Kebijakan Pokok-pokok Haluan Negara Jangan Mengulang Kesalahan GBHN
Pemberlakuan Pokok-pokok Haluan Negara layaknya GBHN era dulu dianggap mampu membuat pembangunan Indonesia menjadi terencana. Namun, diingatkan pula, perlu perumusan yang tepat agar tak menjadi arena korupsi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan kebijakan Pokok-pokok Haluan Negara dinilai bisa membantu Indonesia memiliki arah pembangunan yang terencana dengan baik, khususnya di tengah transisi dari satu pemerintah ke pemerintah lainnya. Namun, pemberlakuan kebijakan ini perlu mengatur sanksi dan pengawalan ketat agar dalam praktiknya tidak menjadi ajang korupsi program pembangunan, seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, kesinambungan dibutuhkan untuk menciptakan iklim pembangunan yang selaras dengan tuntutan zaman, khususnya menghadapi Revolusi 5.0 dan impian Indonesia Emas 2045. Hal itu ia sampaikan saat mempertahankan disertasinya berjudul ”Peranan dan Bentuk Hukum PPHN sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas” dalam sidang promosi doktor ilmu hukum di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2023),
Ia kemudian memberikan contoh bahwa tanpa adanya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai hukum yang mengikat, kebijakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang tengah dibangun di Kalimantan Timur bisa saja dianulir oleh presiden selanjutnya. Sebab, menurut dia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tidak mengatur tentang bagaimana arah pembangunan apabila terjadi transisi kekuasaan.
”Contoh IKN, bisa saja itu di-’torpedo’ oleh pemimpin selanjutnya lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu),” ujarnya.
Hadir sebagai oponen ahli saat memberikan tanggapan pada sidang itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, memberlakukan kebijakan PPHN layaknya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) harus dirumuskan dengan cermat agar tidak mengulang kesalahan pada masa lalu.
Mahfud mengingatkan, di era reformasi, GBHN menjadi salah satu sasaran kritik masyarakat karena kerap menjadi celah untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hasilnya, GBHN dicabut melalui amandemen UUD 1945 ketiga tahun 2001. ”Saat GBHN dulu itu muncul, banyak pesanan programnya yang dibagi pusat dan di situ banyak KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sekarang bagaimana agar PPHN ini bisa dilaksanakan. Jangan diberlakukan, tapi nanti masyarakat meminta untuk dicabut lagi. Saya tertarik dengan ini, tapi sekarang bagaimana mengawalnya,” ujarnya.
Bila kebijakan PPHN ingin diberlakukan, perlu upaya serius untuk mengawalnya agar tidak keluar dari jalur dan maksud tujuan utamanya. Substansi PPHN juga perlu memberikan pembaruan agar tidak mengulang hal-hal yang sudah ada di UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025.
Mahfud menambahkan, secara teoretis, ada dua teori pembangunan suatu negara, yaitu melalui upaya linier dan upaya perencanaan. Indonesia dinilai mengikuti teori perencanaan, yang berkembang pasca-Perang Dunia Kedua, khususnya lewat kebijakan bantuan Amerika Serikat, yaitu Rencana Marshall.
”Arab Saudi itu pembangunannya linier saja tanpa perencanaan, baru sejak Muhammad bin Salman ada Visi 2030. Kalau Indonesia itu mengikuti teori planning sebab itu ada GBHN kala itu,” ucapnya.
Mahfud mengingatkan, di era reformasi, GBHN menjadi salah satu sasaran kritik masyarakat karena kerap menjadi celah untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Hidupkan kekuatan Tap MPR
Sebelum sampai menyinggung pentingnya PPHN hadir, Bambang menyampaikan bahwa sejak era reformasi tahun 1998, pembangunan di Indonesia tidak berjalan efektif karena arahnya kerap berubah setiap kali berganti pemimpin. Berbeda dengan era Presiden Soekarno yang memiliki pedoman pembangunan menggunakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 1/1960, Tap MPRS Nomor 2/1960, dan Tap MPRS Nomor 4/1963.
Di era Orde Baru, Presiden Soeharto menggunakan Tap MPR tentang GBHN sebagai pedoman arah pembangunan jangka panjang, yang diterjemahkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Bambang menilai, kesinambungan dibutuhkan untuk menciptakan iklim pembangunan yang selaras dengan tuntutan zaman, khususnya menghadapi Revolusi 5.0 dan impian Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, tanpa adanya PPHN sebagai hukum yang mengikat, kebijakan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) bisa saja dianulir oleh presiden selanjutnya.
Menurut Bambang, memberlakukan kembali kebijakan PPHN dapat ditempuh dengan memberi kewenangan lebih kepada MPR. Bambang pun memberikan beberapa tawaran agar hal tersebut bisa dilakukan.
Pertama, melalui perubahan terbatas UUD 1945, khususnya Pasal 3 dan Pasal 23 Ayat 1, yaitu dengan menambah kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN, dan mengawasi pelaksanaannya oleh pemerintah. Kedua, bila tidak melalui amandemen UUD 1945, PPHN dibentuk melalui konvensi ketatanegaraan, yaitu melalui pembentukan hukum yang dilakukan berdasarkan kesepakatan lembaga-lembaga negara.
Cara lain yang bisa ditempuh adalah dengan meniadakan penjelasan Pasal 7 Ayat 1 UU No 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, agar Tap MPR kembali memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, PPHN juga bisa diberlakukan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, khususnya di Pasal 4 yang mengatur tentang tugas MPR agar diberikan kewenangan membentuk PPHN melalui Tap MPR.
Memberlakukan kembali kebijakan PPHN dapat ditempuh dengan memberi kewenangan lebih kepada MPR.
Terakhir, PPHN diresmikan sebagai undang-undang menggantikan UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
”Dari kelima cara tersebut, saya menawarkan, agar pemberlakukan PPHN dapat ditempuh melalui cara kedua, yaitu melalui konvensi ketatanegaraan dan menghapus penjelasan di Pasal 7 Ayat 1 tentang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 agar kekuatan Tap MPR bisa hidup kembali,” ucapnya.
Dalam sidangnya, Bambang memberikan contoh tentang bagaimana China bisa bertumbuh sebesar sekarang ini, melalui perencanaan pembangunan jangka panjang yang dicanangkan pemimpin Partai Komunis Cina tahun 1980an saat itu, Deng Xiaoping.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang juga hadir sebagai oponen ahli menjelaskan, ia mendukung rencana hadirnya PPHN sejak ada di Komisi III DPR tahun 2010 lalu. Ia menilai, PPHN penting karena arah pembangunan di Indonesia, khususnya di tingkat daerah, kerap berubah-ubah sesuai dengan kepentingan pemimpin yang menjabat.
Yasona menilai, tawaran Bambang Soesatyo untuk merumuskan PPHN lewat jalur konvensi ketatanegaraan atau kesepakatan memiliki beberapa kekurangan, seperti waktu pembahasan yang harus dilakukan berkali-kali dan juga tidak adanya sanksi karena sanksi harus diatur lewat jalur undang-undang. Sanksi diperlukan agar pemimpin nasional benar menaati PPHN.
”PPHN ini bisa jadi my dreams come true, tapi kalau mau lewat amandemen UUD 1945 memang berat. Kalau lewat konvensi tidak ada sanksi, ya, apa gunanya. Jangan kita sudah mengerahkan kemampuan untuk merumuskan PPHN, tapi ada pemimpin yang tidak menaatinya dan tidak diberi sanksi,” jawabnya.
Pertimbangkan dampak
Oponen ahli lain yang juga pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan argumen dalam bentuk pertanyaan. Ia mengatakan, bila MPR diberikan kewenangan untuk membuat suatu ketetapan menjadi suatu perundang-undangan, apakah Mahkamah Konstitusi dapat menguji ketetapan tersebut atau tidak.
Dalam Pasal 24C UUD 1945, MK hanya diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, bukan Tap MPR. Yusril menambahkan, kehadiran kewenangan baru ini harus memikirkan dampak dan implikasinya terhadap kehidupan masyarkat karena berpotensi melahirkan banyak ketetapan-ketetapan baru MPR lainnya selain hanya PPHN.
”Implikasi dari kewenangan baru ini adalah bagaimana nasib MK terhadap kewenangannya. Perlu dijelaskan bagaimana implikasi nantinya ke kehidupan bangsa dan negara Indonesia karena bisa jadi akan banyak Tap MPR lainnya yang lahir selain PPHN ini,” ucapnya.