Pena Bung Karno dan Kata-kata Abadi yang Dituliskannya
Pada 76 tahun kemerdekaan RI, banyak kenangan terlupakan. Salah satunya pena yang dipakai Bung Karno untuk menulis naskah Proklamasi 17 Agustus 1945. Ke mana pena yang dipinjam Bung Karno itu kini?
Menjelang 17 Agustus 2021, Hari Ulang Tahun ke-76 Republik Indonesia, sejenak kita menyimak lagi kisah Bung Karno saat menuliskan konsep naskah proklamasi. Kisah ini dapat kita baca dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Nukilan ini diambil dari edisi revisi yang diterbitkan Yayasan Bung Karno.
Tertulis di buku tersebut pernyataan ringkas, tetapi bernas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sublim, teramat indah. Pernyataan singkat bagaikan sulingan kalimat yang merangkum sekian panjang dan berat perjuangan demi merebut kembali hak untuk merdeka serta kemudian mengisinya. Mari kita simak kembali proklamasi negeri ini.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17-8-‘45
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Pernyataan ini, demikian kata Bung Karno, tidak dipahatkan di atas perkamen atau bahan lain dari emas. Kalimat-kalimat ini hanya digoreskan pada secarik kertas. Seseorang memberikan buku catatan bergaris-garis biru seperti yang dipakai pada buku tulis anak sekolah. Di lembaran kertas itulah, Bung Karno menuliskan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Baca juga : Istana Hadirkan Naskah Konsep Teks Proklamasi
Merujuk keterangan foto dari sumber Arsip Nasional RI, naskah proklamasi disusun dan kemudian ditulis di rumah kediaman Laksamana Tadashi Maeda (Jalan Imam Bonjol No 1, Jakarta, d.h Myako Dori), pada 16 Agustus 1945 hingga 17 Agustus 1945 dini hari, tepat 76 tahun yang lalu.
Mengenai alat tulis yang dipakai untuk menulis konsep teks proklamasi, Bung Karno menuturkan bahwa ”Kami juga tidak mencari pena bulu ayam sesuai tradisi. Siapa yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu.”
Kepada Cindy Adams, Bung Karno menyampaikan pula bahwa dirinya mengetahui para Presiden Amerika Serikat (AS) membagi-bagikan pena yang telah digunakan untuk menandatangani undang-undang penting. ”Tetapi aku, yang menghadapi momen penting dalam sejarah itu bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang,” kata Bung Karno.
Kami juga tidak mencari pena bulu ayam sesuai tradisi. Siapa yang sempat memikirkan soal itu? Kami bahkan tidak menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu. (Bung Karno)
Pena Presiden
Perihal kebiasaan para Presiden AS yang membagi-bagikan pena seusai menandatangani dokumen penting, seperti disampaikan Bung Karno dalam otobiografinya tersebut, sekarang mudah kita lacak. Salah satunya lewat kanal Youtube. Bahkan, melalui penelusuran di berbagai laman, kita pun dapat mengetahui detail merek hingga model pena yang acap digunakan para presiden di AS dalam kurun beberapa dekade terakhir.
Melalui penelusuran ini dapat kemudian diketahui bahwa menjadi semacam tradisi ketika beberapa presiden AS menggunakan pena bermerek Cross. Pena produksi AT Cross Company, manufaktur alat tulis yang berbasis di Providence, Rhode Island, ini pun dikenal sebagai presidential pen di Negeri Paman Sam.
Pena Cross dipakai Presiden Gerald Ford, Ronald Reagan, Bill Clinton, George W Bush, hingga Barack Obama. Mereknya sama, hanya modelnya yang terkadang bervariasi, antara satu presiden dan presiden lainnya.
Pena Cross juga sempat digunakan di Gedung Putih pada era awal Presiden Donald Trump sebelum kemudian dia berganti pilihan. Presiden AS saat ini, Joe Biden, kemudian kembali meneruskan tradisi para presiden terdahulu dengan menggunakan pena Cross tersebut.
Pulpen pemberian
Lalu bagaimana ikhwal alat tulis para presiden di Indonesia?
Guntur Soekarno, putra sulung Presiden Soekarno, pernah bercerita kepada Kompas. Pulpen yang biasa dipakai Bung Karno adalah merek Parker.
Pulpen mahal yang diciptakan sejak 1888 oleh George S Parker itu hanya beberapa batang yang pernah dibeli Sekretariat Negara. Selebihnya, pemberian atau oleh-oleh teman atau koleganya. Guntur menyebut, pulpen itu di antaranya dihadiahkan oleh seorang pengusaha penerbit buku dan teman Bung Karno, Masagung, Duta Besar RI Ali Sastroamidjojo, dan koleganya seorang duta besar asal AS dan lainnya.
”Kalau pulpen yang dipakai untuk menulis naskah Proklamasi, Bapak pernah cerita pinjaman. Tetapi, pinjaman siapa tidak tahu. Mereknya juga tidak tahu, zaman dulu, saya belum ada, he-he-he,” ujar Guntur yang disapa Mas Tok.
Menurut Guntur, sejumlah pena yang pernah dipakai Bung Karno itu, selain sudah menghasilkan naskah Proklamasi, juga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Jenderal Soeharto. ”Pulpen itu banyak dipakai bapak untuk menandatangani berbagai surat dan keputusan lainnya yang jumlahnya ratusan. Bapak tidak mau ganti-ganti atau pakai pulpen seperti kepala-kepala negara di Amerika Serikat dan Eropa, yang menggunakan tangkai pena dengan tinta China dalam bak tintanya,” ujarnya.
Bung Karno hanya mau memakai pulpen Parker. ”Saya ingat Parker bapak, karena kalau yang bekas-bekas bapak kadang berserakan di meja kerja atau kamar tidur bapak. Pernah saya ambil salah satu untuk menulis di sekolah. Saya akhirnya dihukum pak guru karena bohong pada bapak dan tidak izin. Hukumannya menulis ’Saya tidak boleh bohong kepada bapak’, dan pakai pulpen bapak tadi,” ungkap Mas Tok lagi, seperti diceritakan dalam bukunya, Bung Karno dan Kesayangannya (Karya Unipress, 1981).
”Tetapi, kalau nulis surat cinta, bapak nulis sendiri pakai pulpennya. Memasukkan surat dan kirim sendiri. Bapak tidak mau lewat sekretarisnya. Suratnya dimasukkan bapak ke pos surat yang ada di Istana (dahulu ada pos surat khusus untuk penghuni dan pegawai Istana, yang terletak di dekat garasi mobil-mobil Istana/kini dipakai untuk taman Wisma Negara),” ujar Mas Tok lagi.
Tetapi, kalau nulis surat cinta, bapak nulis sendiri pakai pulpennya. Memasukkan surat dan kirim sendiri. Bapak tidak mau lewat sekretarisnya. Suratnya dimasukkan bapak ke pos surat yang ada di Istana. (Putra Sulung Presiden Soekarno, Guntur Soekarno)
Adapun untuk presiden-presiden lainnya, ada beberapa informasi yang dapat coba dikulik dari beberapa sumber mengenai hal ini. Pada salah satu tulisan dan foto di laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, misalnya, tertera di Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti terdapat beberapa koleksi pribadi presiden Indonesia yang sudah purnabakti.
Salah satunya adalah koleksi pena Presiden Soeharto. Pena Montblanc. Alat tulis ini sekilas mudah dikenali dari noktah serupa bintang putih berpucuk landai di ujung pena. Marka di ujung pena itu melambangkan tutupan salju puncak Gunung Montblanc, gunung tertinggi di Pegunungan Alpen, perbatasan Perancis dan Italia.
Kembali ke koleksi di Museum Kepresidenan Balai Kirti, di Komplek Istana Bogor, terdapat pena berwarna kuning keemasan dengan ukiran grafir Montblanc Meisterstuck No 149 itu disebutkan biasanya terletak di ruang kerja Presiden Soeharto di Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Mantan Presiden atau wakil presiden lainnya juga bervariasi. Mulai dari Mountblanc atau Parker.
Pulpen yang biasa dipakai oleh Presiden Jokowi sehari-hari adalah pulpen sederhana. Harganya cuma Rp 29.000. Bisa mereknya Zebra F-301 Compact atau pulpen Pilot biasa. Pulpen ini yang dibawanya saat kunjungan kerja dan ditunjukkan kepada jurnalis. Namun, kalau untuk menandatangani surat keputusan atau surat-surat penting lainnya, seperti undang-undang, keputusan presiden, instruksi presiden, dan pengangkatan duta besar, pulpen yang digunakan berbeda. ”Presiden disiapkan pulpen Montblanc,” tandas pejabat di Sekretariat Negara.
Baca juga : Museum Kepresidenan Tambah Koleksi dari Dua Wakil Presiden Terdahulu
Dari Parker ke Pilot
Masih mengenai alat tulis tangan para pemimpin di negeri ini, salah satu kisah yang sejak bertahun lalu juga sempat menarik perhatian adalah kebiasaan Wakil Presiden Jusuf Kalla, akrab disapa JK, menggunakan pulpen Pilot. Pulpen ini pun terbilang masyhur, dikenal orang banyak, di dekade tahun 1980-an akhir hingga 1990-an.
Warga, termasuk anak-anak sekolah, yang pernah menggunakan Pilot di masa itu tentu masih ingat bentuk langsing pulpen atom (arti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: pulpen yang tidak perlu diisi tinta) dengan mekanisme ”klik” untuk mengeluarkan dan memasukkan batangan bolpoin tersebut. Mudah membayangkan kembali guliran bola mini di ujung runcing pulpen Pilot yang mengalirkan tinta dengan lancar di atas kertas.
Baca juga : Literasi Baca-Tulis Masih Relevan di Era Digital
Kepopuleran pulpen Pilot di mata warga tak pelak memantik perhatian publik ketika ternyata alat tulis ini digunakan oleh Wapres JK. Pilihan alat tulis Wapres JK kiranya membangkitkan romantika tersendiri bagi banyak orang yang dulu sering menggunakan pulpen Pilot. Warga serasa tidak asing dengan alat tulis ”sejuta umat” ini.
Rubrik Nama dan Peristiwa di Kompas, Selasa (30/12/2008), pun mencatat perihal pulpen Pilot-nya Pak JK ini. Pada paragraf terakhir rubrik tersebut, Andi Suruji, wartawan Kompas, menuliskannya demikian, ”Satu lagi kebiasaan JK, yakni selalu mengantongi pulpen merek Pilot, jauh sebelum dia duduk di pemerintahan hingga kini. Tak pernah terlihat dia mengantongi pulpen bermerek terkemuka dan berharga mahal walaupun ia tengah menghadiri forum internasional. Siapa lagi yang menyusul?”
Khazanah budaya Barat mengenal ungkapan man behind the gun. Ungkapan ini melukiskan bahwa fungsi alat ditentukan oleh orang yang menggunakannya. Boleh kiranya ungkapan itu sedikit dimodifikasi menjadi man behind the pen. Hal ini untuk menggambarkan bahwa fungsi pena pun ditentukan oleh orang yang menggunakannya dan oleh apa yang telah dituliskannya.
Bung Karno, Sang Proklamator, telah membuktikannya dengan menggunakan ”pena pinjaman dari seseorang" untuk menggoreskan naskah proklamasi negeri ini. Pena yang dipakai Bung Karno untuk menuliskan konsep naskah proklamasi tersebut memang sudah tidak diketahui lagi rimbanya karena tidak disimpan.
Namun, seperti disampaikan Bung Karno, kata-kata dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dituliskannya dengan pena tersebut akan abadi. Semoga panjang umur negeri tercinta. Dirgahayu Republik Indonesia.