Batuk Presiden, Polusi, dan Tantangan Menata Transportasi
Semata menuding kendaraan bermotor sebagai penyebab polusi menunjukkan kebijakan yang setengah-setengah. Sistem transportasi berbasis angkutan umum massal mesti ditata secara komprehensif demi memperbaiki kualitas udara.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
”Kalau Presiden enggak batuk sampai empat minggu, mungkin enggak ada ratas polusi,” seloroh seorang wartawan yang mungkin terkesan nyinyir. Tapi memang rapat terbatas (ratas) terkait polusi baru dilangsungkan di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (14/8/2023) meski sudah sebulan lebih langit Jakarta berkabut polutan.
Keluhan batuk berkepanjangan pada anak-anak dan warga di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi (Jabodetabek) bukan hanya sekali dua kali terdengar. Ternyata, seperti disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno seusai rapat terbatas terkait polusi pada pertengahan Agustus, Presiden Joko Widodo pun mengalaminya. Lamanya masa penyembuhan membuat dokter kepresidenan menduga ini akibat udara yang tidak sehat.
Sandi pun menyebut kualitas udara yang tidak sehat ini pasti akan berdampak pada upaya pemerintah menjadikan DKI Jakarta dan sekitarnya sebagai lokasi wisata olahraga. Polusi menjadi catatan untuk penyelenggara ataupun calon peserta lomba lari maraton internasional di sekitar Jabodetabek.
Tak ayal, Presiden Jokowi langsung menitahkan beberapa langkah jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menyehatkan udara. Dalam jangka pendek, diharapkan ada intervensi perbaikan kualitas udara di Jabodetabek seperti rekayasa cuaca untuk memancing hujan, penerapan regulasi untuk mempercepat penerapan batas emisi khususnya di Jabodetabek, dan perbanyakan ruang terbuka hijau. Kantor-kantor juga didorong menerapkan hybrid working atau sistem campuran antara kerja dari kantor dan rumah.
Dalam jangka menengah, Presiden meminta para menteri dan kepala lembaga mempercepat pengurangan penggunaan kendaraan berbasis fosil. Warga pun didorong lebih banyak menggunakan transportasi massal yang dinilai memungkinkan karena selain MRT (mass rapid transit), kereta komuter, dan BRT (bus rapid transit), pada bulan depan pun LRT (light rail transit) akan beroperasi. Demikian pula kereta cepat akan segera beroperasi. Elektrifikasi kendaraan umum dengan bantuan pemerintah pun dipercepat.
Adapun dalam jangka panjang, Kepala Negara meminta supaya ada penguatan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sehubungan hal itu, pengawasan sektor industri dan pembangkit listrik terutama di sekitar Jabodetabek menjadi penting. ”Terakhir, mengedukasi publik yang seluas-luasnya,” kata Presiden Jokowi dalam pengantar rapat terbatas.
Hal ini diterjemahkan para menteri dengan mengatur pegawai negeri sipil menerapkan sistem kerja campuran, yakni sebagian bekerja dari rumah dan sebagian lainnya di kantor. Penjabat Gubernur DKI Heru Budi Hartono mengatakan, Pemda DKI Jakarta akan menerapkan sistem kerja campuran sepanjang layanan kepada masyarakat tidak terganggu. Kementerian, lembaga, ataupun instansi swasta juga diharapkan menerapkan hal yang sama.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Anas pun sudah menerbitkan surat edaran (SE) supaya menerapkan sistem kerja campuran dengan maksimal 50 persen bekerja dari rumah mulai 28 Agustus hingga 7 September 2023. Namun, dalam SE bertanggal 16 Agustus 2023 tersebut, disebutkan penyesuaian sistem kerja aparatur sipil negara yang berkantor di wilayah DKI Jakarta hanya selama masa persiapan dan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN tahun 2023.
Ada upaya mendorong ruang terbuka hijau dan penambahan titik-titik uji emisi kendaraan di DKI Jakarta. Lulus uji emisi akan dijadikan syarat perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan pembayaran pajak kendaraan untuk memastikan masyarakat mau mengikuti uji emisi.
Selain itu, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dipersiapkan juga aturan mengenai pengenaan pajak pencemaran lingkungan. Namun, formula pajak pencemaran lingkungan ini masih digodok.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menuturkan, kendaraan tidak lolos uji emisi tidak memiliki hak melakukan perjalanan di Jabodetabek. Kebijakan ini diambil karena pemerintah menuding kendaraan yang sangat banyak di Jabodetabek sebagai penyebab utama polusi.
Terkait populasi kendaraan di Jabodetabek, mengutip Siti Nurbaya seusai rapat terbatas, pada 2022 terdapat 24,5 juta kendaraan bermotor dengan lebih dari 19,2 jutanya adalah sepeda motor. Dia membantah kemungkinan polusi akibat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya. Sebab, menurut dia, arah angin bukan mengarah ke Jakarta sehingga asap buangan PLTU semestinya ke arah lain.
Tudingan pada kendaraan bermotor sebagai sumber polusi terasa ironis di tengah dorongan penjualan otomotif. Saat membuka pameran otomotif Indonesia International Motor Show (IIMS), Kamis (16/2/2023), Presiden Jokowi menyebutkan, penjualan mobil sepanjang 2022 lebih dari 1 juta unit. Adapun sepeda motor terjual lebih dari 5,2 juta unit pada 2022. Secara agregat, pertumbuhan industri otomotif mencapai 18 persen.
Pemerintah mengakui, imbas penambahan produksi dan penjualan kendaraan bermotor adalah kemacetan sehingga kemudian mendorong produsen lebih berorientasi ekspor. Di sisi lain, penjualan otomotif di dalam negeri pun tak lepas dari dukungan pemerintah.
Pada awal tahun 2021, dengan alasan pandemi Covid-19 dan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberikan diskon pajak yang awalnya untuk kendaraan segmen 1.500 cc ke bawah. Namun, cakupan pemberian diskon diperluas menjadi segmen kendaraan 1.500 cc sampai 2.500 cc. Waktunya pun diperpanjang sampai akhir 2021 demi mendongkrak penjualan kendaraan bermotor.
Ada yang menyayangkan ketika dorongan penjualan ini tidak disertai kebijakan optimal untuk mengatasi beragam dampak yang ditimbulkan. Kendaraan kian menumpuk di jalan yang tak bertambah luas. Sementara itu, pengurangan peredaran kendaraan yang sudah tak layak jalan tak diatur.
Kini, pemerintah mendorong penjualan kendaraan listrik dengan dalih mengganti kendaraan berbahan bakar fosil. Bahkan, insentif untuk kendaraan listrik yang disiapkan mencapai Rp 12,3 triliun sepanjang 2023 dan 2024.
Menurut pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, semestinya insentif belasan triliun rupiah digunakan untuk menata angkutan umum perkotaan di 50 kota di Indonesia, bukan sekadar menyenangkan industri otomotif. Angkutan umum perkotaan yang tertata dinilainya akan menarik masyarakat untuk menggunakannya. Dengan sendirinya, polusi akan teratasi ketika masyarakat kian berminat menggunakan angkutan umum massal.
Masalahnya, kendati pemerintah mendorong masyarakat menggunakan kendaraan angkutan umum massal seperti BRT, kereta komuter, MRT, dan LRT, integrasi angkutan umum tersebut masih kurang. Masyarakat juga masih kesulitan mengakses kendaraan-kendaraan pengumpan ke stasiun-stasiun terdekat.
Insentif untuk sepeda motor listrik juga dinilai Djoko hanya menguntungkan produsen. Sebab, kenyataannya, kendaraan pribadi semakin berjejalan di jalan. Konsumsi bahan bakar minyak dan emisi pun terus bertambah.
Insentif sepeda motor listrik, menurut Djoko, lebih cocok diberikan di daerah terluar, tertinggal, terdepan, dan pedalaman. Sebab, di wilayah tersebut, sepeda motor masih sedikit, pasokan BBM sulit dan mahal, sementara energi listrik masih lebih murah dan lebih mudah didapat. Insentif kendaraan listrik juga seyogianya diterapkan untuk kendaraan umum. Dengan demikian, sarana transportasi lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi kemacetan.
Selain itu, menurut Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia Khalisa Khalid, semestinya pejabat pemerintah memberikan contoh dan menggunakan transportasi umum menuju kantor setiap hari. Kenyataannya, pejabat pemerintah menggunakan kendaraan pribadi. Bukan hanya itu, kebanyakan pejabat seperti menteri, kepala lembaga, ataupun kepala daerah dikawal kendaraan-kendaraan pengiring yang bahkan bisa lebih dari dua mobil (Kompas.id, 16/8/2023).
Terkait segenap persoalan di sektor transportasi tersebut, kebijakan pemerintah dalam mengatasi polusi semestinya lebih komprehensif. Sebab, meminjam ungkapan Djoko, kebijakan setengah-setengah hanya membikin terengah-engah.