Mahfud MD: Wacana Amendemen Boleh Saja, tetapi Jangan Ganggu Pemilu
Mahfud MD menyatakan siap pasang badan jika Pemilu 2024 sampai terganggu. Menurut dia, isu amendemen itu idealnya dibahas sesudah pemilu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Evaluasi menyeluruh sistem konstitusi RI pascareformasi yang sudah dipraktikkan selama 24 tahun lewat amendemen, seperti yang diusulkan MPR, itu diperlukan. Akan tetapi, evaluasi tersebut sebaiknya dilakukan setelah urusan Pemilu 2024 selesai. Sebab, apabila dilakukan sebelum pemilu, isu yang mencuat akan melebar sehingga perlu dihentikan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat diwawancarai di Jakarta, Jumat (18/8/2023), mengatakan, amendemen konstitusi sebagai wacana boleh saja. Namun, hal itu perlu dipastikan tidak akan mengganggu tahapan pemilu yang sedang berjalan. Sebab, sampai saat ini isu itu pun belum ramai direspons oleh DPR.
”Pemilu tidak akan terganggu. Kalau sampai terganggu, saya akan pasang badan,” kata Mahfud.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menilai, salah satu alasan dari MPR menggulirkan wacana penundaan pemilu adalah untuk mengisi kekosongan hukum apabila terjadi situasi geopolitik atau force majeure sehingga pemilu harus ditunda. Namun, menurut dia, isu itu lebih ideal jika dibahas sesudah pemilu.
Opsi lainnya adalah untuk mengatur hal-hal teknis seperti itu, bisa dituangkan di undang-undang. Sebab, konstitusi tidak memuat hal-hal teknis seperti penundaan pemilu.
”Kalau memang untuk memutuskan dan mengatur jika sampai pemilu ditunda, bisa diatur di Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), misalnya. Mengapa harus dibuat terlalu tegang dengan amendemen konstitusi? Toh, yang membuat undang-undang itu adalah DPR bersama pemerintah, jadi tidak masalah,” tuturnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga menyampaikan hal hampir senada saat dimintai tanggapan mengenai usulan amendemen yang disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti yang disampaikan di sidang tahunan MPR, Rabu (16/8/2023).
”Tapi, setelah jadwal tahapan pemilu sudah mantap, dan pula nanti setelah 14 Februari sudah terlihat siapa yang potensial akan jadi presiden sehingga partai-partai akan segera merapat ke kubu pemenang, tentu ada peluang untuk dijadikan momentum merundingkan substansi perubahan yang penting untuk bangsa dan negara,” ucapnya. Jimly menambahkan bahwa substansi yang dirundingkan bisa bukan hanya soal Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), melainkan juga substansi yang mendesak lainnya.
Berkaitan dengan usulan yang disampaikan dua pimpinan lembaga negara tersebut, Jimly menggangap hal itu bukan masalah. ”Biar dulu usul ini dibuka dulu untuk publik,” katanya.
Pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Hassanuddin, Makassar, Fajrulrahman Jurdi, mengungkapkan, usulan amendemen konstitusi sebenarnya sudah lama diwacanakan. Pihaknya setuju secara akademik untuk memperbaiki banyak hal yang dinilai masih kurang sempurna di dalam konstitusi. Namun, apabila hal tersebut dilakukan menjelang akhir masa jabatan dan beberapa bulan sebelum pemilu, dirinya tidak sepakat. Menurut dia, fokus publik saat ini lebih utama pada pemilu daripada amendemen konstitusi.
Amendemen akan menjadi ajang politik transaksional. Padahal, konstitusi merupakan yang paling fondasional dalam bernegara.
Rawan ajang transaksional
Selain itu, ia khawatir amendemen akan menjadi ajang politik transaksional. Padahal, konstitusi merupakan yang paling fondasional dalam bernegara. Oleh karena itu, harus diletakkan norma yang netral, tanpa kepentingan pribadi atau kelompok di dalamnya. ”Keadaan politik harus tenang dan jauh dari hiruk pikuk kepentingan jika mau mengubah konstitusi, tidak dalam keadaan turbulensi politik yang penuh ketidakpastian,” kata Fajrulrahman.
Sementara itu, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dalam siaran persnya mengungkapkan bahwa tidak sekali ini saja wacana perubahan konstitusi digaungkan oleh elite politik mendekati perhelatan Pemilu 2024. Ada isu lain yang pernah terdengar, antara lain perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden, menghidupkan kembali PPHN, mengadakan kembali unsur utusan golongan dan utusan daerah dalam MPR, serta penambahan klausul udara/angkasa dikuasai sepenuhnya oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Peneliti PSHK, Violla Reinida, mengungkapkan, setidaknya ada empat alasan mengapa amendemen UUD 1945 tidak mendesak. Pertama, usulan menghidupkan kembali haluan negara, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan mengembalikan utusan golongan/daerah sudah tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Bahkan, usulan-usulan tersebut cenderung melemahkan sistem presidensial.
Alasan kedua, menurut dia, usulan penundaan pemilu harus didukung dengan argumentasi yang patut dan masuk akal sehingga penting untuk menyusun kajian yang komprehensif. Gagasan penundaan pemilu melalui amendemen UUD 1945 diharapkan tidak untuk mengakomodasi kebutuhan pragmatis jangka pendek. Sebab, hal itu berpotensi menimbulkan bencana konstitusi (constitutional disaster) bagi proses demokrasi elektoral. Alih-alih mengusulkan penundaan, MPR perlu mendukung sepenuhnya terlaksananya agenda lima tahunan tersebut.
Alasan lain, yang ketiga, adalah DPR dan DPD perlu memperbaiki proses legislasi baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas, banyak persoalan dalam pembentukan undang-undang yang akhirnya produk tersebut dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Ada persoalan pelibatan partisipasi publik yang bermakna, aksesabilitas dokumen, akuntabilitas proses pembentukan undang-undang yang perlu direspons dengan baik.
Dalam catatan PSHK, perfoma pencapaian legislasi DPR belum memuaskan. Seperti disampaikan oleh Ketua DPR dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus lalu, DPR dan Presiden menyelesaikan 64 rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang selama periode 2019 hingga ditutupnya masa sidang ke-5 tahun 2022-2023. ”Apabila dibandingkan dengan jumlah RUU prioritas 2019-2024, yaitu sebanyak 259 RUU, itu baru mencapai 25 persen. Padahal sisa masa jabatan mereka tinggal satu tahun,” kata Violla.
Terakhir, tanpa adanya komitmen untuk menyempurnakan partisipasi publik yang bermakna, aksesabilitas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pembentukan undang-undang, menurut Violla, amendemen konstitusi dikhawatirkan hanya akan menjadi forum konsolidasi elite politik untuk melanggengkan kekuasaan melalui penyalahgunaan kewenangan konstitusional (autocratic legalism). Tanpa partisipasi publik yang bermakna dan penguatan ketatanegaraan, perubahan yang dilakukan hanya menghadirkan amendemen konstitusi yang inkonstitusional.