Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo memandang putusan MK soal syarat usia capres-cawapres melampaui kewenangan MK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dari Jalan Cemara 19 atau Rumah Pemenangan Ganjar Pranowo, para juru bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo terlihat gusar seusai Mahkamah Konstitusi memutus perkara uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan dari salah satu pemohon, yaitu Almas Tsaqibbirru, dengan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.
Konferensi pers yang sedianya dilakukan pada pukul 13.00 akhirnya diundur hingga sekitar pukul 16.30. Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo sengaja menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sampai dibacakan semuanya oleh hakim konstitusi.
Akhirnya hakim MK membacakan putusannya atas perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Dalam putusannya, MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai capres dan cawapres.
TPN merasa MK tak berwenang memutus perkara tersebut.
Chico Hakim, Juru Bicara TPN Ganjar Pranowo, Senin (16/10/2023), mengatakan, setelah mendengarkan amar putusan dan pertimbangan hukum MK, TPN merasa MK tak berwenang memutus perkara tersebut. Menurut dia, MK hanya berhak menyatakan apakah norma di undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Saat mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok di undang-undang, yaitu ketentuan baru pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, MK dinilai telah melampaui kewenangannya.
”Walaupun putusan MK bersifat final dan mengikat, karena MK tidak memiliki fungsi legislasi, maka apa yang diputuskan tidak otomatis memiliki kekuatan hukum. DPR dan pemerintah harus merevisi UU Pemilu terlebih dahulu sesuai putusan itu,” kata Chico.
TPN Ganjar Pranowo berpandangan, sebelum UU Pemilu diubah, siapa pun yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala daerah selama usianya belum mencapai 40 tahun tidak bisa didaftarkan kepada KPU sebagai capres ataupun cawapres. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu pun tidak bisa mengubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sebelum undang-undang itu direvisi di DPR.
Anggota TPN Ganjar Pranowo, Tama S Langkun, menambahkan, pada prinsipnya pihaknya menghargai putusan MK. Namun, mereka juga berpandangan bahwa MK tidak berwenang menambah norma baru dalam uji materi undang-undang. MK hanya berwenang menyatakan apakah ketentuan undang-undang sesuai dengan konstitusi atau tidak.
”Dalam putusan ini, kami menilai MK tidak konsisten dengan putusannya karena di akhir bisa menambahkan frasa pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Tentu saja ini menjadi kritik kami,” kata Tama.
Ia juga mempertanyakan apakah waktu untuk mengubah PKPU cukup karena hanya tersisa tiga hari untuk pendaftaran capres dan cawapres di KPU.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, mengatakan, komposisi hakim dalam putusan MK tentang syarat jabatan capres dan cawapres tidak lazim. Sebab, hanya ada tiga hakim yang setuju syarat capres dan cawapres bisa berusia di bawah 40 tahun sepanjang sudah pernah menjabat sebagai kepala daerah. Mereka adalah Ketua MK Anwar Usman serta dua hakim konstitusi, yakni Guntur Hamzah dan Manahan Sitompul.
Dua hakim konstitusi lainnya, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P Foekh, memiliki alasan yang berbeda meski setuju dengan putusan. Mereka beralasan, siapa pun yang menjabat atau pernah menjabat sebagai gubernur bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres meski usianya belum 40 tahun.
Adapun empat hakim lainnya tidak setuju dengan putusan dan mengajukan alasan yang berbeda (dissenting opinion) dengan menolak permohonan tersebut. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
”Komposisi hakimya 4-3-2 sehingga seharusnya yang mayoritas adalah yang menolak karena ada empat hakim. Sementara yang 3:2 itu, kan, konsekuensinya berbeda. Putusan menjadi tidak lazim karena seharusnya suara mayoritas yang menjadi putusan, tetapi ini tidak,” kata Charles.
Charles menjelaskan, pendapat dua hakim yang beralasan berbeda (concuring opinion) karena menyepakati gubernur dengan usia di bawah 40 tahun sebenarnya menyetujui penambahan frasa di amar putusan. Hanya alasannya saja yang berbeda sehingga hal itu dianggap sebagai putusan 5:4.
Dengan komposisi seperti itu, Charles semakin meyakini bahwa ada peran yang signifikan dari Ketua MK Anwar Usman untuk memengaruhi putusan hakim.
”Dia setuju dengan penambahan frasa, tetapi frasanya tidak seperti itu. Ada yang menginginkan elected officer yang hanya sampai level khusus gubernur saja, ada yang memperluas sampai kepala daerah,” tutur Charles.
Dengan komposisi seperti itu, Charles semakin meyakini bahwa ada peran yang signifikan dari Ketua MK Anwar Usman untuk memengaruhi putusan hakim. Sebab, ketua biasanya memutus di akhir. Ia melihat bahwa ada konflik kepentingan yang nyata dalam perkara ini karena salah satu pemohon mendalilkan mereka adalah fans dari Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka. Maka, hasil putusannya bisa seaneh itu.
”Bahwa ada pergerakan yang sangat masif dari ketua sehingga memengaruhi keputusan hakim yang lain. Ada konflik kepentingan yang terlihat harus dikawal oleh ketua. Padahal, Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyebut bahwa hakim atau panitera harus mundur jika menangani perkara yang ada potensi konflik kepentingan,” papar Charles.
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menuturkan, melihat dari komposisi hakim memang yang menang 5:4. Sebab, dua hakim hanya menyatakan concuring opinion atau setuju dengan amar putusan meski alasannya berbeda. Dia menilai hal itu lazim terjadi. Kendati demikian, hal itu mengindikasikan bahwa dalam pengambilan keputusan memang suara hakim tidak bulat.
”Ada perdebatan kuat di antara mereka,” katanya.
Mahfud MD: protes tak mengubah putusan MK
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berpandangan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga bisa membuat ketentuan lain yang ada di undang-undang sebelumnya. Jika kemudian putusannya orang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah boleh mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, artinya Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi kandidat dalam Pilpres 2024.
”Mari kami lanjutkan proses ini karena memang di tata hukum kita begitu,” ujar Mahfud.
Bagi pemerintah, kata Mahfud, tahapan pemilu harus tetap dilaksanakan. Tugas pemerintah adalah mengawal proses itu. Jika ada yang tidak puas pada putusan MK, protes bisa dilakukan karena Indonesia adalah negara demokrasi. Pemerintah akan terus mengawal dan menjamin proses kelancaran pemilu. Semua partai politik harus terus berjalan mengawal proses tersebut.
”Jika ada protes, yang dipermasalahkan bukan lagi hukum, melainkan ajakan menuju pemilu yang benar, rasional, aman, dan bermartabat. Hal ini bisa dikampanyekan. Kalau protes terhadap putusan MK, tidak akan mengubah,” kata Mahfud.