Koalisi Sampaikan Surat Terbuka agar UU Peradilan Militer Segera Direvisi
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan surat terbuka kepada Kemenko Polhukam agar UU Peradilan Militer segera direvisi. Saat ini koalisi juga siapkan materi untuk revisi undang-undang itu.
Oleh
HIDAYAT SALAM, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi Undang-Undang No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang-undang ini dinilai sering digunakan untuk memberikan impunitas kepada anggota militer yang terjerat tindak pidana umum.
Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), selama periode Oktober 2021-September 2022 terdapat 65 perkara tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI dengan melibatkan 152 terdakwa. Namun, hukuman yang diberikan kepada terdakwa relatif ringan dengan mayoritas vonis hanya berupa penjara dalam hitungan bulan.
Belakangan, kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan ditetapkannya dua tersangka perwira TNI aktif turut menimbulkan polemik.
Ada pula insiden puluhan prajurit TNI di bawah pimpinan Mayor Dedi Hasibuan, penasihat hukum Satuan Hukum Kodam I Bukit Barisan, yang mendatangi Polrestabes Medan pada 5 Agustus lalu. Namun, Puspom TNI AD menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana yang dilakukan Mayor Dedi dan rombongannya.
Sejumlah kasus hukum terkait prajurit ini mendorong Kontras, Setara Institute, YLBHI, PBHI Nasional, dan lain-lain yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendatangi kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Rabu (16/8/2023). Mereka menyampaikan surat terbuka agar pemerintah segera membahas rencana revisi terhadap UU Peradilan Militer dan memasukkan agenda revisi undang-undang ini ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional.
Lewat desakan itu, mereka juga menagih janji kepada pemerintah untuk merevisi undang-undang tersebut. Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sudah memberi sinyal positif revisi UU Peradilan Militer. Namun, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah belum mendorong revisi.
Pelaksana Tugas Kepala Divisi Hukum Kontras Andrie Yunus menuturkan, pemerintah masih belum secara jelas dan detail mengenai realisasi revisi UU No 31/1997. Sementara, undang-undang tersebut dalam implementasinya banyak kelemahan dan permasalahan.
Anggota TNI yang terlibat perkara hukum, baik pidana umum maupun pidana militer, selalu diproses dengan peradilan militer. Ia berpandangan peradilan militer tidak dapat memenuhi prinsip peradilan yang kompeten, imparsial, dan independen. ”Selama ini peradilan militer hanya dijadikan sebagai panggung sandiwara yang akhirnya melanggengkan praktik-praktik impunitas dengan vonis ringan yang diberikan,” katanya.
Andrie menambahkan, merevisi UU Peradilan Militer sudah sejalan dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 yang berupaya memotong kewenangan peradilan militer. Namun, hingga terbit UU No 34/2004 tentang TNI, UU Peradilan Militer saja masih berlaku.
Dalam Pasal 65 Ayat (2) UU TNI menyebutkan, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Namun, Pasal 74 UU TNI menerangkan bahwa Pasal 65 belum berlaku hingga UU Peradilan Militer baru terbit.
Tak hanya menyampaikan surat terbuka, koalisi masyarakat sipil juga tengah berupaya untuk segera merampungkan materi-materi yang berkaitan dengan revisi UU Peradilan Militer untuk disampaikan dalam audiensi. Rapat dengar pendapat kepada publik atau diskusi ilmiah juga akan dilakukan mengingat waktu pengajuan revisi UU untuk diusulkan masuk dalam daftar Prolegnas 2024 adalah pada November 2023.
”Pada prinsipnya kami akan terus mendesak agar Presiden mengeluarkan surpres (surat presiden untuk revisi undang-undang) dan mendorong revisi undang-undang ini dapat masuk ke dalam Prolegnas 2024,” katanya.
Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, menambahkan, terkait revisi UU Peradilan Militer oleh pemerintah atau DPR sudah pernah dibahas pada 2005-2009. Sayangnya, pembahasan ini berujung kebuntuan. Kebuntuan terutama lantaran pemerintah saat itu masih menginginkan proses penyelidikan dan penyidikan tetap dilakukan oleh institusi peradilan militer dan bukan sipil.
”Rentetan kasus yang melibatkan anggota TNI sekarang telah menjadi atensi publik. Kami mendorong agar DPR, terutama pemerintah segera membahas revisi undang-undang tersebut agar dapat memperbaiki struktur peradilan militer,” ujar Ikhsan.
Tak ada impunitas
Sebelumnya, seusai penyerahan pesawat C-130J Super Hercules, Selasa (15/8/2023), Kompas telah mencoba bertanya pandangan pemerintah mengenai revisi UU Peradilan Militer kepada Wakil Menteri Pertahanan M Herindra. Namun, ia enggan menjawab. Ia hanya sekadar melambaikan telapak tangannya sebagai bentuk penolakan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pengajuan revisi undang-undang tidak bisa tiba-tiba karena sudah ada jadwalnya. Ia menjelaskan, waktu pengajuan revisi undang-undang untuk diusulkan masuk dalam daftar Prolegnas 2024 adalah pada November. Sebelum ditetapkan, pemerintah dan DPR terlebih dahulu mendiskusikannya di Badan Legislatif (Kompas.id, 8/8/2023).
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono membantah ada impunitas bagi anggota TNI yang terlibat masalah hukum. Ia mengatakan, selama ini TNI sudah cukup tegas dalam menindak kasus korupsi di internal mereka. Ia meminta agar masyarakat sipil melihat permasalahan ini secara lebih umum dan jangan hanya secara parsial dan sepotong-potong.
”TNI sudah pernah memutus tegas kasus Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi divonis penjara seumur hidup tahun 2016. Kalau mau melakukan kajian, lakukan secara menyeluruh dan holistik, jangan tendensius atau mendiskreditkan TNI,” katanya.