Saat Para Pendiri Bangsa Menyunting Naskah Proklamasi
Saat merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa memilih kata demi kata dengan teliti. Seperti apa kisah penyuntingan naskah penting ini?
Naskah Proklamasi Indonesia tidak panjang. Substansi pernyataan kemerdekaan bangsa ini secara ringkas tetapi bernas, terangkum hanya dalam dua paragraf yang masing-masing terdiri atas satu kalimat.
Soekarno, sang proklamator, pun menyebut naskah Proklamasi itu pendek saja. ”Melihat makna kata-katanya, ia merupakan pernyataan yang umum,” katanya seperti tertulis di buku berjudul Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, otobiografi yang disampaikan kepada Cindy Adams.
Ada dua versi naskah proklamasi yang ”diwariskan” hingga saat ini. Naskah pertama berupa konsep yang ditulis tangan oleh Bung Karno. Adapun naskah kedua sudah dalam bentuk ketikan yang diketik Sayuti Melik.
Baca juga: Pena Bung Karno dan Kata-kata Abadi yang Dituliskannya
Kedua naskah proklamasi, baik autograf Bung Karno maupun ketikan Sayuti, memiliki substansi sama. Namun, ada beberapa detail pembeda di antara kedua teks proklamasi tersebut.
Perbedaan pertama, mengenai pemindahan kekuasaan, Bung Karno menuliskan ’Hal2’. Saat ditulis ulang dengan mesin tik, kata itu dituliskan secara lengkap menjadi ’Hal-hal’. Kata ’tempoh’ yang ditulis Bung Karno pun berubah menjadi ’tempo’ ketika diketik Sayuti.
Untuk keterangan tempat, waktu, dan penanda tangan, pada teks proklamasi yang ditulis tangan dituliskan ’Djakarta, 17-8-05’ dan di bawahnya diberi keterangan ’Wakil2 bangsa Indonesia’. Tidak ada tanda tangan dalam konsep tersebut. Pada teks proklamasi yang diketik tertulis ’Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun 05, dan di bawahnya termuat atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta’.
Adapun angka tahun ditulis atau diketik 05, menurut penjelasan dari Perpustakaan Nasional, hal itu dikarenakan pada 1945 Indonesia berada di bawah penguasaan Jepang.
Sehingga, kemudian bunyi naskah proklamasi Indonesia seperti berikut:
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahun 05.
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta
Adapun angka tahun ditulis atau diketik 05, menurut penjelasan dari Perpustakaan Nasional, hal itu dikarenakan pada 1945 Indonesia berada di bawah penguasaan Jepang. Saat itu Indonesia menggunakan tahun Jepang, yaitu sistem kalender Jimmu yang kala itu berangka tahun 2605 atau disingkat menjadi 05.
Naskah proklamasi ketikan Sayuti itu ditandatangani dua figur proklamator, Soekarno dan Mohamad Hatta, yang namanya tertulis di lembaran tersebut. Ada kisah tersendiri pula mengenai penanda tangan proklamasi ini.
Baca juga: Kisah Peranti Tulis dan Naskah Proklamasi
Harian Kompas, Sabtu, 16 Agustus 1969, memuat tulisan P Swantoro yang berjudul ”Saat2 Penentuan Rumusan Proklamasi- Kisah Satu Malam Jang Menentukan Masa Depan”. Tulisan di halaman pertama tersebut mengisahkan pula adanya semacam ”krisis” dalam menentukan siapa yang menandatangani naskah proklamasi.
Secara ringkas, awalnya Soekarno menyarankan agar proklamasi ditandatangani saja dengan kata-kata: ”Wakil-wakil Bangsa Indonesia”. Subardjo menduga yang dimaksud Sukarno dengan “Wakil-wakil Bangsa Indonesia” adalah para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun, dimungkinkan pula mencakup para pemuda kelompok Sukarni yang kala itu juga hadir.
Akan tetapi Sukarni ternyata menolak karena tidak rela kelompoknya dideretkan senapas, demikian tulis P Swantoro, dengan para anggota PPKI yang dianggapnya ”kolaborator Jepang”. Ruangan menjadi berisik ketika kemudian muncul usulan agar naskah proklamasi ditandatangani saja oleh semua yang hadir.
Sukarni menentang keras ide tersebut dan meneriakkan pendapatnya bahwa pihak yang tidak punya peran dalam mempersiapkan proklamasi tak berhak menandatanganinya. Menurut Subardjo, yang dimaksud Sukarni di sini adalah para pemuda yang ada di ruangan namun tidak termasuk kelompoknya.
Akhirnya, di tengah krisis, Sayuti Melik melontarkan gagasan. ”Saya kira tidak ada yang akan menentang kalau Soekarno dan Hatta yang menandatangani Proklamasi atas nama Bangsa Indonesia,” ujarnya yang kemudian diterima dengan aklamasi disertai tepuk tangan.
Menarik pula ketika mencermati adanya coretan-coretan pada naskah tulisan tangan Bung Karno, yakni di bagian yang kemudian diisi kata “pemindahan”.
Coretan di naskah
Menarik pula ketika mencermati adanya coretan-coretan pada naskah tulisan tangan Bung Karno, yakni di bagian yang kemudian diisi kata ”pemindahan”. Awalnya kata yang dipilih adalah ”pemindahan” yang lalu diganti dengan ”penyerahan” sebelum kemudian diganti lagi menjadi ”pemindahan”. Demikian pula pada kata ”diselenggarakan” yang semula ditulis tangan Bung Karno dengan kata ”dioesahakan”.
Penelusuran dari sejumlah pustaka menunjukkan bahwa perbedaan dalam kedua naskah ini bukan sekadar salah tulis. Ada hal substansial dan fundamental yang mendasari penyuntingan naskah proklamasi tersebut.
Latar belakang terkait pencoretan dan penggantian dari ”pemindahan” ke ”penyerahan” dan lalu kembali lagi ke ”pemindahan” ini ditemukan antara lain dalam buku Butir-Butir Padi, BM Diah (Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman)”. Merujuk buku tersebut, saat itu beberapa anggota PPKI keberatan memakai kata ”penyerahan” karena seolah menggambarkan Jepang harus menyerahkan kemerdekaan Indonesia. Padahal, kala itu Jepang harus mempertahankan status quo.
Baca juga: Istana Hadirkan Naskah Konsep Teks Proklamasi
Kata ”pemindahan” lantas dipilih karena dinilai lebih tepat sebab tidak mengandung tindakan agresif dan tidak dipaksakan. Kata ”pemindahan” juga dipandang mempunyai arti lunak, yakni menggeser sesuatu dari satu tempat ke tempat lain tanpa kesulitan atau kekerasan. Akhirnya, dipilihlah kata ”pemindahan” dalam naskah proklamasi tersebut.
Kata ”dioesahakan” yang dapat diartikan ada usaha Jepang kepada Indonesia pun diubah menjadi ”diselenggarakan”. Kata ”diselenggarakan” akhirnya dipilih karena mengandung arti bahwa kemerdekaan diselenggarakan sendiri oleh bangsa Indonesia.
Perumusan naskah proklamasi Indonesia mengungkap kisah pemilihan kata demi kata untuk menghasilkan pernyataan kemerdekaan yang bermutu tinggi dari segi keringkasan dan, utamanya lagi, ketepatan makna. Tiap kata benar-benar disaring sebelum kemudian dituangkan dalam naskah bersejarah tersebut.
Pentingnya pemilihan kata pun menjadi perhatian penyair angkatan 45, Chairil Anwar. Hal itu tecermin pada buah pemikirannya yang ditulis dalam selembar kartu pos bertanggal 8 Maret 1944 yang dialamatkan kepada RM Djojosepoetro di Paron. Di kartu pos itu Chairil menuliskan, ”Prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernwoord (Belanda: kata kunci), ke kernbeld (terjemahan bebas: gambaran inti)”.
Pentingnya pemilihan kata pun menjadi perhatian penyair angkatan 45, Chairil Anwar.
Ucapan Chairil ini secara eksplisit menggambarkan keseriusan dalam memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu hal. Sebentuk keseriusan yang pada 78 tahun silam juga dilakukan para bapak bangsa saat menyunting naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Dan, saat peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus 2023 di Istana Merdeka dan penjuru negeri, naskah tersebut akan kembali dibaca. Mari kita simak dan simpan kalimat-kalimat deklarasi kemerdekaan negeri ini tersebut di dalam dada. Dirgahayu Republik Indonesia.