Merawat Memori Perjuangan Santri Membebaskan Negeri
Para ulama dan santri di masa perjuangan telah mendarmabaktikan diri membebaskan Indonesia dari penjajahan. Perjuangan mesti diteruskan, termasuk dalam menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kenangan terhadap perjuangan para ulama dan santri dalam memerdekakan Indonesia menyeruak di tengah Rapat Kerja Nasional Ikatan Pesantren Indonesia yang digelar di Gedung Srijaya, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (11/8/2023). Jejak sejarah sekaligus potensi sumber daya manusia yang ditempa di puluhan ribu pesantren kini bisa menjadi bahan bakar bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Ingatan akan getolnya para ulama dan santri untuk merebut kemerdekaan Indonesia itu mengemuka saat Ketua Umum Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) Abdul Muhaimin menyampaikan laporannya di hadapan hadirin. Begitu pula saat Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan sambutannya.
Abdul Muhaimin menuturkan, sejak masa prakemerdekaan, para ulama dan santri, melalui laskar berbasis pesantren, terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan sekutunya. Sebut, misalnya, Kiai Sumo Gunardo dan Kiai Subchi, mereka memberikan doa-doa pada bambu-bambu runcing yang digunakan untuk melawan senjata modern yang digunakan oleh para penjajah, baik di masa perjuangan sebelum kemerdekaan maupun saat perang mempertahankan kemerdekaan.
”Di Blitar, Ibu Gubernur (Khofifah), ada situs makamnya Kiai Manshur. Beliau yang nyuwuk (Jawa: merapalkan doa) tombak-tombak, bambu runcing, untuk melawan Belanda di tanggal 10 November. Mungkin sejarah ini perlu diungkap karena beliau keturunan Raden Sandiyo, (pesantren) Mlangi,” kata Abdul.
Baca juga : Kiprah Kebangsaan Kaum Nahdliyin
Para santri juga banyak terlibat dalam perang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semangat heroisme para santri memuncak dengan dikeluarkannya maklumat Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, tiga bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Resolusi itulah yang membakar semangat para santri untuk melawan sekutu hingga melahirkan pertempuran besar yang memuncak pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Sebuah peristiwa yang kemudian dikukuhkan menjadi Hari Pahlawan.
Abdul Muhaimin pun tak lupa menyampaikan potensi besar sumber daya manusia pesantren dalam berbakti kepada negeri di masa kini. ”Pesantren yang sekarang tersebar di 39.400 lokasi, baik yang sudah terdaftar maupun belum terdaftar karena persoalan administratif, di perkotaan maupun di ujung-ujung Nusantara, adalah potensi sumber daya manusia tangguh yang siap mengabdikan diri untuk berkiprah menyongsong masa depan Indonesia emas,” katanya.
Adapun Wapres Amin dalam sambutannya di Rakernas IPI tersebut menuturkan, pada masa lalu pesantren sudah sukses menghasilkan tokoh-tokoh agama yang memiliki ilmu mumpuni, cukup berpengaruh, dan bahkan sekaligus tokoh bangsa serta negara. Mereka sudah banyak berkiprah dalam menjaga dan mempertahankan bangsa dan negara.
Lahirnya Resolusi Jihad yang disponsori Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari itu merupakan bagian dari mas’uliyah wathaniah, tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan dari para ulama
Menurut Wapres Amin, para tokoh dari pesantren pun sudah dapat menyatukan tanggung jawab keagamaan serta tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan. Mereka sudah mengejawantahkan prinsip hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air sebagian dari iman, dalam berbagai aktivitas, termasuk dalam mempertahankan negara.
”Lahirnya Resolusi Jihad yang disponsori Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari itu merupakan bagian dari mas’uliyah wathaniah, tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan dari para ulama,” kata Wapres.
Sebelumnya, saat memberikan keterangan pers di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep, Jawa Timur, Rabu (9/8/2023), Wapres Amin mengatakan bahwa peran pesantren dalam politik nasional membentang bukan saja menjelang tahun politik atau pemilu, melainkan dijalankan sepanjang waktu.
Baca juga : Peneguhan Komitmen Kebangsaan Santri
”Pesantren itu sudah menanamkan—tidak saja menghadapi pemilu, tapi artinya sudah sepanjang masa—prinsip yang dibangun pesantren, (yakni) prinsip hubbul wathon minal iman, mencintai Tanah Air bagian dari iman,” kata Wapres Amin.
Semangat mencintai Tanah Air sebagai bagian dari iman ini pun terabadikan dalam lirik mars ”Syubbanul Wathon”, sebuah lagu karya KH Abdul Wahab Hasbullah. Baris pertama lagu karya salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut dalam bahasa Arab berbunyi, ”Ya lal wathon ya lal wathon ya lal wathon. Hubbul wathon minal iman”. Dalam bahasa Indonesia, lirik di baris pertama lagu tersebut berbunyi. ”Pusaka hati wahai Tanah Airku. Cintamu dalam imanku”.
Semangat nasionalisme dan kepahlawanan tergambar kuat di baris-baris selanjutnya, yakni ”Jangan halangkan nasibmu. Bangkitlah hai bangsaku. Indonesia negeriku. Engkau panji martabatku. Siapa datang mengancammu. Kan, binasa di bawah dulimu”.
Kontribusi santri
Kontribusi para santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pun diakui oleh pemerintah. Dan, melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015, kemudian ditetapkanlah tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Pada peringatan Hari Santri Nasional 2022 di Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (24/10/2022), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menuturkan, para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan perumus dasar negara Pancasila pada umumnya adalah komunitas santri.
”Kita mencatat KH Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama. Kita mencatat Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakir dari Muhammadiyah. Demikian juga Jenderal Besar TNI (Sudirman) merupakan produk dari komunitas santri pada saat itu. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian kita kenal sebagai tokoh-tokoh awal yang merintis dengan jiwa dan raganya sehingga terbentuk negara Republik Indonesia sekarang ini,” kata Busyro.
Baca juga : Amanat Jenderal Sudirman dan Inspirasi Perjuangan di Tengah Pandemi
Pada kesempatan tersebut, Wapres Amin menuturkan kiprah KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, dua tokoh santri dan ulama yang gigih berjuang semasa hidupnya, Kedua tokoh itu juga mendirikan organisasi kemasyarakatan Islam, yakni NU dan Muhammadiyah, yang kemudian menjadi tempat berkiprah para pengikutnya.
”Kalau mereka disebut sebagai mujahidin, pejuang-pejuang yang melahirkan kemerdekaan, maka kita juga harus menjadi mujahidin, tentu, dalam bentuk yang lain,” kata Wapres kala itu.
Menurut Wapres, hal yang mesti dijaga dari warisan mereka antara lain kesepakatan nasional, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini karena Indonesia didirikan berdasarkan kesepakatan nasional dari semua elemen bangsa. ”Dan, santri-santri, tokoh-tokoh santri ketika itu ikut mengambil bagian dalam penyusunan konstitusi negara kita,” katanya.
Sejarah mencatat, keberanian dan semangat berjuang yang dilandasi spiritualitas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ikhtiar para pejuang. Hal ini tergambar, antara lain, dari amanat perdana Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disampaikannya di Yogyakarta pada 18 Desember 1945 seusai diangkat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
”Hendaknya perjuangan kita harus didasarkan atas kesucian, dengan demikian perjuangan kita lalu merupakan perjuangan antara jahat melawan suci. Dan, kami percaya bahwa perjuangan suci itu senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan,” kata Sudirman dikutip dari buku Wawasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman.
Baca juga : Hari Pahlawan, Pidato Bung Tomo, dan Semangat Melawan Covid-19
Senada, keyakinan pada penyertaan dan perlindungan Tuhan pun tergambar pada pidato heroik Bung Tomo, terkait peristiwa 10 November 1945, saat menyemangati warga agar tidak gentar menghadapi ancaman tentara Inggris. Saat itu warga diminta menyerahkan senjata, membawa bendera putih, dan mengangkat tangan tanda takluk.
”Walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi mengancam kita, untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita. Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih (menjadi) merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga,” ujar Bung Tomo.
Saat menggelorakan semangat juang warga itu, Bung Tomo menyerukan bahwa lebih baik kita hancur daripada tidak merdeka. Tak lupa, Bung Tomo pun menyebut nama Tuhan saat menyalakan semangat warga di tengah perang, ”Semboyan kita tetap: merdeka atau mati. Dan kita yakin, Saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah Saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar. Merdeka!”