Tirani Lebih Mudah Berkuasa jika MPR Jadi Lembaga Tertinggi
Gagasan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memperlihatkan bahwa politisi Indonesia tidak mampu membaca kemajuan politik, demokrasi, dan dinamika global.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik menilai gagasan mengembalikan Majelis Permusyawarakatan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara merupakan bentuk kemunduran demokrasi, bahkan akan mencabut kedaulatan rakyat.
Wacana mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. Ia menilai perubahan kedudukan dan fungsi MPR masih menyisakan persoalan, misalnya mengenai penundaan pemilu akibat kejadian di luar dugaan.
Selain itu, usulan untuk mengembalikan kedudukan MPR seperti era Orde Baru juga mengantongi dukungan dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Nyalla Mattalitti. Dukungan itu merupakan hasil keputusan Sidang Paripurna DPD pada 14 Juli 2023.
Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra saat dihubungi, Kamis (17/8/2023), mengatakan, pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia balik kembali seperti era Orde Baru. Langkah maju, misalnya, reformasi dan amendemen konstitusi yang sudah dilakukan berhasil mengembalikan kedaulatan ke rakyat.
”Saya rasa tidak pantas hal itu dilakukan mengingat masa jabatan anggota Dewan yang akan selesai. Sebab, wacana pengembalian mandat MPR butuh pertimbangan dan kajian dalam waktu yang tidak singkat,” ujarnya.
Kendati begitu, Herzaky mempersilakan wacana pengembalian mandat MPR diajukan ke publik. Apabila publik menerima, partai akan mendapatkan efek positif elektoral. Jika tidak, partai akan kehilangan suara dari publik.
(Apabila diterapkan) Implikasinya, kedaulatan tidak sepenuhnya ada di tangan rakyat karena diwakili MPR. Peluang tirani dan oligarki untuk berkuasa menjadi lebih mudah.
Perihal isu kedaruratan untuk menunda pemilihan umum dinilai sebagai urusan wakil rakyat periode berikutnya. Wacana itu bisa disampaikan sebagai gagasan dari bakal calon legislatif dari setiap partai.
”Parlemen seharusnya berfungsi untuk memastikan pemilu berjalan secara jujur, adil, tanpa adanya diskriminasi dan tekanan. Pemilu merupakan puncak kedaulatan rakyat. Kondisi ini sudah baik sekali,” ujar Herzaky.
Dalam kurun waktu satu tahun sebelum masa pemerintahan berakhir, lebih baik berfokus pada permasalahan krusial, khususnya yang berdampak langsung pada publik. Pejabat eksekutif dan legislatif saat ini, katanya, jangan sampai kehilangan fokus hingga akhir masa jabatannya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera menuturkan, usulan mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara butuh kajian yang mendalam. Hal ini dapat berdampak pada penghilangan kedaulatan dari tangan rakyat.
”(Apabila diterapkan) Implikasinya, kedaulatan tidak sepenuhnya ada di tangan rakyat karena diwakili MPR. Peluang tirani dan oligarki untuk berkuasa menjadi lebih mudah,” ungkapnya.
Juru Bicara Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi menyampaikan, pengembalian mandat MPR harus melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut juga perlu didukung oleh argumentasi hukum yang memadai agar tidak sembarangan.
”Namanya sebuah wacana, boleh saja untuk didiskusikan. Tapi, kembali lagi pada kebutuhan dan pengambilan keputusan melalui proses politik,” jelasnya.
Perihal penundaan pemilu akibat kondisi darurat dinilai jangan sampai menjadi keputusan sebuah lembaga. Hal teknis dan spesifik seperti itu perlu masuk dalam UUD 1945.
Gagasan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memperlihatkan bahwa politisi Indonesia tidak mampu membaca kemajuan politik, demokrasi, dan dinamika global. Pola pikir seperti itu tidak sejalan dengan visi kebangsaan yang harusnya semakin terbuka, akuntabel, dan partisipatoris.
Menatap ke depan
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, MPR sebaiknya menatap ke depan secara konstruktif ketimbang mengulang proposal yang tidak sejalan dengan aspirasi dan kehendak publik. Hal ini mengingat visi Indonesia Emas 2045 yang menuntut politisi untuk progresif dan terus berupaya memperkuat kapasitas demokrasi.
”Gagasan MPR sebagai lembaga tertinggi negara memperlihatkan bahwa politisi Indonesia tidak mampu membaca kemajuan politik, demokrasi, dan dinamika global. Pola pikir seperti itu tidak sejalan dengan visi kebangsaan yang harusnya semakin terbuka, akuntabel, dan partisipatoris,” ujarnya.
Pengaturan penundaan pemilu pada masa darurat, kata Titi, tidak bisa diputuskan tergesa. Klausul itu rentan penyalahgunaan untuk kepentingan pragmatis kekuasaan. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang komprehensif dari berbagai aspek, termasuk perhitungan dan simulasi konsekuensinya.
Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara membuatnya bisa memilih presiden. Hal ini dinilai kontra-progresif dengan visi bangsa dan karakter kaum muda yang dinamis serta partisipatoris.
Titi berharap, pada akhir masa jabatan, MPR bisa fokus dalam memastikan desain ketatanegaraan yang lebih transparan, akuntabel, partisipatoris dan bersifat antikorupsi. Hal ini agar tidak ada lagi kekecewaan akibat pembuatan aturan yang minim partisipasi publik.
”Apalagi sampai kasus-kasus korupsi politik yang menggerogoti praktik berdemokrasi dan pelayanan publik,” katanya.