Komnas HAM mengungkapkan, para eksil butuh rehabilitasi terhadap nama baik mereka, kemudahan memperoleh kembali status warga negara Indonesia, dan pemulihan aset mereka di Indonesia.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD akan bertemu dan berdialog dengan mantan Mahasiswa Ikatan Dinas di Belanda dan Ceko yang kehilangan kewarganegaraan akibat terdampak Peristiwa 1965. Jelang pertemuan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengungkap bahwa para eksil yang pernah ditemui mengharapkan adanya kemudahan menjadi warga negara Indonesia, termasuk pemulihan atas aset mereka di Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD dan tim saat ini sedang melaksanakan dinas luar negeri ke sejumlah negara seperti Turki, Belanda, Ceko, dan Korea Selatan. Mahfud berada di Turki, sejak Rabu (23/8/2023) lalu. Ia menandatangani kerja sama keamanan atau Agreement on Joint Cooperation on Security Issues dengan Menteri Dalam Negeri Turki Ali Yerlikaya di Ankara pada Rabu lalu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, Mahfud saat ini sedang bergerak dari Ankara ke Istanbul. Selanjutnya, pada Minggu (27/8/2023), ia akan tiba di Amsterdam, Belanda, untuk bertemu dengan mantan Mahasiswa Ikatan Dinas (Mahid) atau eksil di sana. Mereka juga akan ke Ceko untuk bertemu dengan mantan Mahid yang dulu berkuliah di Eropa Timur dan kini menjadi warga negara setempat.
Dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/8/2023), Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, pada bulan Maret lalu, Komnas HAM sempat bertemu dengan beberapa mantan Mahid dan eksil serta keturunannya di Ceko dan Belanda. Data yang diperoleh adalah sebagian besar eksil itu sudah meninggal. Mereka yang masih ada kini usianya sekitar atau lebih dari 70 tahun. Para eksil itu umumnya sudah berkeluarga di luar negeri, memiliki anak dan cucu, serta berganti kewarganegaraan.
Rehabilitasi nama baik
Namun, sebagian anak mereka yang lahir sebelum Peristiwa 1965, merasakan dampak dari hilangnya kewarganegaraan itu. Para eksil pun sempat kehilangan kontak atau komunikasi dengan keluarga maupun kenalan di Indonesia. Setelah Reformasi 1998, baru para eksil ini dapat mulai berkomunikasi dan berkunjung ke Indonesia. Mereka juga umumnya mengeluhkan kehilangan aset maupun properti yang dimilikinya di Indonesia.
"Dalam pertemuan-pertemuan dengan para Mahid, eksil, dan anak keturunannya, mereka menyampaikan beberapa harapan mereka akan pemulihan dari negara," ujar Atnike.
Pemulihan yang dimaksud di antaranya adalah surat keterangan korban bagi mereka yang sudah meninggal dunia serta rehabilitasi nama baik untuk yang sudah meninggal dunia maupun yang masih hidup. Eks mahid juga meminta kemudahan pergantian kewarganegaraan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) baik bagi korban maupun anak dan keluarga yang ingin menjadi WNI.
Lebih jauh, mereka juga berharap ada pelurusan dan pengungkapan sejarah tentang korban 1965, pemulihan atas aset dan properti yang dimiliki di Indonesia, serta kemudahan izin masuk ke Indonesia.
Surat keterangan korban
Pemulihan itu diharapkan dapat memulihkan nama baik para korban yang umumnya pada saat Peristiwa 1965 sedang berada di luar negeri dan berprofesi sebagai mahasiswa, birokrat atau diplomat, atau delegasi yang sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Setelah peristiwa 1965, mereka bertahun-tahun hidup tanpa kewarganegaraan. Sebagian berpindah dari satu negara ke negara lain. Ada pula yang menetap di negara di mana mereka saat itu belajar atau bertugas.
"Sekitar tahun 1990-an, barulah sebagian besar eksil mendapatkan kewarganegaraan agar dapat bekerja dan memperoleh perlindungan sosial," katanya.
Atnike menjelaskan, Komnas HAM pun memahami bahwa harapan-harapan itu tidak mudah untuk dipenuhi oleh negara dalam waktu singkat. Namun, ada beberapa bentuk pemulihan yang dapat segera dilakukan di antaranya pemberian surat keterangan korban pelanggaran HAM berat bagi para eksil serta keluarganya sebagai bentuk pemulihan nama baik dan pengakuan terhadap keberadaan mereka sebagai korban. Selain itu, juga kemudahan izin masuk ke Indonesia seperti pemberian Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP).
"Bentuk-bentuk pemulihan lain yang diharapkan oleh para korban juga membutuhkan landasan hukum dan keputusan politik yang lebih kompleks," ucapnya.
Penuhi hak konstitusi
Sebelumnya, dalam keterangan kepada wartawan, Mahfud MD mengatakan, kunjungannya ke Belanda dan Ceko bukan untuk menjemput eksil. Namun, dialog itu untuk menemui dan memberi tahu tentang hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Sebagai korban dugaan pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965, mereka memiliki hak konstitusional yang harus dipenuhi oleh negara. Hal itu terutama pasca pemerintah resmi melakukan kick off atau dimulainya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non yudisial.
"Pemerintah telah menyatakan janji atau pengakuan untuk memperbaiki hak-hak korban. Ini diapresiasi oleh Dewan HAM PBB yang menyebut sebagai kemajuan yang sudah lama tertunda di Indonesia. Baru sekarang dibuka," kata Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebut hak konstitusional eksil 1965 yang wajib dipulihkan oleh negara di antaranya adalah kewarganegaraan, hak untuk bertempat tinggal, dan hak untuk hidup. Peristiwa kelam yang telah terjadi di masa lalu disesalkan secara resmi oleh negara.
Dua korban di antaranya, yaitu Sudaryanto dan Suryo Martono, ikut diundang hadir dalam acara kick off penyelesaian non yudisial korban-korban pelanggaran HAM berat yang digelar di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, pada akhir Juni lalu. Mereka terbang jauh dari Ceko dan Rusia untuk mengikuti seremoni dimulainya pemulihan hak-hak korban tersebut. Pada kesempatan itu, Mahfud menegaskan bahwa para mantan Mahid memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.
"Sembari menunggu pengadilan HAM yang tidak selesai-selesai, sedangkan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak disepakati secara bulat karena terus menjadi kontroversi, makanya pemerintah membentuk Tim Penyelesaian Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di masa lalu. Kami memulai langkah dengan penyelesaian non yudisial dengan tidak menutup penyelesaian yudisial," katanya.
Mahfud juga menegaskan bahwa penyelesaian non yudisial itu tidak menutup peluang penyelesaian secara hukum. Penyelesaian secara hukum tetap dibutuhkan di masa-masa yang akan datang.
Tak abaikan korban
Sudaryanto di acara kick off penyelesaian non yudisial korban-korban pelanggaran HAM berat di Aceh akhir Juni lalu, mengungkapkan, bahwa ia memutuskan untuk hadir langsung walaupun harus menempuh perjalanan 14 jam dari Moskow, Rusia, untuk menyaksikan langsung sebuah peristiwa luar biasa dalam konstelasi politik maupun kemanusiaan. Bagi dia dan korban Peristiwa 1965 lainnya, acara tersebut adalah sebuah sinar baik bagi hubungan dengan masyarakat Indonesia. Acara itu adalah sebuah kesempatan untuk membuka pintu yang luas untuk benar-benar membangun Bhinneka Tunggal Ika yang akan mendorong kepada realisasi pelaksanaan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Saya melihat diri saya sebagai korban dan saya ingin teman-teman saya yang juga sebagai korban itu nantinya bisa melihat bahwa pemerintah tidak mengabaikan. Pemerintah bekerja untuk mencari keadilan, bekerja untuk meluruskan jalan menurut hukum yang ada, menurut konstitusi yang ada untuk terus membereskan soal itu," katanya.
Upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat itu, imbuh Sudaryanto, adalah merintis jalan hari depan bangsa. Dia pun mengapresiasi keberanian Presiden Joko Widodo yang dianggap telah mengalkulasikan akibat dari tindakan yang dia lakukan. Penyelesaian non yudisial, baginya, adalah secara politik mematahkan spekulasi tentang keengganan pemerintah menyelesaikan pelanggaran HAM berat.
"Ini justru upaya membuka mata tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ini baru pembukaan jendela yang akan berpengaruh besar dalam pergerakan masyarakat Indonesia. Tidak hanya yang tinggal di luar negeri tetapi juga di dalam negeri," terangnya.
Sementara itu, Suryo Martono mengatakan, penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat mungkin tak bisa memuaskan semua pihak. Namun, hal itu harus dimulai walau masih jauh dari kesempurnaan. Ia berharap mereka yang pernah mendapatkan stigmatisasi akibat Peristiwa 1965 bisa kembali hidup dengan nama yang bersih karena hak-haknya dipulihkan. Ia juga berharap peristiwa tragis itu tidak lagi terjadi di mana pun, oleh siapa pun, dan terhadap siapa pun di Indonesia.