MK Tolak Syarat Alternatif Usia Minimum Capres-Cawapres dari Penyelenggara Negara
MK menilai pengecualian pengalaman sebagai penyelenggara negara pada syarat usia minimal capres-cawapres justru menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK menolak gugatan penambahan syarat alternatif, yakni pengalaman menjadi penyelenggara negara apabila calon presiden dan calon wakil presiden tidak berusia minimal 40. Hakim konstitusi menilai hal itu merupakan upaya untuk menyiasati aturan yang berlaku dan bersifat diskriminatif.
Namun, putusan tidak bulat karena ada dua hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Penolakan tersebut tertuang dalam putusan Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda. Para pemohon berpandangan usia minimal 40 tahun bagi capres-cawapres melanggar konstitusi. Atas dasar itu, mereka meminta pengecualian syarat, yakni pengalaman sebagai penyelenggara negara apabila usia minimal tidak dapat dipenuhi. Adapun gugatan diajukan terhadap UU 7/2017 tentang Pemilu.
”Amar putusan, mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra menilai persyaratan batas minimal usia capres-cawapres merupakan kewenangan kebijakan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden. MK juga konsisten dalam putusan sebelumnya, yakni Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang berkenaan dengan usia minimal capres-cawapres dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Sementara itu, mengenai dalil memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal capres-cawapres justru menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, jenis penyelenggara negara sangat beragam. Presiden dan wakil presiden, sebagai jabatan puncak/tertinggi kekuasaan eksekutif, memiliki karakteristik dan tanggung jawab yang lebih besar ketimbang penyelenggara negara lainnya.
”Dengan tidak memperlakukan hal yang sama terhadap suatu yang berbeda atau memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama, menurut mahkamah, bukan suatu bentuk diskriminasi. Namun, hanya menyatakan bagi penyelenggara negara tanpa terkecuali, sehingga apabila disamakan justru akan menimbulkan ketidakadilan,” katanya.
Keinginan para pemohon untuk adanya pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 akan menyebabkan contradictio in terminis karena akan melarang sekaligus membolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres.
Mahkamah, lanjut Saldi, tidak boleh menentukan jabatan penyelenggara negara apa saja yang boleh dikonversi dari batasan usia minimal capres-cawapres. Apalagi, konversi tersebut dimaksudkan untuk menyiasati batasan usia minimal yang sejak lama dinilai sebagai kebijakan hukum terbuka. Dengan demikian, upaya konversi yang diajukan pemohon harus diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden.
Menyiasati
Usai memutus, MK melanjutkan pembacaan putusan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan sejumlah kepala daerah, di antaranya Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak. Para pemohon tidak mempermasalahkan usia minimal capres-cawapres 40 tahun, tetapi meminta penambahan syarat alternatif, yakni pernah menjabat sebagai penyelenggara negara.
Mirip seperti putusan sebelumnya, Saldi menilai permohonan yang diajukan saling bertolak belakang atau kontradiktif. Penyelenggara negara pada dasarnya tidak terlepas dari unsur syarat minimal usia. Artinya, syarat alternatif yang diajukan sama dengan meniadakan syarat minimal 40 tahun untuk capres-cawapres.
”Keinginan para pemohon untuk adanya pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 akan menyebabkan contradictio in terminis karena akan melarang sekaligus membolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres,” tuturnya.
Sifat kontradiktif tersebut dinilai akan menimbulkan kebingungan dan keraguan yang berujung ketidakpastian hukum. Terlebih, terdapat berbagai jenis jabatan penyelenggara negara.
Pendapat berbeda
Dua hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yaitu Suhartoyo dan Guntur Hamzah. Suhartoyo menilai pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mempersoalkan syarat usia capres dan cawapres. Karena itu, permohonan seharusnya tidak diterima.
Di sisi lain, Guntur Hamzah menyatakan gugatan pemohon mengenai Pasal 169 huruf q UU No 7/2017 seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”berusia paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang pemilihannya dilakukan melalui pemilu seperti kepala daerah”.