Mayoritas Publik Setuju, Revisi UU Peradilan Militer Jadi Keharusan
Persetujuan mayoritas publik atas revisi UU Peradilan Militer, seperti terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang ”Kompas”, seharusnya mempercepat rencana revisi. DPR menanti pemerintah menginisiasi revisi tersebut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, seharusnya tidak berlama-lama untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Terlebih mayoritas publik menyetujui revisi undang-undang tersebut, selain karena revisi merupakan salah satu amanat Reformasi 1998. Atas desakan revisi tersebut, Komisi III DPR menanti inisiatif revisi dari pemerintah.
Mengutip hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-11 Agustus, sebagian besar responden (83,9 persen) menyatakan setuju dengan wacana revisi terhadap UU Peradilan Militer. Selain itu, mayoritas responden (93,1 persen) meminta agar semua kasus korupsi diproses di peradilan sipil, baik pelakunya militer maupun sipil (Kompas, 14/8/2023).
Revisi UU Peradilan Militer mengemuka setelah pengungkapan kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang melibatkan dua perwira TNI aktif, yakni Kepala Basarnas 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. Penetapan Henri dan Afri sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai protes dari Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI dengan alasan, mengacu UU Peradilan Militer, anggota TNI aktif yang melanggar hukum harus ditangani polisi militer. KPK pun menyerahkan dua tersangka itu ke Puspom TNI.
Jika ditarik ke belakang, wacana revisi UU Peradilan Militer bahkan sudah muncul pasca-Reformasi 1998 dan menjadi salah satu amanat reformasi. Kehendak merevisi juga terlihat dari lahirnya Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 yang berupaya memotong kewenangan peradilan militer. Namun, hingga terbit UU No 34/2004 tentang TNI, UU Peradilan Militer masih berlaku.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan, persetujuan mayoritas publik, seperti terlihat dari jajak pendapat Kompas, seharusnya mendorong pemerintah dan DPR untuk menyegerakan proses revisi UU Peradilan Militer.
”Itu merupakan aspirasi publik. Dengan demikian, tak ada lagi alasan bagi pemerintah dan DPR untuk menundanya. Publik ingin penegakan hukum yang transparan dan akuntabel di TNI,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (14/8/2023).
Revisi utamanya harus menegaskan bahwa semua kasus korupsi diproses di peradilan sipil meski pelakunya militer.
Selama ini, Dimas melihat, revisi tidak kunjung dilakukan karena tidak adanya kemauan politik pemerintah. Padahal, aturan di dalamnya sudah tidak relevan setelah lahirnya UU TNI. ”Sudah beberapa kali pergantian presiden, yang mana setiap rezim terus menggulirkan wacana revisi UU Peradilan Militer. Namun, itu tidak dibarengi dengan kemauan politis,” ucapnya.
Bahkan, menurut Dimas, revisi UU Peradilan Militer tidak pernah lagi masuk dalam Program Legislasi Nasional tahunan sebagai syarat pembahasan aturan perundang-undangan oleh pemerintah dan DPR.
Berdasar catatan Kompas, RUU Peradilan Militer pernah dibahas pemerintah dan DPR pada 2005-2009. Namun, pembahasan buntu karena Departemen Pertahanan (saat ini Kementerian Pertahanan) masih menginginkan proses penyelidikan dan penyidikan tetap dilakukan institusi peradilan militer, bukan sipil.
Lebih lanjut, menurut Bagus, tidak adanya inisiatif dari pemerintah untuk mengajukan revisi menunjukkan langkah mundur reformasi TNI.
Menunggu pemerintah
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, mengatakan, pihaknya menyetujui wacana revisi UU Peradilan Militer. Aturan itu perlu direvisi untuk menuntaskan amanat reformasi dan untuk mewujudkan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum antara sipil dan militer.
Hal itu sebenarnya sudah tertuang dalam Pasal 65 Ayat (2) UU TNI, yang menyebutkan, prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. Namun, Pasal 74 UU TNI menerangkan bahwa Pasal 65 belum berlaku hingga UU Peradilan Militer baru terbit.
Meski menyetujui revisi, Arsul mengatakan, DPR menunggu pemerintah untuk menginisiasi revisi. Alasannya, selain karena terkait dengan teknis peradilan, TNI berada dalam lingkungan kekuasaan pemerintah sehingga kurang tepat jika DPR yang menginisiasi wacana revisi.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memberi sinyal positif revisi UU Peradilan Militer. Namun, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah belum mendorong revisi.
Adapun Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menegaskan, pihaknya tunduk kepada aturan hukum. ”Kalau mau diubah dan sebagainya, ya, kami tunduk kepada putusan politik negara. Kami akan laksanakan,” katanya, Jumat (4/8/2023).
Aparat kepolisian beraktivitas di Markas kepolisian Resor Kota Besar Medan, Sumatera Utara, Senin (7/8/2023). Seorang tersangka ditangguhkan penahanannya oleh Polrestabes Medan setelah didatangi puluhan aparat Kodam I Bukit Barisan.
Insiden Polrestabes Medan
Terkait insiden puluhan prajurit TNI di bawah pimpinan Mayor Dedi Hasibuan, penasihat hukum Satuan Hukum Kodam I Bukit Barisan, yang mendatangi Polrestabes Medan untuk meminta penangguhan tersangka pemalsuan tanda tangan terkait pengurusan sertifikat tanah, 5 Agustus lalu, Puspom TNI AD (Puspomad) menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana yang dilakukan Mayor Dedi serta rombongannya.
”Setelah melalui pendalaman di Puspom TNI dan Puspomad, tidak ditemukan unsur pelanggaran,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal Hamim Tohari saat dihubungi, Senin (14/8/2023).
Akan tetapi, ia tidak bersedia mengelaborasi lebih lanjut hasil pendalaman itu. Pemeriksaan mereka kini dikembalikan ke Kodam I Bukit Barisan. Kepala Penerangan Kodam I Bukit Barisan Rico J Siagian mengatakan, Mayor Dedi dan rombongannya masih dalam proses pemeriksaan oleh Polisi Militer Kodam I Bukit Barisan.
Sebelumnya, Panglima TNI menyebut tindakan prajuritnya itu kurang etis. Mereka pun terindikasi melanggar peraturan internal, yakni perintah harian Panglima TNI (Kompas, 8/8/2023).