Laporan Dugaan Kecurangan Verifikasi Parpol Masuk dari Banyak Daerah
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu mendesak KPU mengaudit Sipol dan memublikasikan hasilnya secara terbuka. Tak transparannya KPU terhadap data di Sipol bisa mencederai pemilu.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendesak Komisi Pemilihan Umum mengaudit Sistem Informasi Partai Politik atau Sipol KPU secara menyeluruh dan mempublikasikan hasilnya secara transparan. Hal itu penting untuk membuktikan kredibilitas penyelenggara pemilu sekaligus menjamin kepercayaan publik di tengah munculnya temuan menyangkut dugaan manipulasi data verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Sejak membuka pos pengaduan kecurangan verifikasi faktual partai politik (parpol) pekan lalu hingga Minggu (18/12/2022), Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menerima laporan dugaan kecurangan dari tujuh provinsi dan 12 kabupaten/kota. Berdasarkan informasi yang diterima, anggota atau pejabat di lingkungan KPU provinsi dan kabupaten/kota di sejumlah daerah tersebut diduga mengikuti instruksi dari anggota atau pejabat KPU untuk memanipulasi data verifikasi faktual parpol yang sedang berlangsung. Manipulasi yang dimaksud adalah mengubah status hasil verifikasi parpol tertentu yang semula tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi memenuhi syarat (MS).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Minggu, menjelaskan, dugaan manipulasi data itu terjadi dalam rangkaian peristiwa sepanjang 5-7 November lalu. Pada 5 November, setelah melakukan verifikasi faktual parpol, KPU kabupaten/kota menyerahkan hasil kerjanya kepada KPU provinsi. Sehari setelahnya, KPU provinsi merekapitulasi hasil verifikasi faktual ke aplikasi Sipol KPU.
Kemudian pada 7 November, KPU provinsi dijadwalkan menyampaikan hasil verifikasi faktual ke KPU. Namun, anggota KPU disebut menginstruksikan kepada KPU provinsi untuk mengubah status verifikasi parpol tertentu dari TMS menjadi MS. Instruksi disampaikan lewat panggilan video. Akan tetapi, tak semua anggota KPU provinsi mau melaksanakan perintah tersebut.
Akibatnya, ada perubahan modus intervensi, yakni melalui perintah Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU kepada sekretaris provinsi. Sekretaris provinsi diminta untuk memerintahkan pegawai operator Sipol mengubah status verifikasi parpol. Perintah itu juga disebut disampaikan melalui panggilan video disertai ancaman mutasi bagi pegawai yang menolak.
Tak hanya itu, beredar pula kabar iming-iming dukungan agar anggota KPU daerah bisa terpilih lagi dalam pemilihan pada 2023 jika bersedia mengikuti instruksi tersebut. ”Jika benar, tentu dengan adanya proses pendalaman lebih lanjut, tidak salah kemudian disimpulkan (ada) kejahatan terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” kata Kurnia.
Untuk membuktikan kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu, kata Kurnia, koalisi mendesak KPU untuk mengaudit Sipol dan memublikasikan hasilnya secara terbuka. Dengan teknologi digital, aktivitas di sistem aplikasi tersebut semestinya terekam jelas sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
”Audit Sipol itu yang ditunggu-tunggu, karena ada indikasi berbagai perubahan data di sana. Jika audit dilakukan, maka (kalau ada kecurangan) akan terlihat perubahan di tanggal-tanggal tertentu,” ujar Kurnia.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) M Nur Ramadhan menambahkan, audit besar-besaran terhadap Sipol memang diperlukan. Sebab, tidak transparannya KPU terhadap data yang direkam di aplikasi tersebut bisa mencederai prinsip keadilan pemilu.
Laporan etik
Ibnu Syamsu Hidayat dari Themis Indonesia Law Firm mengatakan, pihaknya sebagai kuasa hukum dari sembilan anggota KPU dari lima kabupaten/kota dan dua provinsi, termasuk pegawai bagian teknis di sekretariat KPU di daerah, telah menyampaikan somasi kepada KPU, Selasa (13/12/2022) lalu. Somasi tersebut terkait dengan dugaan kecurangan, manipulasi data, dan pelanggaran hukum dalam proses verifikasi faktual parpol.
Akan tetapi, lanjut Ibnu, hingga saat ini belum ada balasan dan tindak lanjut dari KPU terhadap somasi tersebut. Untuk itu, pihaknya akan melakukan langkah lain. ”Kami akan melakukan penegakan etik dengan melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam waktu dekat. Apabila dalam perjalanan kami menemukan dugaan tindak pidana, seperti pemalsuan, kami juga akan melaporkannya ke aparat penegak hukum,” ujar Ibnu.
Ia menegaskan, advokasi ini dilakukan demi penyelenggaraan pemilu yang bersih dan berkualitas serta menjaga kredibilitas dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Koalisi bukan bagian dari pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi dari peristiwa ini.
Secara terpisah, anggota KPU, Idham Holik, mengatakan telah menerima somasi yang dilayangkan Themis Indonesia Law Firm dan Amar Law Firm & Public Interest. Namun, surat dimaksud tidak menjelaskan asal KPU daerah yang mereka wakili.
Menurut dia, somasi semestinya merupakan respons atas kebijakan yang berdampak pada sebuah lembaga. Namun, sejauh ini tidak ada kebijakan KPU yang dinilai merugikan firma hukum tersebut, apalagi lembaga hukum bukan peserta pemilu.
Meski demikian, ia berjanji akan tetap merespons dan menindaklanjutinya. ”Prinsipnya, kami adalah lembaga publik yang sifatnya terbuka. Kami akan respons, ini bagian dari mekanisme untuk memperbaiki konteks pelayanan kepemiluan,” kata Idham.