Kemunculan Gibran di Pilpres 2024 tak lepas dari pamannya yang ketua MK dan ayahnya yang presiden. Hal ini tak sesuai dengan prinsip anak muda karena ada hasrat berkuasa, jalan pintas, dan abai prinsip meritokrasi.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
Hujan kritik terhadap dinasti Jokowi turun dengan deras akhir-akhir ini. Namun, Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, tak berhenti. Dia terus melaju mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi bakal calon presiden Prabowo Subianto.
Pasangan Prabowo-Gibran diusung oleh Koalisi Indonesia Maju yang terdiri atas sembilan partai politik, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Prima, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kelahiran dinasti Jokowi dan keresahan masyarakat terkait politik dinasti ini dibahas dalam Satu Meja The Forum, acara dialog yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (25/10/2023) malam. Episode bertajuk ”Selamat Datang Dinasti Jokowi” itu dipandu jurnalis senior harian Kompas, Tri Agung Kristanto. Hadir sebagai narasumber dalam bincang-bincang itu adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu Presiden Projo Panel Barus, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah, ahli hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, pengajar komunikasi politik Universitas Nasional Lely Arrianie, serta pemikir kebinekaan Sukidi.
Gibran wujud politik dinasti
Survei Litbang Kompas yang dilaksanakan pertengahan Oktober 2023 lalu menunjukkan, sebanyak 60,7 persen responden menyebut kehadiran Gibran di kancah politik nasional sebagai wujud politik dinasti. Namun, Fahri membantah dinasti yang kini seakan bermakna peyoratif. Sebab, penentunya tetap suara rakyat.
”Dinasti dalam bahasa nusantara adalah wangsa. Wangsa adalah pewarisan kekuasaan karena (pertalian) darah. Ini pewarisan tidak ada karena belum tentu menang,” tuturnya.
Dia mencontohkan, keponakan Jusuf Kalla yang kalah melawan kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Makassar, Sulawesi Selatan, ataupun putri Ma’ruf Amin yang juga gagal di Pilkada Kota Tangerang.
Ini senada dengan jawaban Presiden Jokowi yang kerap disampaikan ketika tudingan dinasti politik muncul. Kepada wartawan di Hutan Kota Gelora Bung Karno, Selasa (24/10/2023), misalnya, Jokowi mengatakan isu dinasti akan kembali ke penilaian masyarakat. Hasil pemilu bukan ditentukan oleh elite politik, melainkan rakyat.
Bukan hanya itu, Fahri menyebut Gibran sebagai simbol rekonsiliasi. ”Kami mencari sosok yang bisa diterima semua pihak, jadi ini simbol rekonsiliasi,” ujarnya.
Dalam Koalisi Indonesia Maju, parpol-parpol pengusung mengusulkan sosok cawapres masing-masing. Partai Golkar mengajukan Airlangga Hartarto, PAN mengajukan Erick Thohir, dan Partai Demokrat berharap Agus Harimurti Yudhoyono atau Khofifah Indar Parawansa yang menjadi cawapres.
Namun, Bivitri menegaskan ada kekeliruan dalam memahami kritik politik dinasti saat ini. Sebab, dinasti Jokowi menggunakan sistem yang rusak dan menambah kerusakan dengan menyeret Mahkamah Konstitusi (MK) ke tengah pertikaian pemilu. Cara berpolitik ini yang dikritik.
Karena itu, kendati Panel Barus menyebut putusan MK akan berguna bagi setidaknya 21 kepala daerah muda, Bivitri mengatakan hal ini tak bisa disamakan. Sebab, para kepala daerah itu tak memiliki paman yang ketua MK, yakni Anwar Usman, dan ayah seorang presiden, yakni Jokowi, yang sedang menjabat. Pemilu Presiden 2024 pun diibaratkan Bivitri sebagai lomba lari dengan start yang tidak sama. Ada pengistimewaan pada salah satu peserta. Di sisi lain, dikhawatirkan ada penyalahgunaan kekuasaan.
Bivitri menegaskan ada kekeliruan dalam memahami kritik politik dinasti saat ini. Sebab, dinasti Jokowi menggunakan sistem yang rusak dan menambah kerusakan dengan menyeret Mahkamah Konstitusi ke tengah pertikaian pemilu.
Ketidaksetaraan dan pelanggaran pada idealisme, nilai, dan meritokrasi ini dinilai Sukidi tak sesuai dengan prinsip-prinsip anak muda. Sebab, ada hasrat berkuasa dengan menempuh jalan pintas.
Karena itu, Sukidi menyebut fenomena ini sebagai politik machiavellian. ”Ini bukan sekadar selamat datang kepada politik dinasti, melainkan selamat datang kepada politik machiavelli,” ujarnya.
Jalan pintas yang ditempuh melalui MK, kata Sukidi, menunjukkan kehendak berkuasa dan mempertahankannya dengan bersandar pada kelicikan dan pengabaian prinsip meritokrasi. Kekuasaan pun dipisahkan dari panduan moral, etika, dan nilai luhur bangsa. Padahal, ketika para pendiri bangsa memilih Indonesia sebagai negara demokrasi, lanjutnya, diharapkan ini menjadi jalan terbaik untuk memberi kesetaraan kepada semua warga.
Namun, akhirnya, Republik yang didirikan dengan demokrasi ini digunakan dengan cara monarki. ”Demokrasi langsung dijadikan alat untuk merawat kekuasaan,” tambah Sukidi.
Fahri menyebut pemilu adalah perang di zaman modern. Karena itu, selalu ada dua sisi, pahlawan, tetapi juga bergelimang darah. ”Pemilu adalah peperangan, itu perebutan kekuasaan secara sah dan konstitusional,” ujarnya.
Perang ada aturannya
Namun, Bivitri menegaskan perang sekalipun ada aturannya, apalagi pemilu. MK menunjukkan putusan uji materi terkait batas usia capres-cawapres penuh konflik kepentingan. Hal itu termasuk kepentingan Gibran yang, meskipun bukan pengusul uji materi, disebut dalam permohonan uji materi dari Almas Tsaqib Birru. Karena itu, proses atas dugaan pelanggaran etika dan perilaku hakim konstitusi tetap perlu dipantau.
Lely menilai putusan MK yang memenangkan uji materi batas usia capres-cawapres sebagai akhir. Untuk selanjutnya, opini publik akan terbentuk melalui media massa.
Panel Barus meyakini isu dinasti tak akan menggembosi suara Prabowo-Gibran. Kenyataannya, saat pendaftaran ke KPU, ribuan sukarelawan antusias mendampingi pasangan capres-cawapres itu dari Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, menuju kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta. Dia pun mengajak masyarakat menikmati pemilu ketimbang terus disajikan dengan kecurigaan dan logika konspiratif.
Namun, Sukidi mengingatkan bahwa Indonesia harus tetap bersandar pada meritokrasi. Dengan demikian, harapan republik dibangun dengan semangat kesetaraan bisa dirawat. Ini juga akan menjadi landasan negara demokrasi yang sehat.