Tengah Proses Pemilu, Presiden Sarankan Amendemen Lebih Tepat Setelah Pemilu 2024
Presiden Jokowi berpendapat sebaiknya proses amendemen dilakukan setelah pemilu. Meski demikian, Pokok-pokok Haluan Negara disebutnya penting untuk memberikan arah dan panduan bangsa dan negara serta pemerintah.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini proses pemilihan umum, baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif, sedang berlangsung. Terkait amendemen, Kepala Negara berpendapat sebaiknya proses tersebut dilakukan setelah pemilu. Adapun berkaitan dengan Pokok-pokok Haluan Negara, Presiden menyebut hal itu penting untuk memberikan arah dan panduan.
”PPHN (Pokok-pokok Haluan Negara) penting untuk memberikan arah, memberikan panduan karena di situ ada pokok-pokok haluan. Tetapi, sekali lagi tadi saya sampaikan, dan memang PPHN tadi Pak Ketua MPR menyampaikan memang berisi filosofis, tidak detail, sehingga memberikan fleksibilitas kepada eksekutif,” kata Presiden Joko Widodo saat menjawab pertanyaan awak media, Jumat (18/8/2023).
Kepala Negara menuturkan hal tersebut pada sesi tanya jawab dengan media seusai peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun Ke-78 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Acara tersebut berlangsung di Gedung Nusantara IV MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta.
Presiden Jokowi pun menyampaikan sikapnya ketika ditanya terkait amendemen konstitusi. ”Ini, kan, proses pemilu sedang berproses. Dalam waktu yang singkat kita sudah pemilu, sudah pilpres (pemilihan presiden), sudah pileg (pemilihan legislatif), sehingga, ya, menurut saya sebaiknya proses (amendemen) itu setelah pemilu,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta yang menjabat Wali Kota Surakarta dua kali berturut-turut tersebut.
Sebelumnya, saat berpidato pada peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-78 MPR, Presiden Jokowi menyampaikan, peringatan ini merupakan momentum yang strategis untuk mendiskusikan strategi bangsa dalam mencapai cita-cita di tengah kondisi dunia yang sering tidak terduga dan penuh dengan ketidakpastian.
”Sering kita mengatakan kita ingin membangun masyarakat yang adil dan makmur, kita ingin menjadi negara yang maju, kita ingin menjadi negara yang sejahtera. Semua visi ini benar. Namun, menurut saya, untuk mengeksekusinya harus jelas tolok ukurnya,” kata Presiden Jokowi.
Jargon politik dan tak menjebak
Menurut Presiden, mesti ada rumusan jelas tolok ukur adil dan makmur serta negara maju dan sejahtera tersebut. ”Apakah (tolok ukurnya) pendapatan per kapita? Atau indeks pembangunan manusia? Atau tingkat pengangguran? Atau angka kemiskinan? Atau apa? Atau justru semuanya? Karena visi jika tidak dirumuskan tolok ukurnya itu namanya jargon politik,” ujarnya.
Jargon politik tidak memiliki kejelasan bentuk, tak dapat dijabarkan strateginya, tidak dapat dirumuskan langkah-langkahnya, dan—biasanya—dapat dipastikan akan sulit terwujud. ”Artinya, yang ingin saya katakan, visi besar itu jangan sampai hanya jargon politik, jangan hanya bahasa-bahasa normatif saja, bahasa yang indah-indah saja, yang enak didengarkan. Jangan juga yang hanya di awang-awang,” kata Presiden.
Presiden Jokowi berpendapat visi besar harus membumi dan taktis. Visi besar mesti memiliki kejelasan tolok ukur capaian, strategi besar, strategi teknis, langkah, dan target waktu. ”Ini penting agar rakyat kita bisa memahami ke mana arah bangsa ini akan pergi, ke mana tujuannya, sehingga rakyat bisa berpartisipasi dan merasa memiliki,” ujarnya.
Menurut Presiden Jokowi, Indonesia memang harus mempunyai strategi besar dan strategi teknis. ”Bisa saja seperti yang sering disampaikan oleh Bapak Ketua MPR mengenai PPHN untuk mencapai visi kita. Tetapi, yang ingin saya tegaskan, kita tidak boleh kaku sebab dunia saat ini bergerak begitu sangat cepat. Tantangan dan peluang juga berubah sangat pesat, setiap hari, setiap jam bisa berubah-ubah sehingga fleksibilitas menjadi sangat penting,” katanya.
Presiden Jokowi menyebutkan agar jangan terlalu banyak aturan yang membelenggu. ”Jangan terlalu banyak jebakan yang kita buat sendiri sehingga kita tidak bisa bergerak. Beri kebebasan kepada eksekutif agar lincah dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang tentu saja harus disertai pengawasan yang efektif,” ujarnya.
Indonesia tidak dapat hanya melihat diri sendiri atau merasa sudah cukup baik. ”Ini berbahaya, kita harus bisa lirik kanan dan lirik kiri. Oh, negara lain begitu, kita harus menyesuaikan lebih baik. Oh, kompetitor kita seperti itu, berarti kita harus bagaimana, itu yang harus dirumuskan,” katanya.
Indonesia mesti mempelajari hal yang dilakukan negara lain dan harus pula adaptif jika kompetitor mengubah kebijakan. ”Kebijakan kita juga harus lebih baik dari mereka. Karena itu, sekali lagi, fleksibilitas itu sangat penting,” tambah Presiden.
Tak jadi prasangka
Saat menjawab pertanyaan awak media terkait pernyataan Presiden bahwa sebaiknya amendemen dilakukan setelah pemilu, Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, hal itu sesuai dengan apa yang dia sampaikan sebelumnya.
”Apa yang disampaikan Presiden itu sesuai dengan apa yang saya sampaikan dalam pidato kemarin bahwa apabila ada keinginan kita untuk melihat kembali konstitusi kita, atau katakanlah kita ingin perubahan, maka itu kita lakukan setelah pilpres, setelah pemilu. Untuk apa? Agar tidak terjadi prasangka,” katanya.
Amendemen dilakukan pascapemilu agar tenang dan tidak ada kecurigaan. Hal-hal yang dibahas adalah untuk menjawab tantangan ke depan. ”Misalnya, kita perlu jalan keluar apabila terjadi dispute (sengketa) konstitusi. Contoh, manakala terjadi hal-hal yang luar biasa, apakah bencana alam skala besar, peperangan, pemberontakan, pandemi. Lalu kemudian, yang tak kalah penting juga, bisa jadi suatu ketika nanti pilpres hanya ada calon tunggal, misalnya,” ujar Bambang.
Terkait usulan agar MPR menjadi lembaga tertinggi, Bambang menyebutkan, kewenangan sebagai lembaga tertinggi adalah kewenangan untuk mengatasi hal-hal luar biasa tersebut. ”Jadi, yang dimaksud bukan untuk mengikutkan kembali presiden sebagai mandataris MPR, bukan itu, tetapi lebih kepada kewenangan MPR dalam hal ketetapan-ketetapan,” ujarnya.
Saat ditanya apakah sebelumnya sudah ada komunikasi dengan Presiden terkait amendemen, Bambang mengatakan, amendemen adalah domain partai politik dan tidak ada urusannya dengan presiden atau pemerintah. ”Ini adalah domain partai politik yang ada di sini dan DPD. Artinya, ujungnya adalah MPR,” ujarnya.