Bareskrim Diminta Ambil Alih Kasus Ekspor-Impor Emas Rp 189 Triliun
Hingga kini tak ada perkembangan signifikan dari Ditjen Bea dan Cukai dalam pengusutan transaksi mencurigakan senilai Rp 189 triliun pada kasus ekspor-impor emas. Jika tak ada perkembangan, kasus dialihkan ke Bareskrim.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang meyakini ada tindak pidana lain, seperti tambang emas ilegal, dalam dugaan tindak pidana pencucian uang pada kasus ekspor-impor emas senilai Rp 189 triliun. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan diminta meneliti ulang kasus itu sampai batas waktu November ini. Jika tak ada perkembangan, Badan Reserse Kriminal Polri diminta mengambil alih kasus itu.
Ketua Tim Pelaksana SatgasTPPU Sugeng Purnomo seusai rapat koordinasi, Rabu (27/9/2023), mengatakan, Satgas terus berkoordinasi dan membahas transaksi janggal senilai Rp 189 triliun dalam kasus ekspor dan impor emas. Rapat itu dihadiri oleh Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak, dan Bareskrim Polri.
Sejak Mei 2023, Satgas TPPU terus mengusut transaksi mencurigakan tersebut. Namun, karena tidak ada perkembangan signifikan dari Ditjen Bea Cukai, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD merekomendasikan agar kasus itu diambil alih oleh Bareskrim Polri.
”Kami memberikan waktu kepada Kementerian Keuangan untuk menyampaikan perkembangan terakhirnya nanti di minggu pertama bulan November. Seandainya tidak bisa diselesaikan, akan diambil satu langkah dengan beberapa alternatif,” ujar Sugeng kepada wartawan.
Dalam rapat tersebut juga diputuskan bahwa jika Ditjen Bea Cukai sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) gagal mengusut tindak pidana asal TPPU itu, kasus akan diserahkan kepada aparat penegak hukum lainnya, yaitu Bareskrim Polri. Tujuannya untuk bisa melihat lebih dalam terkait transaksi mencurigakan itu.
Ditjen Pajak ditugaskan menagih
Tim ahli Satgas TPPU juga sedang mempersiapkan sejumlah masukan kepada bea cukai. Selain Ditjen Bea Cukai, Ditjen Pajak juga diminta terus bergerak menagih atau meminta laporan keuangan perusahaan atau entitas terkait. Jika masih ada nilai pajak yang bisa ditagih kembali, subyek pajak diminta melaporkannya.
”Jadi, kami ingin menyelesaikan secara paralel. Mudah-mudahan ini ada titik temu untuk menyelesaikan transaksi yang kami anggap mencurigakan,” kata Sugeng.
Sebelum sepenuhnya masuk mengambil alih perkara itu, Bareskrim Polri juga sudah mulai dilibatkan dalam rapat Satgas TPPU. Bareskrim ikut mendengarkan paparan dari Ditjen Bea Cukai dengan harapan mereka mengetahui situasi yang dihadapi.
Bareskrim diminta untuk menyelesaikan dari sisi tindak pidana lainnya di luar tindak pidana kepabeanan dan perpajakan. Salah satunya adalah indikasi adanya tambang emas ilegal (ilegal mining).
”Jika memang tidak ada perkembangan dari Ditjen Bea Cukai, langsung kami serahkan ke teman-teman Bareskrim yang sudah mendapatkan gambaran utuh dari kasusnya,” tuturnya.
Tim ahli Satgas TPPU, Yunus Husein, menambahkan, selama ini Ditjen Bea Cukai memang belum optimal dalam menangani dugaan TPPU Rp 189 triliun itu.
Satgas TPPU menduga ada tindak pidana pertambangan tanpa izin atau tambang emas ilegal yang berkelindan dalam perkara tersebut. Namun, hal itu masih akan didalami sampai pekan pertama November.
Ditjen Bea Cukai belum optimal
Tim ahli Satgas TPPU, Yunus Husein, menambahkan, selama ini Ditjen Bea Cukai memang belum optimal dalam menangani dugaan TPPU Rp 189 triliun itu. Mereka hanya mempresentasikan tindak lanjut yang sudah mereka lakukan dan mengklaim bahwa belum ditemukan pelanggaran dalam kasus tersebut.
”Sampai sekarang belum ditemukan pelanggaran di Undang-Undang Kepabeanan. Karena yang berwenang menyidik tindak pidana kepabeanan itu hanya Ditjen Bea Cukai,” katanya.
Dalam rapat di Komisi III DPR, awal 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Ditjen Bea Cukai telah mendalami dugaan TPPU Rp 189 triliun. Namun, hal itu masih akan didalami lebih lanjut untuk melihat kemungkinan pelanggaran lainnya. Tindak lanjut itu didasarkan pada 65 surat dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada periode 2009-2023 tentang perusahaan atau korporasi.
Saat itu, Sri menyampaikan bahwa pada 21 Januari 2016, Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta menangkap dan menindak ekspor emas melalui kargo bandara atas nama PT X. Penangkapan dan penindakan itu sudah dilanjutkan dengan proses penyidikan. Bahkan, kasus juga sudah diputus oleh Pengadilan Negeri pada 2017 sampai dengan Mahkamah Agung. Hasilnya, pelaku perorangan dilepaskan dari segala tuntutan hukum, sementara putusan terhadap pelaku korporasi dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi tindak pidana sebesar Rp 500 juta.
Dalam putusan pengadilan tentang kasus tersebut disebut bahwa terdakwa DL selaku Direktur PT TU yang bergerak dalam pengelolaan logam mulia telah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan kekeliruan dalam membuat dokumen invoice dan packing list yang menyebut bahwa barang yang diekspor berupa perhiasan (jewelry), padahal seharusnya sisa-sisa emas (scrap jewelry).
Scrap jewelry adalah sisa dari bahan baku pembuatan perhiasan emas. Atas perbuatan itu, PT Tujuan Utama diduga menyerahkan pemberitahuan kepabeanan palsu yang melanggar Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Namun, pengadilan memutus terdakwa DL terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Oleh karena itu, pengadilan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.