Pemerintah Siapkan Naskah Akademik Revisi UU Peradilan Militer
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan akan menyiapkan naskah akademik untuk merevisi UU Peradilan Militer. Mahfud meminta agar Kemenkumham usulkan revisi itu untuk Prolegnas 2024.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polemik penanganan kasus pidana yang melibatkan militer mulai menemui titik terang. Pemerintah menyatakan akan segera menyiapkan naskah akademik untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Hal ini pun disambut baik oleh kelompok masyarakat sipil.
”Saya kira, pemerintah akan segera menyiapkan naskah akademik (untuk revisi UU Peradilan Militer). Naskah itu akan menampung aspirasi yang lebih demokratis,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ditemui Kompas di Jakarta, Jumat (18/8/2023).
Mahfud pun meminta agar Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengusulkan revisi UU Peradilan Militer itu masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2024.
Mahfud menyatakan, revisi yang akan dilakukan terhadap UU Peradilan Militer tidak banyak, terbatas satu atau dua pasal.
Sejak pascareformasi, Ketetapan (TAP) MPR VII Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum jika melanggar hukum pidana umum. Ketentuan itu pun telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Hanya hingga kini, ketentuan itu belum dapat diimplementasikan mengingat ada Pasal 74 di UU TNI yang juga mengatur bahwa ketentuan tersebut berlaku setelah ada UU baru terkait peradilan militer.
Untuk itu, Mahfud menyatakan, revisi yang akan dilakukan terhadap UU Peradilan Militer tidak banyak, terbatas satu atau dua pasal. ”Itu tinggal membuat transitional law saja, bagaimana cara mengalihkannya. Pada waktu itu (sebelum 2023), mungkin belum dianggap penting untuk menjadi prioritas tahunan,” ujarnya.
Setelah dilakukan revisi, katanya, pelanggaran tindak pidana militer yang dilakukan prajurit TNI akan diproses peradilan militer, sedangkan pelanggaran tindak pidana umum diproses peradilan umum.
Desakan dilakukannya revisi terhadap UU Peradilan Militer antara lain karena munculnya polemik dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang melibatkan dua perwira TNI.
Polemik itu bermula saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Basarnas periode 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dalam kasus korupsi di Basarnas. Penetapan tersangka itu menuai protes dari Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI yang bersandar pada UU Peradilan Militer.
Diklaim didukung TNI
Mahfud pun mengungkapkan bahwa TNI juga ingin agar revisi UU Peradilan Militer segera terwujud. Hal ini agar tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI tidak membebani peradilan militer. ”Tindak pidana umum kok diserahkan ke (peradilan militer). Prajurit TNI yang menempati posisi sipil juga tidak banyak sebenarnya, hanya 10 (instansi). Masalah sebenarnya sederhana, hanya aturan-aturan,” katanya.
Ketika revisi UU Peradilan Militer telah masuk dalam Prolegnas Prioritas tahunan, lanjutnya, pembahasannya akan singkat. ”Saat (revisi UU Peradilan Militer sudah (dibahas), saya rasa tidak perlu dua masa sidang, tetapi satu masa sidang saja bisa (selesai),” ujarnya.
Adapun hingga kini, dugaan korupsi di Basarnas untuk tersangka dari perwira TNI masih dalam proses penyidikan Puspom TNI. Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono mengatakan, menurut rencana, dua anggota TNI itu bisa menempuh tiga opsi peradilan yakni militer, sipil, dan koneksitas.
Hasil akhir dari penyidikan Puspom TNI itu akan digunakan sebagai pertimbangan sistem peradilan yang akan ditempuh untuk dua perwira TNI yang menjadi tersangka korupsi di Basarnas. Sistem tersebut juga akan dipertimbangkan dan ditentukan bersama dengan KPK. ”Masih proses,” katanya.
Sebelumnya, KPK juga fokus menyelesaikan berkas perkara penyidikan korupsi di Basarnas. KPK pun berkolaborasi dengan Puspom TNI dalam proses penyidikan. Misalnya, 10 penyidik Puspom TNI datang ke KPK dalam rangka memeriksa tersangka pemberi suap untuk menjadi saksi penerima suap (Kompas.id, 11/8/2023).
Desakan untuk merevisi UU Peradilan Militer itu pun sejalan dengan hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menemukan bahwa 83,9 persen responden menyetujui UU Peradilan Militer direvisi.
Didukung publik
Desakan untuk merevisi UU Peradilan Militer itu pun sejalan dengan hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu yang menemukan bahwa 83,9 persen responden menyetujui UU Peradilan Militer direvisi. Masyarakat sipil menilai tidak ada alasan lagi baik bagi pemerintah maupun DPR untuk menunda revisi. Dengan demikian, amanat reformasi akan terpenuhi dan perlawanan terhadap korupsi tidak mati.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra, dan juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan ini mengapresiasi langkah pemerintah untuk segera menyiapkan naskah akademik revisi UU Peradilan Militer dan mengusulkannya masuk Prolegnas tahun 2024.
Dengan merevisi UU Peradilan Militer, katanya, sudah menunjukkan adanya keinginan serius pemerintah. Sebab, aturan itu sudah banyak melindungi anggota TNI yang menghadapi proses hukum.
Merujuk data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), selama periode Oktober 2021-September 2022 terdapat 65 perkara tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI dengan melibatkan 152 terdakwa. Namun, hukuman yang diberikan kepada terdakwa relatif ringan dengan mayoritas vonis berupa penjara dalam hitungan bulan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, jika revisi UU Peradilan Militer itu ditargetkan masuk Prolegnas Prioritas 2024, dibutuhkan kajian terlebih dahulu. ”Naskah akademik yang disiapkan pemerintah akan dikaji terlebih dahulu oleh DPR untuk melihat substansinya. Selain itu, pandangan dari fraksi partai lain juga dibutuhkan,” ujarnya.
Dalam konteks substansi, Taufik mendukung adanya UU Peradilan Militer yang menempatkan posisi yurisdiksi peradilan militer khusus untuk tindak pidana militer. Sementara tindak pidana umum perlu diadili di peradilan umum.