Indikasi orkestrasi instrumen politik dan hukum untuk menggapai kekuasaan dinilai tampak menguat dari berbagai rentetan peristiwa. Membuat publik sulit percaya Presiden Jokowi akan betul-betul netral di Pemilu 2024.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Presiden Joko Widodo berulang kali menegaskan sikap netralnya pada Pemilihan Presiden 2024. Tak sebatas itu, instruksi netral selama pemilu disampaikannya untuk para pemimpin daerah, aparatur sipil negara, hingga personel TNI-Polri. Meski demikian, tak mudah untuk meyakinkan publik, apalagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di pemilihan sebagai bakal calon wakil presiden. Ditambah lagi, indikasi orkestrasi kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan sudah tampak sejak lama.
Sikap netral Presiden Jokowi pertama kali disampaikan pada 22 Oktober lalu. Saat ditanya terkait dengan preferensi dukungannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Jokowi menjawab mendukung semua pasangan capres-cawapres yang ada demi kebaikan bangsa.
Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti disuarakan bakal capres saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto, di Istana Negara, Senin (30/10/2023).
Komitmen netralitas yang disampaikan tak sebatas dirinya sebagai Presiden. Ia juga menginstruksikan kepada semua aparatur sipil negara, pimpinan daerah, dan personel TNI-Polri, untuk menjaga netralitas selama pemilu. Setelah insiden pencopotan baliho bergambar Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan bendera PDI-P, saat kunjungan kerja Presiden, di Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (31/10), Presiden pun kembali mengulang instruksi tersebut.
Pencopotan baliho dan bendera itu disebut Penjabat Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya untuk menjaga estetika kawasan saat kunjungan Presiden. Ia berkilah, yang terjadi hanya menggeser baliho dan bendera itu, dan setelah kunjungan Presiden sudah dipasang kembali.
Terlepas dari itu, kekhawatiran pada netralitas Presiden dan aparaturnya tak bisa begitu saja lenyap dari benak sebagian publik. Apalagi jika melihat rentetan peristiwa sebelumnya.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Politik Saling Kunci, Siapa Kuasa Atur Posisi?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (1/11/2023) malam, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam melihat, indikasi penggunaan instrumen politik dan hukum untuk mencapai kekuasaan sudah tampak melalui wacana penundaan pemilu, narasi tiga periode presiden, dan yang terakhir putusan Mahkamah Konstitusi yang melapangkan jalan bagi Gibran untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2024.
”Indikasi-indikasi orkestrasi kekuasaan dengan instrumen politik tidak mudah dibuktikan di atas meja. Tetapi, sinyal-sinyal itu makin kuat terasa,” ujarnya.
Hadir pula dalam diskusi yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Djarot Saiful Hidayat, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto, dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Joanes Joko.
Dengan rentetan wacana serta peristiwa tersebut, Ahmad melanjutkan, wajar jika publik kemudian khawatir Presiden akan menggunakan kewenangan, aparaturnya hingga sumber daya negara, untuk memenangkan anaknya yang berpasangan dengan bakal capres Prabowo Subianto di pilpres.
Apalagi ia melihat, majunya Gibran menjadi pertaruhan besar bagi Jokowi dan keluarganya. Dengan demikian, terbuka potensi penyalahgunaan wewenang karena berbagai cara akan digunakan oleh Jokowi untuk mempertahankan dirinya dan keluarga.
”Potensi penyalahgunaan wewenang itu mulai dari penguatan pengaruh, dan mobilisasi kekuatan. Menggunakan instrumen negara untuk kepentingan partai politik, itu yang tidak kita inginkan,” ujarnya. Untuk menutup potensi itu, mau tidak mau, netralitas harus betul-betul dijaga. Jika tidak, yang akan terjadi kemudian adalah manipulated democracy atau demokrasi yang dimanipulasi.
Namun, Joanes Joko menampik adanya penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik. ”Tidak ada arahan seperti itu. Sejak awal kami kawal dan komunikasikan agar pemilu berjalan sesuai arahan Bapak Presiden, yaitu proses demokrasi berlangsung dengan baik,” ujarnya.
Terkait dengan majunya putra Jokowi dalam Pemilu 2024, menurut Joanes, bukanlah ranahnya untuk memberi komentar. Namun, menurut dia, isu netralitas adalah topik yang selalu muncul setiap menjelang pemilu. Oleh karena itu, seluruh mekanisme sudah disiapkan, termasuk pengawasan, untuk memastikan pemilu berjalan jujur dan adil.
”(Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan politik) itu asumsi. Sekali lagi yang penting adalah mari menjaga pemilu berjalan baik,” ujarnya.
Ia berharap Pemilu 2024 dapat berjalan di tengah suasana kegembiraan. Apalagi pemilu diselenggarakan di tengah kondisi geopolitik yang sulit. Ia juga berharap tidak ada politik identitas dalam pemilu. ”Jangan sampai luka dan retak yang terjadi kian dalam,” katanya.
Lobi-lobi politik
Djarot Saiful Hidayat mengatakan, pemilihan Gibran sebagai bakal calon wapres oleh Koalisi Indonesia Maju mengherankan karena partai politik di dalamnya, seperti Golkar, rela untuk melepaskan kesempatan bagi ketua umumnya, Airlangga Hartarto, menjadi bakal calon wapres mendampingi Prabowo.
”Kok, partai besar dengan ketua umum luar biasa mau dikalahkan oleh kepala daerah. Diduga ini ada tekanan-tekanan ada lobi-lobi politik,” kata Djarot.
Pernyataan Djarot langsung disangkal oleh Wakil Ketua Umum Golkar Nurdin Halid. Menurut dia, penetapan Gibran sudah melalui mekanisme internal partai, mulai dari rapat terbatas, rapat pleno, hingga rapat kerja nasional.
”Faktanya bagi Golkar dalam menetapkan kebijakan strategis tidak mudah. Kebijakan strategis diambil melalui rapat pleno, konsultasi dengan dewan pakar, dewan nasihat. Ada sistem internal partai yang kami lalui,” ujarnya.
Hingga detik-detik terakhir menjelang berakhirnya masa pendaftaran bakal capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum, menurut Nurdin, pihaknya masih berupaya untuk mengajukan Airlangga sebagai pendamping dari Prabowo.
”Airlangga sudah diperjuangkan, tetapi ia tidak bisa menentukan dirinya. Gibran diputuskan melalui sistem,” ucap Nurdin.
PAN yang juga bagian dari Koalisi Indonesia Maju, menurut Yandri Susanto, pun telah berusaha untuk mengajukan nama Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir guna menjadi bakal cawapres dari Prabowo. Hanya saja, PAN sadar diri, suaranya di pemilu lalu hanya sekitar 7 persen sehingga tidak bisa PAN memaksakan agar Erick dipilih oleh koalisi.
”Kami sadar dengan perolehan 7 persen, kami tidak bisa ngotot. Inilah realitas politik,” ujarnya.