Masyarakat sipil memandang instrumen hukum dipakai untuk menyerang masyarakat, institusi, dan media yang kritis terhadap pemerintah. Kondisi ini membuat kelompok sipil tertekan untuk berpendapat secara kritis.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun kebebasan sipil dijamin secara konstitusional, dalam praktiknya masih lemah karena terdapat sejumlah pembatasan, terutama pembatasan terhadap kebebasan untuk berpendapat di ruang publik. Menjelang Pemilu 2024, masyarakat pun diajak memilih calon pemimpin yang dapat menjamin kebebasan sipil.
Peneliti Hukum dan Keamanan Department Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta, Nicky Fahrizal, mengatakan, terdapat tanda-tanda otokrasi model baru, yaitu tirani berputar (spin dictatorship) dalam pemerintahan Indonesia. ”Salah satu cirinya adalah menggunakan instrumen hukum atau proses hukum yang sah untuk menekan kelompok oposisi atau kelompok kritis,” ujar Nicky.
Penggunaan instrumen hukum untuk menekan masyarakat, menurut Nicky, menunjukkan kekebasan sipil yang belum terlindungi dengan baik. Hal itu disampaikan dalam diskusi Update Politik Nasional: Pemilu 2024, Peta Kompetisi Partai, dan Keamanan Situasi Keamanan di Papua, yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (25/9/2023). Hadir pula dalam diskusi peneliti CSIS lainnya, Vidyandika D Perkasa dan Arya Fernandes.
Menyerang masyarakat
Nicky menyebutkan kritik masyarakat terhadap pejabat atau kerabatnya sering berujung pada kasus hukum. Hal ini, misalnya, terlihat dalam proses hukum terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, yang diduga melakukan pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
”Instrumen hukum positif yang berada di tangan pejabat atau politisi yang tidak menginginkan kebebasan berpendapat dan anti terhadap kritik dapat berubah menjadi instrumen untuk menyerang balik masyarakat sipil,” ujar Nicky.
Kritik masyarakat terhadap pejabat atau kerabatnya sering berujung pada kasus hukum.
Instrumen hukum dipakai tidak hanya untuk menyerang masyarakat, tetapi juga institusi dan media yang kritis terhadap pemerintah. Bentuk tekanan kepada media juga berubah. Kalau pada masa orde baru terdapat sejumlah upaya pemberedelan terhadap perusahaan media, beberapa tahun belakangan ini tekanan itu dalam bentuk serangan digital, penuntutan hukum, dan penguasaan media melalui kepemilikan atau pembelian saham.
Berdasarkan laporan Safenet, terdapat 263 kasus serangan digital hingga kuartal III-2022. Serangan digital menyasar beragam kalangan, termasuk media dan jurnalis. Aliansi Jurnalis Independent (AJI) menyebutkan terdapat 14 kasus serangan digital terhadap wartawan dan media pada 2022. Jumlah itu naik hampir tiga kali lipat dibandingkan 2021 yang memiliki 5 kasus (Kompas, 22/12/2022).
Menurut Nicky, serangan siber itu dilakukan berbagai pihak, termasuk otoritas ataupun pihak lain yang sengaja ”dipelihara” otoritas. ”Pemerintah sah tidak mungkin menyerang masyarakat karena itu akan menurunkan kredibilitas mereka. Tetapi di ruang digital ada kelompok ketiga yang disiapkan untuk menyerang masyarakat,” katanya.
Dampak serangan siber dan kriminalisasi terhadap masyarakat membuat kelompok sipil menjadi takut berpendapat secara kritis dan jujur karena khawatir sewaktu-waktu dapat dijerat hukum, datanya disedot, dan disebarkan tanpa izin, atau mengalami persekusi digital. ”Menjelang Pemilu 2024, masyarakat harus aware dengan gejala-gejala ini sehingga dapat memilih calon pemimpin yang menjamin kebebasan sipil,” katanya.
Membelah perhatian publik
Sementara itu, Arya Fernandes mengatakan, pemilu nasional yang serentak antara pemilihan presiden dan pemilu legislatif membelah konsentrasi publik. ”Ada kecenderungan pemilu legislatif sepi dari pembicaraan publik. Padahal, pemilihan legislatif penting karena calon terpilih akan menentukan wajah legislasi kita ke depan,” katanya.
Berdasarkan potret daftar calon sementara (DCS) Pemilihan Legislatif 2024, 93,5 persen calon anggota legislatif (caleg) petahana kembali mencalonkan diri pada Pemilu 2024. Sebanyak 90 persen di antaranya maju di daerah pemilihan (dapil) yang sama, dan sebagiannya maju di dapil tersebut lebih dari dua periode pemilu. Saat ini, caleg yang pindah partai 6 orang. Pada pemilu sebelumnya, terdapat lebih dari 30 caleg petahana yang pindah partai.
Kerentanan pemilu dan pilkada di Papua terjadi tidak lepas dari pengaruh situasi keamanan dan eskalasi konflik berkepanjangan yang sulit ditangani.
Di Papua, menurut Vidhyandika D Perkasa, terdapat sejumlah kerawanan pemilu dan pilkada. Kerawanan itu mulai dari rentan manipulasi, penyelenggaraan pemilu tidak profesional, terdapat intervensi kepala daerah dan tidak netralnya birokrasi, menyusupnya berbagai kepentingan di luar pemilu dan pilkada, lemahnya peran masyarakat sipil dalam monitoring dan evaluasi pemilu dan pilkada, hingga ancaman terhadap warga sipil.
Menurut Vidhyandika, kerentanan pemilu dan pilkada di Papua terjadi tidak lepas dari pengaruh situasi keamanan dan eskalasi konflik berkepanjangan yang sulit ditangani. Selain itu terdapat pula problem pembangunan ekonomi yang problematis, budaya, dan situasi geografis. ”Untuk mengatasi masalah-masalah ini perlu ada jeda kemanusiaan dan dialog. Bagaimanapun opini dari orang Papua harus didengar dan keberadaan mereka harus dimanusiakan sebagaimana seharusnya,” katanya.