MK Didesak Bentuk Majelis Kehormatan dan Anwar Usman Diminta Mundur
Menyikapi berbagai kejanggalan pada putusan MK soal batas usia capres/cawapres, PSHK mendesak MK membentuk Majelis Kehormatan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul putusan pengujian konstitusionalitas batas minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden yang oleh dua hakim konstitusi sendiri dinyatakan aneh dan penuh keganjilan, Mahkamah Konstitusi didesak untuk segera membentuk Majelis Kehormatan. Keberadaan Majelis Kehormatan penting untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik, pelanggaran prosedural, dan menyatakan fakta sebenarnya kepada publik bagaimana sebenarnya putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 itu disusun.
”Para hakim konstitusi didesak untuk kooperatif dalam proses tindak lanjut pelanggaran etik, pelanggaran prosedural, dan/atau potensi tindak pidana yang diutarakan dalam pendapat berbeda Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023,” ujar Violla Reininda, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Selasa (17/10/2023).
Sebelumnya, dalam dissenting opinion atau pendapat berbeda yang diajukan, Arief Hidayat mengungkapkan keganjilan proses penanganan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Perkara yang diajukan oleh Almas Tsaqqibiru Re A, mahasiswa Universitas Surakarta, sempat ditarik atau dicabut melalui surat tertanggal 26 September 2023 dan diterima Kepaniteraan MK pada 29 September 2023 pukul 14.32 WIB. Namun, sehari kemudian surat pencabutan perkara tersebut dibatalkan melalui surat tertanggal 29 September 2023 dan diterima oleh Dani (Pamdal MK) pada 20.35 WIB dan dicatat dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS).
Arief mengungkapkan beberapa keanehan dan keganjilan, yaitu pencabutan perkara dilakukan sepihak oleh kuasa hukum tanpa koordinasi dengan prinsipal, ada perbedaan waktu penerimaan surat pembatalan pencabutan perkara antara kuasa hukum dengan waktu yang tertera pada TTBPS. Dalam berkas TTBPS, pembatalan pencabutan perkara diterima pada pukul 12.04 oleh Safrizal (Pamdal MK).
Arief juga mengungkap kejanggalan lain tentang waktu surat pembatalan pencabutan perkara tersebut. Surat tersebut diantar oleh Rudi Setiawan pada Sabtu (30/10/2023). ”Permasalahannya yaitu mengapa surat pembatalan penarikan permohonan diregistrasi Kepaniteraan pada hari Sabtu, 30 September 2023, di hari libur dan bukan pada hari Senin, 2 Oktober 2023,” kata Arief Hidayat.
Berbagai kejanggalan tersebut yang, menurut Violla, harus diproses oleh Majelis Kehormatan MK.
Sarat konflik kepentingan
Selain itu, PSHK juga mendesak Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri baik dari jabatannya sebagai ketua MK maupun sebagai hakim konstitusi. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, keberadaan Anwar yang ikut memutus perkara tersebut sarat dengan konflik kepentingan. Sebab, perkara tersebut secara eksplisit diajukan sebagai upaya untuk mendorong Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo yang masih keponakan hakim Anwar, itu bisa ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024.
”Atas posisi dalam penanganan perkara tersebut, Ketua MK Anwar Usman telah melanggar Prinsip Ketidakberpihakan Sapta Karsa Hutama dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” kata Violla.
Perkara tersebut secara eksplisit diajukan sebagai upaya untuk mendorong Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo yang masih keponakan Hakim Anwar, itu bisa ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024.
Prinsip tersebut mengatur, hakim konstitusi harus mengundurkan diri dari pemeriksaan suatu perkara apabila hakim tersebut tidak dapat atau dianggap tidak dapat bersikap tak berpihak karena anggota keluarganya memiliki kepentingan langsung terhadap putusan. Menurut Violla, Anwar seharusnya mundur dari pemeriksaan perkara 90.
”PSHK mendesak Anwar Usman untuk mundur sebagai ketua MK dan hakim konstitusi. Kepemimpinannya justru menjadikan MK menjelma sebagai lembaga yang tidak independen dan cenderung menjadi pendukung pemerintah dan/atau DPR. Anwar Usman bersikeras untuk tidak mundur dari majelis hakim yang substansinya terkait atau berpotensi menguntungkan anggota keluarganya sehingga menimbulkan konflik kepentingan,” kata Violla.
PSHK khawatir, apabila Anwar Usman tetap bercokol di MK, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut akan terus menurun.
Substansi putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 pun disoroti. MK dinilai telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai penjaga konstitusi atau the guardian of constitution dengan bersikap inkonsisten dengan berubahnya sikap sebagian hakim konstitusi secara drastis dari putusan 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang dibacakan sebelumnya. Seperti diketahui, MK menolak permohonan 29-51-55 tersebut dan menyatakan bahwa pengaturan usia capres dan cawapres merupakan open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk mengaturnya.
”Tetapi putusan 90 yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama malah mengabulkan permohonan untuk sebagian dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon presiden dan wakil presiden. Kondisi demikian menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat indikasi desakan, ancaman, ataupun intervensi yang potensial mengganggu independensi hakim konstitusi tersebut,” kata Violla.
MK dinilai telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai penjaga konstitusi atau the guardian of constitution dengan bersikap inkonsisten.
Mengutip dari dissenting opinion Hakim Konstitusi Saldi Isra, MK dinilai telah melakukan praktik cherry-picking jurisprudence untuk menafsirkan open legal policy. Istilah itu mengacu pada tindakan memilih-milih yurisprudensi yang paling menguntungkan kepentingan meskipun ada preseden yang sudah konsisten dan terus-menerus dipertahankan oleh MK, yakni bahwa syarat usia merupakan open legal policy atau menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
”Ini berbahaya bagi kelembagaan dan legitimasi putusan MK,” katanya.
Terjebak permainan penguasa
Pengajar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Allan FG Wardhana, mengungkapkan, putusan MK itu menunjukkan sebagian hakim MK tidak memiliki komitmen untuk mengawal proses demokrasi yang mengedepankan etika. Mereka yang mengabulkan putusan 90 terjebak dalam permainan kekuasaan, terutama terjebak untuk memenuhi ambisi politik ”mereka” yang ingin berkuasa terus-menerus.
”Putusan ini akan menjadi beban institusi MK dan dicatat oleh sejarah. Kepercayaan publik terhadap MK akan terus menurun seiring turunnya kualitas putusan dan turunnya integritas dalam pembuatan putusan,” kata Allan. Ia juga menilai, MK sebagai produk reformasi sudah runtuh dan sulit untuk kembali dipercaya.