25 Tahun Reformasi dan Masa Depan Kebebasan Berpendapat
Era reformasi sudah berjalan 25 tahun, tetapi demokrasi di Indonesia relatif belum sepenuhnya kokoh. Kebebasan sipil masih belum menemukan ruang kebebasannya secara optimal.

Dua puluh lima tahun yang lalu, di bulan Mei, bangsa Indonesia lepas dari belenggu rezim otoriter Orde Baru. Di era reformasi, ruang untuk kebebasan sipil semakin terbuka. Namun, kebebasan sipil, khususnya dalam menyampaikan pendapat, justru semakin tidak terjamin.
Terkikisnya kebebasan berpendapat di Indonesia tecermin dari data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) versi Badan Pusat Statistik dan Democracy Index (DI) versi The Economist Intelligence Unit (EIU).
Merujuk IDI, ada 6 dari 11 variabel yang mengalami penurunan pada tahun 2020. Dibandingkan tahun sebelumnya, kebebasan berpendapat mengalami penurunan paling tajam, yaitu 8,23 poin.
Pada aspek kebebasan sipil, skor variabel kebebasan berpendapat merupakan yang terendah dengan skor 56,06. Padahal, variabel lainnya ada yang telah mencapai level 90,88 dari rentang pengukur 0 hingga 100.
Jika dibandingkan dengan seluruh variabel, skor kebebasan berpendapat tercatat pada kategori rendah. Sebagai pembanding, ada lima variabel lain yang mencapai skor di atas 85 poin.

Skor kebebasan berpendapat ini juga konsisten mengalami penurunan. Dibandingkan tahun 2009, misalnya, penurunan indeks mencapai 27,91 poin dan masuk kategori dengan penurunan ekstrem.
Tren penurunan ini menandakan adanya pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan di masa kini untuk mengungkit jaminan atas kebebasan berpendapat bagi masyarakat Indonesia.
Capaian kebebasan sipil di Indonesia juga dinilai belum baik jika diukur lewat standarisasi global. Aspek ini juga tidak lebih baik dari aspek lainnya dengan selisih yang cukup lebar. Jika mengacu data The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi di Indonesia sudah mengarah pada tren yang positif, namun setali tiga uang, aspek kebebasan sipil masih menjadi pekerjaan rumah.
Merujuk DI versi EIU, skor kebebasan sipil Indonesia dalam empat tahun terakhir selalu berada di bawah rerata DI Indonesia. Pada 2019, misalnya, skornya hanya 5,59 dari rerata 6,48 dan merupakan yang terendah di antara lima aspek yang diukur.
Pada 2022, skor tercatat di level 6,18 dari rerata 6,71. Di tahun ini, ada sedikit peningkatan meskipun belum cukup membuat aspek kebebasan sipil unggul dibandingkan negara-negara lain seperti Singapura, Namibia, atau Bulgaria.
Jika dibandingkan dalam 15 tahun terakhir, skor kebebasan sipil yang berada di angka 6,18 memang bukan paling rendah, tetapi harus diakui mengalami penurunan. Data indeks di tahun 2014-2015 mencatat aspek ini pernah berada di angka 7,35.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F04%2F17%2Fcca2438b-a044-4740-9d4d-d118464698b9_jpg.jpg)
Warga berswafoto dengan latar gapura hias di sekitar TPS 44, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, pada pilpres, Rabu (17/4/2019). Hiasan nuansa perdesaan in dibuat untuk menyemarakkan Pilpres 2019 dan mendorong warga untuk aktif memilih.
Menurut catatan EIU, selain kebebasan sipil, aspek budaya politik juga relatif masih rendah. Data indeks tahun 2021 merekam, variabel budaya politik mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, angkanya tercatat paling rendah dalam 15 tahun terakhir ini. Jika data indeks tahun 2006 mencatatkan budaya politik berada di angka indeks 6,25, pada tahun 2021 angkanya menurun menjadi 4,38.
Tidak heran jika secara umum dalam laporannya, EIU menegaskan Indonesia adalah negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Negara dengan kategori ini umumnya memang sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar.
Namun, negara dalam kelompok ”cacat” ini masih memiliki masalah fundamental, seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal. Meskipun masih masuk kategori ”cacat”, indeks demokrasi Indonesia sudah naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64 dunia.
Baca juga: Skor Indeks Demokrasi Indonesia Membaik, tetapi Tantangan Masih Besar
Kebebasan ekspresi
Data pada aspek kebebasan sipil yang masih rendah ini di satu sisi memang tidak sejalan dengan tingkat keterbukaan informasi publik yang dirasakan saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi bisa jadi belum merata dan dirasakan sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Jika kembali merujuk IDI dengan metode baru untuk mengukur kualitas demokrasi di Indonesia pada 2021, ditemukan setidaknya empat provinsi yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Provinsi ini tidak hanya memiliki kualitas demokrasi rendah secara umum, tetapi juga aspek kebebasan secara khusus.
Keempat provinsi itu adalah Maluku, Jambi, Sulawesi Barat, dan Papua. Pada 2021, skor rerata IDI Provinsi tercatat di level 76,08. Sementara posisi keempatnya berada di bawah rerata nasional. Terendah adalah Papua dengan 66,39.
Adapun dilihat dari aspek kebebasan, skor rerata nasional adalah 81,08. Keempat provinsi pun berada cukup jauh dari rerata tersebut. Terendah adalah Maluku dengan capaian kebebasan hanya 59,36.

Titik kritis terkait demokrasi juga perlu dilihat dari kestabilan negara dalam menjamin hak-hak sipil warga masyarakat. Pendapat masyarakat terkait jaminan kebebasan berpendapat menunjukkan bahwa standar jaminan pada hak sipil ini masih belum stabil.
Hasil survei nasional Litbang Kompas merekam rapor kepuasan publik pada kinerja pemerintah dalam menjamin warga bebas berpendapat merupakan yang paling cair dibandingkan aspek lainnya di bidang politik dan keamanan.
Pada Januari 2023, kepuasan publik pada kinerja pemerintah dalam menjamin kebebasan tersebut adalah 71,1 persen. Naik hampir sepuluh poin dari periode Oktober 2022. Namun, dalam beberapa momentum, kepuasan publik ini juga mengalami penurunan seiring terkanan yang terjadi pada kebebasan sipil. Salah satu momentum penurunan tersebut terjadi pada periode Juni 2022.
Saat itu tingkat kepuasan publik tercatat sebesar 64,7 persen. turun dari periode Januari 2022 yang mencapai 73 persen. Kondisi itu tidak terlepas dari polemik penysuunan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dipandang mengancam kebebasan berekspresi bagi masyarakat Indonesia.
Menurut Aliansi Nasional Reformasi KUHP, draf RUU tersebut memuat 24 ketentuan bermasalah, seperti tindak pidana penghinaan hingga ancaman kriminalisasi.
Baca juga: Indeks Demokrasi Indonesia Stagnan, Komitmen Elite Diuji
Rapuh
Paparan data di atas menunjukkan bahwa kualitas demokrasi setelah 25 tahun reformasi masih dibayangi oleh rapuhnya jaminan pada hak-hak sipil. Pemerintah juga dinilai belum maksimal dalam menjamin hak-hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi.
Naik-turunnya kepercayaan publik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kriminalisasi warga yang mengungkapkan aspirasi mereka melalui media elektronik dengan dituduh melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat sepanjang 2020 setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dari jumlah tadi, mayoritas kasus (76 persen) dijerat dengan berbagai ”pasal karet” UU ITE, diantaranya Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran kebencian.
Adapun pada periode Januari hingga Maret 2023, tercatat 30 kasus kriminalisasi ekspresi dengan jumlah terlapor sebanyak 49 orang. Terbanyak, yakni 14 kasus, merupakan dugaan pelanggaran terkait pencemaran nama baik dengan menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.

Kebebasan sipil merupakan variabel penting dalam demokrasi rakyat. Ke depan, kebebasan sipil memang masih menjadi pekerjaan rumah untuk terus ditingkatkan. Bagaimanapun, masyarakat sipil yang kuat menjadi salah satu pilar demokrasi.
Mengutip hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Februari 2020, sebanyak 86,3 persen responden menganggap Indonesia masih memerlukan gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawasi pemerintah. Selain itu, mayoritas responden (74,8 persen) juga masih yakin gerakan masyarakat sipil akan tetap eksis.
Optimisme publik ini menjadi harapan penguatan gerakan masyarakat sipil lebih baik. Menyambut seperempat abad reformasi, perhatian perlu ditujukan untuk membenahi jaminan kebebasan untuk berpendapat. Selain sebagai mandat konstitusi, hak sipil ini juga menjadi bagian penting untuk membangun demokrasi yang kokoh. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perbaikan Skor Indeks Demokrasi Belum Menyentuh Aspek Fundamental