Berebut Suara Nahdliyin di ”Bumi Majapahit”
Dukungan warga Jatim dan NU terhadap tiap pasangan capres-cawapres di Pilpres 2024 bakal menentukan. Tak hanya karena 15,33 persen pemilih di ”Bumi Majapahit” itu, tetapi juga karena mengamplifikasi dukungan nahdliyin.
Terhitung empat bulan menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada 19 Oktober 2023, gelagat memperebutkan suara basis Nahdlatul Ulama kian terlihat. Tiga bakal capres semakin gencar berkunjung ke Jawa Timur. Tak hanya ”blusukan” ke masyarakat, mereka intens pula bertemu dengan para kiai, ulama, dan tokoh dari kalangan NU.
Bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto, misalnya, pada akhir September 2023 menggelar pertemuan dengan sejumlah kiai NU di Surabaya, Jatim. Itu bukan pertama kalinya Prabowo hadir di Jatim untuk bersilaturahmi dengan para kiai dan ulama. Setidaknya, sejak akhir tahun lalu, Menteri Pertahanan itu juga telah bertemu dengan para kiai sepuh di Jatim.
Baca juga: Napas Nasionalisme dan Tantangan Partai Religius
Tak cukup dengan mereka, Prabowo juga beberapa kali bertemu dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang merupakan tokoh perempuan NU. Pertemuan ini berlangsung di tengah santernya nama Khofifah akan didapuk menjadi Ketua Tim Sukses Pemenangan Prabowo.
Gerilya ke para kiai, ulama, dan tokoh NU juga dilakukan oleh bakal calon presiden Ganjar Pranowo, yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Namun, sering kali, dalam setiap kunjungan ini, Ganjar ditemani istrinya, Siti Atiqoh Supriyanti, yang merupakan cucu seorang kiai NU dari Purbalingga. Ini tentu akan semakin ”memuluskan” jalan Ganjar untuk diterima para sepuh dari kalangan NU.
Menjelang Pilpres 2024, memang tidak pernah terekam apakah Ganjar juga menyempatkan bertemu dengan Khofifah dalam setiap kunjungannya ke Jatim. Namun, yang pasti, di sela-sela Rapat Kerja Nasional IV PDI-P, 1 Oktober 2023, Ganjar mendapat penugasan untuk menemani Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang, bertolak ke Surabaya. Kala itu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto membocorkan, di Jatim, Ganjar akan menemui orang khusus dan spesial.
Nama Khofifah juga semakin kuat beredar menjadi bakal cawapres dari Ganjar setelah Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU itu bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Selain Khofifah, ada pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang juga telah berjumpa dengan Megawati.
Jatim kini seakan menjadi magnet politik baru.
Baca juga: Langkah Politik Khofifah Tunggu Rekomendasi Para Kiai
Jatim kini seakan menjadi magnet politik baru setelah bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan, menggandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai bakal cawapres. Penunjukkan Muhaimin ini memang tak terlepas untuk menutupi ”kelemahan” Anies di Jatim.
Sebagaimana diketahui, Muhaimin merupakan tokoh NU. Tak hanya itu, partai yang dipimpinnya pun lahir dari rahim NU sehingga sedikit banyak kondisi ini tentu menjadi ancaman bagi pasangan lain di pilpres mendatang.
Medan pertempuran
Di luar itu, pemilih di Jatim pada 2024 bisa mencapai 31,4 juta pemilih atau 15,33 persen dibandingkan pemilih nasional. Lebih dari itu, Jatim merupakan basis utama warga NU sehingga tak heran di tahun politik para bakal capres ramai-ramai mulai memperhatikan wilayah tersebut.
Jika ditarik mundur ke belakang, Presiden Joko Widodo dalam dua pemilu sebelumnya telah membuktikan signifikansi politik Jatim. Dalam Pilpres 2014, ketika ia berpasangan dengan Jusuf Kalla, Jokowi mampu meraih 53,17 persen pemilih di Jatim. Capaian hasil yang mirip dengan capaian pasangan ini di tingkat nasional (53,15 persen).
Baca juga: ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Pada Pilpres 2019, kontribusi Jatim lagi-lagi menjadi salah satu penyokong kemenangan Jokowi secara nasional. Saat itu, Jokowi secara mengejutkan memilih KH Ma’ruf Amin, ulama NU yang aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dikenal juga sebagai politikus PKB, sebagai pasangannya.
Hal ini mungkin saja menjadi pelajaran bagi para bakal capres lain. Jika melihat hasil survei teranyar dari Indikator Politik Indonesia, misalnya, dalam simulasi tiga nama, elektabilitas Ganjar unggul dengan perolehan 43,9 persen di Jatim, sedangkan Prabowo 33,8 persen dan Anies 14,4 persen.
Ini tak berbeda jauh dengan hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada akhir September lalu. Elektabilitas Ganjar di Jatim menempati posisi teratas dengan 44 persen, diikuti Prabowo 23 persen dan Anies 14,2 persen.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Andre Rosiade, menyadari, Jatim merupakan salah satu kunci kemenangan di Pilpres 2024. Karena itu, partainya bersama Prabowo juga kerap menggelar silaturahmi bersama para tokoh di Jatim.
Upaya penebalan kemenangan di Jatim juga didukung partai politik pendukung Prabowo, seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Garuda, Partai Gelora, dan Partai Bulan Bintang.
”Kami ingin memenangi battle ground (medan pertempuran) ini karena Jatim adalah kunci kemenangan Prabowo pada Pilpres 2024,” ujar Andre.
Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra Irfan Yusuf Hasyim, wilayah yang dijadikan medan pertempuran sebenarnya bukan hanya Jatim. Wilayah lain juga tidak boleh dilepas, seperti Jawa Tengah (Jateng) atau Jawa Barat (Jabar). Sebab, kedua wilayah itu memiliki jumlah pemilih yang tak kalah banyak dibandingkan Jatim.
”Jadi, bukan berarti Jateng dilepas, enggak. Kami juga tetap memperhatikan Jateng. Jabar yang dikatakan kandang gemuk kami, juga bukan berarti kami bersantai-santai, enggak, tetapi tetap kami pelihara supaya lebih maksimal lagi,” tutur Irfan.
Baca juga: Lanjutkan Safari Politik di Jatim, Ganjar Sapa Warga Jember
Ia mengakui, untuk bisa memperbesar kemenangan di Jatim, Gerindra juga menjajaki komunikasi dengan tokoh lain, bukan hanya dengan Khofifah. Semua tokoh terus dijajaki yang pada akhirnya akan dipilih siapa yang memiliki peluang kemenangan terbesar ketika disandingkan dengan Prabowo.
Untuk bisa memperbesar kemenangan di Jatim, Gerindra juga menjajaki komunikasi dengan tokoh lain, bukan hanya dengan Khofifah.
”Semuanya kami pertimbangkan. Makanya kami terkesan lama, belum memutuskan (bakal cawapres). Itu karena banyak sekali pertimbangan. Belum lagi pertimbangan-pertimbangan dari teman-teman koalisi, juga menjadi perhatian kami,” ujar Irfan.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto justru berpandangan, strategi pemenangan Ganjar adalah menempatkan semua wilayah sama pentingnya. Ada kepentingan elektoral ditinjau dari banyaknya penduduk, ada pula penting secara geopolitik, seperti Papua, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
”Selain itu juga, karena ketentuan konstitusi tentang aspek representasi guna memenuhi ketentuan ’sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia’,” ucap Hasto.
Pada Pemilu 2024, Jatim menjadi penting karena wilayah itu merupakan salah satu kunci kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. ”Saat itu, konsentrasi Prabowo di Jateng, yang ternyata terbukti menjadi die hard PDI-P. Atas dasar itu, mengapa dari kalkulasi elektoral Jatim menjadi wilayah perebutan,” ujarnya.
Namun, menurut Hasto, politik itu dinamis. Saat ini, misalnya, Ganjar justru banyak diterima di Jabar dan Banten. Kombinasi Ganjar, Siti Atikoh, dan anaknya, Alam Ganjar, menjadi daya tarik tersendiri di dalam mengubah dinamika politik elektoral.
Sementara itu, Sekjen PKB Hasanuddin Wahid tak mempersoalkan elektabilitas pasangan Anies-Muhaimin yang terpotret masih paling ”bontot” dibandingkan bakal capres lain. Ia optimistis pasangan Anies-Muhaimin bisa mengantongi mayoritas suara di Jatim. Apalagi, sampai sejauh ini, hanya Koalisi Perubahan yang telah memiliki pasangan calon.
”Jawa Timur (target) 60 persen suara minimal, kalau bisa bahkan 70 persen target kami. (Bakal capres) yang lain, kan, masih jomblo. Jadi, kampanye di bawah itu ditanyain oleh seluruh masyarakat. ’Ini pasangannya siapa?’ Masyarakat masih ragu-ragu. Tetapi, dengan Amin (Anies-Muhaimin) ini, yang sudah dwitunggal ini, masyarakat enggak ragu-ragu lagi,” ucap Hasanuddin.
Ia mengatakan, sampai saat ini hanya Muhaimin, yang merupakan politikus asal Jatim, yang sudah pasti maju pada Pilpres 2024. Ia pun tak gentar jika akhirnya Khofifah maju sebagai bakal cawapres, mendampingi bakal capres yang masih jomblo saat ini. ”Kami tidak mempunyai keraguan, tidak mempunyai kecil hati, karena menurut kami pasangan ini sudah landing duluan,” katanya.
PBNU tetap netral
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Saifullah Yusuf, atau akrab disapa Gus Ipul, menegaskan, meskipun tokoh berlatar belakang NU diperebutkan sebagai bakal cawapres, PBNU tidak condong pada satu bakal capres-cawapres dan parpol tertentu. PBNU tetap netral dan tidak akan mengarahkan dukungan ke salah satu pasangan calon, sesuai dengan sikap 63 persen nahdliyin yang menginginkan agar NU netral.
”PBNU tidak akan terlibat dalam dukung-mendukung, kecuali terpaksa. Maksudnya, menyangkut keselamatan bangsa, itu bisa jadi PBNU akan bersikap. Selama tidak ada, tentu kami tidak akan terlibat,” kata Gus Ipul.
Secara umum perilaku pemilih nahdliyin terbuka terhadap siapa pun sosok capres-cawapres.
Wali Kota Pasuruan dan mantan Wakil Gubernur Jatim dua periode ini menuturkan, dukungan dari NU terutama di Jatim sangat signifikan dalam setiap pilpres ataupun pilkada. Terlebih pada Pilpres 2024 tidak ada petahana yang berkontestasi dan elektabilitas dari tiga bakal capres tidak ada yang dominan. Dengan demikian, suara dari kalangan NU menjadi salah satu kunci untuk memenangi kontestasi.
Namun, secara umum perilaku pemilih nahdliyin terbuka terhadap siapa pun sosok capres-cawapres. Pemilih dari kalangan NU cenderung menilai latar belakang dari NU sebagai variabel pertama dalam menentukan pilihan sehingga harus diperkuat dengan kompetensi dan pengalaman menjalankan pemerintahan. Maka, memilih cawapres dari tokoh Jatim berlatar NU bisa menjadi opsi untuk mengubah konstelasi dan mengunci kemenangan.
”Pemilihan cawapres harus tepat, harus sosok yang memahami keinginan warga NU, termasuk dari para kiai berpengaruh,” ujar Gus Ipul.
Kacung Marijan
Lebih jauh, langkah Koalisi Perubahan yang mendeklarasikan Muhaimin sebagai bakal cawapres mendampingi Anies belum terlalu mendongkrak suara. Hal ini disebabkan ada sejumlah kiai menjadi gelisah karena tidak membayangkan dan tidak diberi tahu sebelumnya mengenai deklarasi tersebut. ”Ada kiai yang menjadi gamang setelah deklarasi, tetapi tidak tampak di permukaan,” ucapnya.
Pengaruh elektoral Jatim
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan, meskipun jumlah pemilih di Jatim hanya 15 persen, lebih rendah dibandingkan pemilih di Jabar, pengaruh elektoralnya sangat kuat. Ada ikatan kultural pemilih di Jatim yang tidak dimiliki daerah lain, yakni menjadi pusat dari pemilih NU.
Oleh karena itu, lanjutnya, poros koalisi mesti mencari sosok dari Jatim yang berlatar NU. Sebab, sosok di luar Jatim yang berpengaruh di NU tidak cukup kuat mengamplifikasi suara pemilih nahdliyin.
”Dukungan dari Jatim dan NU akan mengamplifikasi dukungan pemilih dari daerah lain, seperti Jabar dan Jateng. Dengan demikian, potensi suara yang diraih bukan hanya 15 persen, melainkan lebih besar dari jumlah itu karena dukungan warga NU dari daerah lain,” tuturnya.
Menurut Kacung, peta politik pilpres bisa berubah apabila Prabowo ataupun Ganjar memilih cawapresnya dari tokoh yang berpengaruh di Jatim, sekaligus memiliki pengaruh kuat di NU. Bahkan, semenjak Muhaimin dideklarasikan sebagai bakal cawapres Anies, sosok cawapres dari Jatim berlatar NU menjadi semakin signifikan.
”Tokoh seperti Mahfud MD dan Khofifah mengemuka untuk menghadang Muhaimin menguasai suara dari pemilih NU karena warga NU yang punya pengaruh kuat di NU,” ucapnya.