulur dalam hubungan Gibran dan PDI-P. Gibran tidak pernah secara tegas menyatakan keluar dari partainya, sedangkan PDI-P juga tak memecat Gibran atas manuver politik yang dilakukan.
Namun, secara prinsip, Gibran dianggap bukan lagi bagian dari PDI-P setelah dicalonkan oleh koalisi lain. Apalagi, PDI-P sudah memiliki pasangan calon yang diusung sendiri, yaitu Ganjar-Mahfud.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P Surakarta FX Hadi Rudyatmo kemudian meminta Gibran mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) PDI-P yang pernah dimilikinya. Lelaki yang akrab disapa Rudy itu juga meminta Gibran menyerahkan surat pengunduran diri dari PDI-P.
Rudy beralasan, pengembalian KTA itu penting agar Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tak dianggap bermain di dua kaki dalam Pemilu 2024. Sebab, jika Gibran tak mengembalikan KTA, berarti ada dua kader PDI-P yang bakal berkompetisi di Pemilu 2024.
Awalnya, Rudy ingin menemui Gibran secara langsung. Namun, pertemuan itu tak kunjung terwujud. Lantas, pada 31 Oktober 2023, Rudy mengirimkan surat ke Balai Kota Surakarta melalui Wakil Wali Surakarta Kota Teguh Prakosa, yang juga Sekretaris DPC PDI-P Surakarta.
”Surat itu bunyinya jelas. Untuk menghilangkan isu, supaya Bu Mega dan Pak Jokowi tidak dianggap bermain di dua kaki. Maka, saya hanya menyarankan (agar mengundurkan diri dan mengembalikan KTA)," kata Rudy saat ditemui, Senin (6/11/2023) malam.
Sayangnya, surat yang dikirimkan Rudy juga tak direspons oleh Gibran. Hingga Senin malam, keduanya belum berkomunikasi lagi, apalagi bertemu. Oleh karena itu, Rudy enggan berlarut-larut mengurus pengembalian KTA Gibran.
Menurutnya, persoalan itu lebih baik dicukupkan saja pembahasannya. Rudy pun sudah mendapatkan instruksi untuk lebih banyak bergerak dalam kerja pemenangan pasangan Ganjar-Mahfud.
”Tidak perlu berbicara soal itu (KTA). Tutup bukunya karena dia sudah mencalonkan. Terserah kartunya dikembalikan atau tidak. Itu etikanya saja,” ungkap Rudy.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyampaikan, Gibran telah berpamitan kepada Puan beberapa waktu lalu. Permintaan pamit itu sehubungan dengan rencana Gibran yang akan maju bersama Prabowo pada Pemilu 2024.
Dengan demikian, Gibran sudah bukan lagi anggota dari PDI-P. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa capres dan cawapres akan gugur pencalonannya jika memiliki KTA ganda.
”Ya Mas Gibran, kan, pamit sehingga sudah jelas sifatnya. Pamit itu adalah bentuk pengunduran diri. Suratnya sudah dikirimkan. Ya, artinya etika politik harus dipenuhi. Artinya, Mas Gibran yang sudah pamit melalui Mbak Puan, itu artinya pamit untuk dicalonkan dengan Partai Gerindra dan Partai Golkar,” kata Hasto (Kompas, 6/11/2023).
Terserah kartunya dikembalikan atau tidak. Itu etikanya saja
Sementara itu, Gibran sangat irit bicara sewaktu ditanyai kembali perihal statusnya sebagai kader PDI-P. Ia menilai, para pimpinan partai berlambang banteng itu telah memberikan kepastian kepada publik terkait perkara tersebut. Gibran juga mengaku belum membicarakan soal perpindahan partai meski dia santer dikabarkan akan berlabuh ke Golkar.
”Kan, sudah dijawab Mbak Puan, Pak Hasto, Pak Komarudin. Belum ada pembicaraan seperti itu (berlabuh ke partai lain),” kata Gibran saat ditemui di Balai Kota Surakarta, Selasa (7/11/2023).
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Wawan Mas’udi memaknai polemik KTA Gibran sebagai strategi politik yang coba dimainkan PDI-P. Melalui pengungkapan masalah itu, etika Gibran sebagai politisi coba dikritisi.
Apalagi, Gibran menduduki jabatan kepala daerah dengan dukungan dari PDI-P. Pada akhirnya, jabatan kepala daerah itu pula yang mampu mengantarkan Gibran diusung menjadi bakal cawapres.
Di sisi lain, Wawan menilai, Gibran juga tidak terlihat berusaha mundur dari PDI-P. Bahkan, seolah-olah dia menunggu momentum untuk dipecat.
”Kalau memang berbeda pilihan semestinya mundur. Kalau tidak, berarti sikapnya tidak cukup kesatria. Itu akan melahirkan persepsi yang tidak menguntungkan secara elektoral bagi Gibran. Ini juga berlaku di masa depan karena akan tercatat sepanjang sejarah,” kata Wawan.
Wawan juga menyoroti aspek pragmatisme politik dari pencalonan Gibran sebagai cawapres. Keputusan Gibran untuk maju dalam kontestasi seperti hanya didasari pertimbangan untuk merengkuh kekuasaan. Gibran juga dinilai seolah tidak memiliki alasan ideologis untuk bergabung ke sebuah partai.
Buktinya bisa dilihat dari kilas balik karier politik Gibran. Ia mendaftarkan diri sebagai anggota PDI-P pada 2019. Lewat cara itu, ia bisa ikut serta dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Surakarta tahun 2020. Berdampingan dengan Teguh Prakosa, ia keluar sebagai pemenang pada ajang tersebut.
Sebelum Gibran menjadi calon wali kota waktu itu, DPC PDI-P Surakarta sebenarnya sudah menyiapkan pasangan calon sendiri, yakni Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Namun, justru nama Gibran yang akhirnya mendapat rekomendasi sebagai calon wali kota dari DPP PDI-P.
Keputusan itu seolah mendudukkan Gibran bagaikan ”kader istimewa” PDI-P. Sebab, dia bisa memperoleh rekomendasi walau belum cukup lama bergabung dengan partai.
Kondisi serupa terjadi dalam proses pencalonan Gibran menjadi cawapres. Peluangnya dicalonkan muncul setelah keluar putusan dari Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia capres dan cawapres. Ia bisa dicalonkan atas pengalamannya menjadi kepala daerah lewat jalur pemilihan langsung.
Lantas, Gibran diusulkan sebagai cawapres oleh Partai Golkar yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju. Partai politik di koalisi tersebut akhirnya bersepakat untuk mengusung Gibran menjadi pendamping Prabowo. Gibran pun menerima pinangan itu meski baru berkarier dalam politik sekitar dua tahun lamanya.
”Partai dalam kacamata Gibran bukan tempat dan rumah ideologis untuk bisa mengekspresikan pikiran-pikiran politik, kebijakan, dan lain sebagainya. Ini (partai) sekadar instrumen untuk mencari karier kekuasaan. Itu yang akan dicatat dari karier politik Gibran,” ungkap Wawan.