Heddy Lugito: Membawa Integritas Penyelenggara Pemilu di Level Tertinggi
Pemilu 2024 diperkirakan sangat kompetitif. DKPP ingin seluruh penyelenggara pemilu memiliki integritas yang tinggi. Apa saja upaya yang dilakukan DKPP untuk mewujudkan itu?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F82ed30e1-b417-49ec-af6e-9eb473acca38_jpg.jpg)
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Heddy Lugito
Tahapan Pemilihan Umum 2024 belum memasuki tahapan-tahapan krusial, seperti tahapan pemungutan suara dan rekapitulasi suara, tetapi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP sudah disibukkan dengan berbagai aduan dugaan pelanggaran etik. Sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum atau KPU dan Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu mulai dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota mulai diadukan ke DKPP. Mereka diduga melanggar etik dalam melaksanakan tahapan dan dukungan tahapan pemilu.
Hampir setiap hari DKPP menggelar sidang dugaan pelanggaran kode etik. Tak hanya di Jakarta, sidang juga dilakukan di daerah karena sebagian besar teradu merupakan penyelenggara pemilu di daerah. Ketukan palu dari para mejelis DKPP amat dinanti untuk mengadili para penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu termuda yang usianya baru 11 tahun, DKPP memiliki tugas berat untuk menjaga kode etik para penyelenggara pemilu. DKPP menjadi benteng terakhir dalam menjaga kehormatan penyelenggara pemilu. Lembaga ini harus memastikan penyelenggaran pemilu dilakukan oleh penyelenggara yang penuh integritas agar proses dan hasil pemilu kredibel serta dipercaya masyarakat.
Baca juga: DKPP Diharapkan Obyektif Tangani Dugaan Kecurangan Pemilu
Di sela kesibukan menggelar sidang pelanggaran dugaan kode etik, Kompas berkesempatan berbincang dengan Ketua DKPP Heddy Lugito pada Jumat (22/9/2023). Selama sekitar satu jam di Kantor DKPP, Jakarta, Heddy mengungkapkan sejumlah langkah DKPP dalam menjaga etika penyelenggara pemilu. Sebab, DKPP berharap pelaksanaan Pemilu 2024 dilakukan para penyelenggara yang memiliki integritas di level tertinggi.
Sekalipun tahapan Pemilu 2024 belum memasuki tahapan-tahapan krusial, seperti kampanye, pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara, pengaduan ke DKPP sudah mulai menggunung. Data DKPP menunjukkan, pengaduan yang masuk sejak Januari hingga Agustus mencapai 262 aduan atau jika dirata-rata minimal ada satu pengaduan setiap hari. Pengaduan didominasi dari Sumatera Utara, Aceh, dan Papua dengan mayoritas diadukan karena melanggar prinsip profesional.
”Kalau perbandingannya dengan Pemilu 2019 di saat tahapan yang sama, kenaikannya sekitar 40 persen. Menurut saya, jumlahnya sangat besar karena ini belum sampai pada tahapan yang krusial,” ujarnya.
Dari pengalaman banyaknya pengaduan yang masuk ke DKPP, Heddy menilai idealnya ada empat kantor perwakilan di daerah. Lokasinya berada di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Jawa bagian tengah. Lokasi tersebut dipilih karena banyak pengaduan dari daerah tersebut sehingga proses persidangan bisa dilakukan lebih cepat. Namun, hingga saat itu, harapan tersebut belum terlaksana karena anggaran yang sangat terbatas.

Majelis sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu (KEPP) di kantor DKPP, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/2/2023).
Berkunjung ke daerah
Selama kantor perwakilan belum terbentuk, seluruh anggota DKPP bergantian ke daerah untuk menyidangkan kasus. Dalam satu minggu, hanya ada satu anggota yang tetap berada di Jakarta karena lainnya bersidang ke daerah. Anggota DKPP yang paling sering ”jaga kandang” di Jakarta adalah Heddy dan J Kristiadi.
”Saya berharap tahun depan sudah bisa direalisasikan karena tidak murah untuk membuat kantor perwakilan. Tujuannya bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk memberikan pelayanan yang lebih cepat,” katanya.
Heddy menuturkan, hampir semua pengaduan berawal dari residu-residu proses rekrutmen penyelenggara ad hoc yang dilakukan KPU dan Bawaslu. Seusai rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam), peserta yang tidak lolos seleksi mengadukan proses rekrutmen ke DKPP.
Sekalipun bukan termasuk tahapan pemilu yang krusial, rekrutmen badan ad hoc harus dilakukan dengan penuh integritas.
Sekalipun bukan termasuk tahapan pemilu yang krusial, rekrutmen badan ad hoc harus dilakukan dengan penuh integritas. Oleh karena itu, pengaduan-pengaduan yang menyangkut seleksi penyelenggara pemilu ditangani dengan baik untuk memastikan penyelenggara yang terpilih benar-benar orang yang memiliki integritas. Bahkan, sejak tahapan pendaftaran pemilih, pelaksanaannya harus dilakukan secara kredibel. Hal itu diperlukan agar tidak ada orang yang menyangsikan lagi pelaksanaan seluruh tahapan yang dilakukan KPU dan Bawaslu.
”DKPP ingin memastikan setiap tahapan pemilu, mulai dari yang paling kecil harus kredibel dan dipercaya publik. Termasuk dalam hal rekrutmen penyelenggara, mulai dari tingkat desa pun harus benar-benar kredibel,” tuturnya.
Setelah seleksi penyelenggara di sebagian besar daerah usai, ia berharap pengaduan mengenai dugaan pelanggaran etik saat seleksi penyelenggara pemilu berkurang karena residu-residu dari proses seleksi sudah diadukan. Penyelenggara pemilu yang sudah terpilih pun mesti menjaga integritas dengan baik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F04%2F02%2Ffe25c9c4-2889-4c2d-8df1-c4033b49d722_jpg.jpg)
Ilustrasi. Pemilih menerima surat suara dari anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada simulasi pemungutan suara Pemilu 2019 di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (2/4/2019).
Apalagi, banyak penyelenggara terpilih merupakan orang-orang yang berkarier di kepemiluan sehingga sudah memahami etika dalam penyelenggaraan pemilu. Saat terpilih, artinya mereka dinilai mampu menjalankan semua tahapan pemilu dengan baik dan diharapkan tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran etik saat tahapan-tahapan krusial, seperti di tahapan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara.
”Kalau terjadi pelanggaran etik, biarlah di proses rekrutmen saja sehingga kami tertibkan di awal sehingga yang terpilih adalah penyelenggara yang punya intergitas di level tertinggi,” ujar Heddy.
Menurutnya, tahapan pemilu yang paling rawan muncul aduan berawal sejak penetapan jumlah pemilih. Jika data tidak akurat, hal itu bisa menjadi sumber permasalahan. Sementara tahapan lain yang krusial adalah penghitungan suara karena sering kali terjadi pertempuran antarcaleg di satu partai.
Baca juga : Koalisi Masyarakat Sipil Siap Ungkap Dugaan Kecurangan Pemilu ke DPR
Namun, beberapa parpol sudah mengatur calegnya agar tidak bersaing dalam satu wilayah yang sama. Parpol membagi wilayah yang bisa disasar oleh caleg sehingga tidak terjadi pertempuran antarcaleg. Jika hal itu bisa dilakukan oleh semua parpol, persaingan antarcaleg bisa dihindari dan berujung pada pengawasan KPU dan Bawaslu yang lebih ringan.
Pemilu kompetitif
Ia menilai, Pemilu 2024 lebih kompetitif dan strategis dibandingkan Pemilu 2024. Sebab, parpol yang berkontestasi lebih banyak, termasuk caleg yang akan berebut kursi di berbagai tingkatan. Terlebih, akan ada pemilihan kepala daerah di tahun yang sama. Dengan tingkat kompetisi yang tinggi, ia memperkirakan akan ada upaya-upaya memengaruhi penyelenggara agar berpihak pada peserta pemilu.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa ada banyak elemen dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis. Elemen itu adalah peserta yang taat aturan, regulasi yang jelas dan baik, pemilih yang partisipatif dan cerdas, birokrasi yang netral, serta penyelenggara yang berintegritas. Maka, apabila pesertanya tidak taat aturan, pasti akan cenderung memengaruhi penyelenggara agar sesuai dengan kemauan peserta pemilu.
”Kami harus memastikan integritas penyelenggara berada di level tertinggi. Kalau tidak, saya khawatir pemilu tidak berjalan sesuai yang kita harapan. Karena itulah, DKPP selalu melakukan mitigasi pencermatan-pencermatan di semua tahapan,” kata Heddy.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F22%2F9ecbcc82-ae53-4d78-a76a-4c684431ccc6_jpg.jpg)
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Heddy Lugito
Dari persidangan yang telah dilakukan, belum ada pelanggaran kode etik yang disebabkan penyelenggara mendapatkan intervensi dari peserta pemilu. Adapun yang terungkap di permukaan adalah karena peserta tidak puas kemudian membuat pengaduan. Selanjutnya, ada indikasi rekrutmen dikomersialisasikan. Selain itu, ada juga perlakuan yang tidak setara dalam proses seleksi sehingga ada perlakuan yang berbeda dengan peserta yang lain.
”Intervensi dari peserta pemilu sejauh ini kita tidak ditemukan secara langsung, paling tidak tidak tecermin dalam pengaduan ke DKPP. Karena itu tidak tecermin, saya tidak bisa bilang faktanya ada nggak. Sampai sejauh ini tidak tecermin dalam pengaduan, tidak tecermin ada intervensi,” ujarnya.
Di tengah keterbatasan kewenangan DKPP, pihaknya terus mengingatkan para penyelenggara pemilu agar selalu menjaga intergitas.
Menjaga integritas
Di tengah keterbatasan kewenangan DKPP, pihaknya terus mengingatkan para penyelenggara pemilu agar selalu menjaga intergitas. Anggaran DKPP yang minim kemudian disiasati dengan pelaksanaan sosialisasi pada acara-acara seperti rapat koordinasi dan bimbingan teknis yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Solusi ini dinilai lebih efektif dan efisien karena DKPP bisa memberikan sosialisasi kepada penyelenggara tanpa membutuhkan anggaran besar.
Materi sosialisasi salah satunya untuk mengingatkan penyelenggara pemilu bahwa pemilu bukan hanya soal hukum material, tetapi ada etika dan moral yang harus ditaati. Moralitas politik tersebut bahkan jauh lebih penting dibanding sekadar taat pada hukum material.
Menurut Heddy, sudah ada langkah progresif dari KPU dan Bawaslu dalam menyikapi dugaan pelanggaran kode etik. Ketika ditemukan ada penyelenggara yang terindikasi kuat melakukan pelanggaran kode etik, KPU dan Bawaslu sudah memberhentikan sementara penyelenggaranya yang diadukan ke DKPP. Sebab, kewenangan untuk memberhentikan tetap penyelenggara pemilu berada di DKPP melalui putusannya.
Sekalipun ada anggota KPU atau Bawaslu yang diberhentikan tetap, ia menilai sistem di kedua lembaga tersebut dalam penggantian anggota sudah baik. Pergantian antarwaktu sudah ditentukan sejak seleksi melalui pemeringkatan sehingga jika ada anggota yang diberhentikan, langsung digantikan oleh peserta seleksi yang ada di urutan selanjutnya.

Ilustrasi. Kantor Pusat Komisi Pemilihan Umum, Jakarta Pusat, Minggu (6/1/2019). KPU akan melaksanakan debat pertama antarpasangan calon peserta Pemilu 2019 pada 17 Januari 2019.
Ia menuturkan, DKPP selalu mempertimbangkan banyak hal dalam membuat putusan. Pertama, apakah pelanggarannya berpengaruh terhadap proses dan hasil pemilu. Selanjutnya, apakah pelanggaran tersebut mencederai lembaga kepemiluan. Meskipun terkadang ada pihak yang menilai putusan DKPP lembek atau sangat keras, seluruh putusan tetap melalui pertimbangan-pertimbangan obyektif di persidangan.
”Selama ini putusan DKPP masih on the track. Bahwa ada anggapan DKPP dianggap lemah atau putusannya kurang keras, ya, monggo saja, itu penilaiannya relatif subyektif,” ujar Heddy.
Baca juga : Laporan Dugaan Kecurangan Verifikasi Parpol Masuk dari Banyak Daerah
Sebagai salah satu penyelenggara pemilu, Heddy tidak menampik lembaganya bisa menjadi sasaran dari peserta pemilu. Namun, ia berupaya agar DKPP sebagai lembaga penegak etik tetap netral dan tidak terpengaruh oleh peserta pemilu. Bahkan, selama setahun, ia menegaskan, belum pernah ada pejabat ataupun politikus yang berusaha mengintervensinya dalam membuat putusan. Kalaupun ada yang meminta bocoran putusan, ia meminta pihak tersebut untuk menunggu saat pembacaan putusan.
”Saya sudah menegaskan kepada seluruh jajaran DKPP bahwa meskipun gajinya kecil tidak usah disesali karena sudah jadi pilihan. Maka, DKPP juga harus bekerja dengan integritas yang tertinggi, sama seperti para penyelenggara pemilu,” katanya.