Diwarnai Beda Pendapat, Dewas KPK Putuskan Johanis Tanak Tak Bersalah
Berdasarkan penelusuran pada sembilan isi pesan antara Johanis Tanak dan Idris Sihite, Dewan Pengawas KPK tidak menemukan adanya komunikasi yang terjadi. Pertimbangan Dewas merujuk pada KBBI.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana para jurnalis yang menyaksikan layar tayangan sidang etik Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak oleh Dewan Pengawas KPK di Gedung Anti-Corruption Learning Center KPK, Jakarta, Kamis (21/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi lagi-lagi memutuskan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak tidak melanggar kode etik. Ia kembali tak terbukti berkomunikasi dengan pihak yang beperkara. Meski demikian, salah satu anggota Dewan Pengawas KPK berbeda pendapat. Tanak dinilai anggota ini telah melanggar kode etik.
Putusan dibacakan majelis sidang etik yang terdiri dari tiga anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK, yakni ketua majelis Harjono dengan didampingi anggota majelis Albertina Ho dan Syamsuddin Haris dalam sidang yang digelar di Gedung Anti-Corruption Learning Center KPK, Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Harjono mengatakan, Tanak dinilai tidak terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf j dan Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 03 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku.
”Mengadili, menyatakan terperiksa saudara Johanis Tanak tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Memulihkan hak terperiksa dalam kemampuan dan harkat serta martabatnya pada keadaan semula,” ujar Hartono.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Dalam pertimbangan majelis etik, Dewas KPK tidak menemukan bukti komunikasi antara Tanak dan Idris Sihite, yang juga menjabat Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang terjadi pada 27 Maret 2023. Idris Sihite pernah diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi penyaluran tunjangan kinerja (tukin) pegawai di lingkungan Kementerian ESDM.
Dugaan komunikasi itu didapatkan dari hasil ekstraksi ponsel Sihite yang diperiksa di Laboratorium Barang Bukti Elektronik KPK.
Kemudian terdapat sembilan isi pesan singkat antara Tanak dan Sihite. Namun, dua isi pesan singkat dari Tanak kepada Sihite dihapus dan tidak terungkap isi pesan tersebut selama di persidangan.
Isi percakapan yang dimaksud ialah pada pukul 09.10 (deleted); pukul 09.10.35 (deleted); pukul 09.11.06: Sihite ke Terperiksa (Tanak) ”siaaap”; pukul 01.56.34: Sihite ke Terperiksa ”koq di delete pak (emoji)”; pukul 01.58.14: Terperiksa ke Sihite ”sdh dijawab siap”; pukul 01.58.38: Sihite ke Terperiksa ”emoji”; pukul 01:58:49: Sihite ke Terperiksa ”ijin tlpn pak”; pukul 02.07.14: Terperiksa ke Sihite ”sy masih rapat, cuma bisa Wa”; pukul 02.07.14: Sihite ke Terperiksa ”siap lanjut Pak”.
SHARON PATRICIA
Syamsuddin Haris
Syamsuddin Haris mengatakan, berdasarkan penelusuran pada sembilan isi pesan tersebut, Dewas tidak menemukan adanya komunikasi yang terjadi.
Pertimbangan Dewas merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Berdasarkan KBBI, arti komunikasi adalah ’pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami’.
Kata ”dipahami” inilah yang tidak terjadi dalam isi pesan percakapan antara Tanak dan Sihite pada 27 Maret 2023 tersebut.
Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah) didampingi anggota Dewas KPK (dari kiri ke kanan), Albertina Ho, Syamsuddin Haris, Indriyanto Seno Adji, dan Harjono, di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Senin (19/6/2023).
”Bahwa tidak semua kontak melalui handphone yang dikirim akan berujung sebagai adanya komunikasi antara pengirim dan penerima sebagaimana KBBI mengatakan yaitu adanya unsur ’dipahami’ pesan atau berita yang dikirim. Meskipun ada tanda centang dua berwarna biru yang berarti sudah dibaca, tetapi tidak ada balasan atau tanggapan dari penerima, maka belum bisa disimpulkan telah terjadinya komunikasi antara pengirim dan penerima. Walaupun telah terjadi kontak antara keduanya,” kata Syamsuddin.
Oleh karena itu, Dewas KPK berkesimpulan bahwa hanya terjadi kontak saja dan belum terjadi komunikasi. Sebab, dua isi pesan tersebut tidak diketahui lantaran Johanis Tanak menghapus isi pesan yang dikirim kepada Sihite, sedangkan pengakuan Sihite, dirinya juga tidak mengetahui isi pesan yang dikirimkan oleh Tanak tersebut.
”Dalam kasus a quo, pesan terperiksa tidak jelas karena dua pesan yang dikirim terperiksa telah dihapus sendiri oleh yang bersangkutan. Sementara itu, isi pesan juga tidak terungkap dalam persidangan, yang juga tidak diketahui oleh saudara Sihite,” ujar Syamsuddin.
Atas dasar tersebut, Dewas menyatakan Tanak tidak terbukti berkomunikasi dengan Sihite. Tanak juga tidak pernah mengadakan pertemuan dengan Sihite sehingga dugaan pelanggaran etik tidak terpenuhi unsurnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Albertina Ho
Berbeda pendapat
Meski demikian, Albertina Ho menyatakan dissenting opinion (berbeda pendapat) terkait putusan etik Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Menurut Albertina, Tanak terbukti bersalah tidak memberitahukan unsur pimpinan lainnya bahwa telah berkomunikasi dengan orang yang dinilai bisa menimbulkan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, Tanak dinilai melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat (1) huruf j Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.
Albertina mengungkapkan, argumen Tanak bahwa pesan itu hanya terusan dari mitra kerjanya tanpa diketahui isi pesannya tidak bisa diterima. Sebab, keterangan Tanak itu tidak didukung alat bukti lain. Apalagi, keputusan Tanak yang menghapus isi pesan dengan Sihite karena khawatir akan menjadi persoalan menunjukkan terperiksa menyadari adanya benturan kepentingan.
Seusai sidang, Tanak menghindari wartawan yang ingin meminta tanggapannya terkait dengan putusan tersebut. Tanak keluar dari pintu belakang.
Sebelumnya, saat menangani laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewas KPK juga tidak menemukan bukti komunikasi Johanis Tanak dengan Idris Sihite pada 12 dan 19 Oktober 2022 serta Februari 2023.
Para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyerahkan berkas pelaporan dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kepada Dewan Pengawas KPK di Gedung C1 KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (18/4/2023).
Peneliti ICW, Diky Anandya, berpandangan, putusan Dewas KPK terhadap Johanis Tanak sudah diprediksi karena selama ini pemeriksaan etik kerap kali membebaskan unsur pimpinan KPK dari jeratan sanksi etik. Padahal, dalam pertimbangan majelis etik Johanis Tanak terdapat percakapan dengan Idris Sihite sebagai pihak yang sedang berperkara di KPK pada 27 Maret 2023.
Komunikasi itu bertepatan saat Johanis mengikuti rapat ekspose perkara dengan seluruh unsur pimpinan KPK beserta para struktur dan jajarannya.
”Pertimbangan majelis etik dalam sidang etik Johanis Tanak ini penting dipersoalkan, bagaimana mungkin mereka menyatakan bahwa tidak ada benturan kepentingan,” ujar Diky.
Atas putusan ini, lanjut Diky, menjadi wajar jika citra KPK akan dinilai semakin buruk di mata publik. Putusan etik tersebut menambah serangkaian kontroversi dan dugaan pelanggaran etik. KPK secara kelembagaan sudah tidak patut untuk dijadikan sebagai teladan dalam menunjukkan perilaku integritas dan antikorupsi.