Minim Keterbukaan, KPU Dinilai Tak Pahami UU Keterbukaan Informasi
Kesempatan yang diberikan KPU kepada masyarakat untuk memberikan tanggapan soal bakal caleg terkesan hanya memenuhi kewajiban KPU. Sebab, informasi soal bakal caleg dari KPU sangat minim.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum dinilai kurang memahami Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebagai badan publik, KPU seharusnya membuka lebih banyak data mengenai bakal calon anggota legislatif, termasuk status bakal caleg bekas narapidana kasus korupsi, mengingat informasi tersebut bukan suatu data yang dikecualikan di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP.
”KPU wajib memberikan informasi kepada publik karena itu adalah hak publik dalam kategori right to know agar hadir partisipasi masyarakat apalagi ini menyangkut para calon wakil rakyat. Sepengetahuan saya bahwa ini bukanlah informasi yang dikecualikan (seperti diatur dalam UU KIP),” kata Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati, Minggu (27/8/2023).
Tanggapan itu disampaikan Neni terkait dengan keengganan KPU saat didesak oleh masyarakat sipil, dalam hal ini Indonesia Corruption Watch (ICW), untuk mengumumkan status nama-nama bakal caleg yang merupakan napi korupsi yang ada di daftar calon sementara (DCS). Seperti diketahui, KPU membuka ruang bagi publik selama sepuluh hari mulai dari 19 Agustus hingga 28 Agustus untuk memberikan masukan dan saran tentang bakal caleg tersebut.
Neni menilai, pemberian tanggapan dari masyarakat terkait bakal caleg yang dimuat di dalam DCS terkesan hanya sekadar memenuhi kewajiban KPU semata. Sebab, informasi mengenai bakal caleg yang diberikan KPU sangat minim, yaitu hanya memuat informasi tentang nama, nomor urut, dan logo partai. Sementara riwayat hidup bakal caleg, seperti riwayat pekerjaan, pendidikan terakhir, domisili dan informasi lain, sulit ditemukan.
”Hanya memuat daftar nama saja. Nyaris tidak ada informasi lain sehingga pemilih kesulitan mengenali calon wakil rakyatnya,” ujar Neni.
Menurut dia, peran partisipasi masyarakat seolah memang tidak bisa berjalan karena kanal informasi tersebut ditutup. Ia melanjutkan, ”Hal ini juga kemudian menyimpan tanda tanya besar. Masyarakat perlu tahu, apalagi yang berkaitan dengan status bekas terpidana dan eks napi koruptor.”
Menurut dia, di era keterbukaan informasi seperti saat ini, hak rakyat untuk mendapatkan informasi terkait calegnya seharusnya diberikan. Apalagi, pemilih tidak memiliki cukup waktu untuk mengenal para caleg yang jumlahnya begitu banyak dengan masa kampanye yang singkat sekitar 75 hari. Kondisi ini diperparah dengan informasi yang minim dari KPU.
15 bekas napi korupsi
Sebelumnya, KPU didesak untuk mengumumkan nama-nama bakal caleg yang pernah dijatuhi pidana penjara karena kasus korupsi. KPU diminta tidak menutupi data tersebut karena dapat menyulitkan masyarakat pemilih untuk mendapatkan wakil mereka yang bebas korupsi.
ICW setidaknya menemukan 15 bakal caleg baik untuk tingkat DPRD kabupaten/kota/provinsi, DPR, dan DPD yang berstatus bekas koruptor. Mereka berasal dari Partai Nasdem lima orang (Abdullah Puteh, Rahudman Harahap, Abdillah, Budi Antoni Aljufri, dan Eep Hidayat), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dua orang (Al Amin Nasution dan Rokhmin Dahuri), Partai Golkar satu orang (Nurdin Halid), dan Partai Kebangkitan Bangsa satu orang (Susno Duadji).
Sementara itu, bekas napi korupsi yang menjadi bakal calon anggota DPD antara lain Irman Gusman (Sumatera Barat), Patrice Rio Capella (Bengkulu), Dody Rondonuwu dan Emir Moeis (Kalimantan Timur), Cinde Laras Yulianto (Yogyakarta), dan Ismeth Abdullah (Kepulauan Riau).
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengungkapkan, bukan tidak mungkin ada banyak nama bekas terpidana korupsi yang sedang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, baik untuk tingkat kota, kabupaten, maupun provinsi.
Pemberantasan korupsi masih angan-angan
Keberadaan adanya bakal caleg bekas napi korupsi tersebut, menurut Kurnia, seakan membuat harapan akan adanya kebijakan progresif di bidang pemberantasan korupsi di masa mendatang masih menjadi angan-angan semu. Partai politik sebagai pengusung bakal caleg masih memberikan ruang, bahkan karpet merah, bagi para bekas terpidana korupsi untuk melenggang ke Senayan.
Pihaknya juga mengkritik KPU yang enggan mengumumkan status bakal-bakal caleg tersebut kepada publik. Tanpa pengumuman secara terbuka ini, masyarakat sulit berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal.
Apalagi, informasi mengenai riwayat hidup para bakal peserta pemilu itu pun tak ada di laman KPU. Apabila nantinya para bekas terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam daftar calon tetap (DCT), probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas kian kecil. Padahal, mengacu pada jajak pendapat Litbang Kompas, sebanyak 90,9 persen publik tidak setuju dengan adanya bekas napi korupsi sebagai caleg dalam pemilu.
Kebijakan KPU kali ini berbeda dengan kondisi pada Pemilu 2019 di mana KPU justru secara progresif mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai bekas terpidana korupsi. ”Artinya, langkah KPU RI saat ini jelas sebuah langkah mundur, tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel sebagaimana disinggung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” kata Kurnia.
Sementara itu, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari membenarkan bahwa data itu terdapat di dalam DCS DPR dan DCS DPD Pemilu 2024. Data status sebagai bekas terpidana tersebut termonitor di dalam Sistem Informasi Pencalonan (Silon) anggota DPR/DPRD dan DPD yang memuat menu isian bagi bakal calon yang berstatus terpidana misalnya mengisi dokumen berupa syarat pernyataan bakal calon, surat keterangan pengadilan negeri, putusan pengadilan, dan dokumen pendukung lainnya.
Syarat-syarat tersebut, menurut Hasyim, hanya diberlakukan bagi bakal calon yang pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap atas pelanggaran pasal yang ancaman pidananya 5 tahun atau lebih.
Berdasarkan data KPU, terdapat 52 bakal calon anggota DPR yang merupakan bekas terpidana. Sementara itu, untuk bakal calon anggota DPD, terdapat setidaknya 16 orang yang berstatus bekas terpidana.