Masyarakat Cemas Polarisasi Berpotensi Berulang akibat Pemilu
Penegakan hukum terpadu menjadi harapan mencegah dan menangani polarisasi politik, politik identitas, dan politik uang. Semua demi Pemilu 2024 yang luber jurdil.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·2 menit baca
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat menjadi pembicara kunci dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu Wujudkan Pemilu Bersih di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/8/2023).
SURABAYA, KOMPAS — Masyarakat cemas polarisasi politik terjadi lagi dalam Pemilu 2024. Praktik pencemaran nama baik, fitnah, berita bohong, ujaran kebencian, dan politik identitas rentan mewarnainya. Penegakan hukum terpadu menjadi harapan mewujudkan Pemilu 2024 yang ideal.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Berdasarkan hasil sigi Kompas, 56 persen masyarakat khawatir akan terjadi perpecahan atau polarisasi akibat pemilu,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat menjadi pembicara kunci dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (8/8/2023).
Menurut Mahfud, perlu terus ditekankan politik identitas berbahaya bagi kehidupan bangsa dan negara. Pemilu, kata dia, mencari pemimpin bukan memecah belah kehidupan apalagi menciptakan permusuhan.
Mahfud melanjutkan, dalam kehidupan berdemokrasi, termasuk pemilu, potensi polarisasi akan terus ada dan terwujud dalam tindak pidana. Demokrasi menjamin hak warga negara termasuk penggunaan hak politik.
Namun, seseorang tidak bisa mengatasnamakan demokrasi untuk memecah belah kehidupan melalui fitnah, ujaran kebencian, politik identitas, berita bohong, dan politik uang.
”Ingat, para pendiri negara mengatakan, demokrasi harus ada temannya, yaitu nomokrasi. Ada kedaulatan rakyat, ada negara hukum yang selalu beriringan. Demokrasi dikembangkan sebaik-sebaiknya. Nomokrasi ditegakkan selurus-lurusnya,” kata Mahfud.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Fadil Zumhana, pemantik diskusi, mengatakan, penegakan hukum terpadu (gakkumdu) berperan penting mengupayakan pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
”Semua jaksa, selaku peneliti berkas perkara, saya minta dapat melaksanakan proses penegakan hukum yang bermartabat,” ujarnya.
Sentra Gakkumdu merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di dalamnya dinyatakan, untuk menyamakan pemahaman pada penanganan perkara tindak pidana pemilu, Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan membentuk Gakkumdu.
”Untuk menghalangi orang jahat memimpin negara ini,” kata Fadil.
Gakkumdu dalam pemilu mempunyai keterbatasan waktu dalam penanganan perkara sejak penyelidikan hingga peradilan. Keterbatasan waktu perlu menjadi atensi dan jangan dilihat sebagai alasan menangani perkara secara asal-asalan.
Sentra Gakkumdu, menurut dia, juga perlu segera menentukan suatu perkara merupakan tindak pidana atau bukan. Jika menjadi tindak pidana, perlu segera didorong pengumpulan alat bukti dan proses penanganan.
”Kami tidak segan menjatuhkan sanksi berat terhadap jaksa yang tidak netral dalam penanganan perkara pemilu,” ujar Fadil.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana mengatakan, pihaknya berupaya mendorong agar praktik politik uang bisa diantisipasi dan ditangani dalam pemilu. Ia tidak memungkiri uang diperlukan dalam kontestasi (pemilu).
”Akan menjadi masalah jika dalam pemilu tidak terjadi adu gagasan, tetapi adu kekuatan uang,” kata Ivan.
Ivan mengingatkan, perlu menjadi atensi bahwa ada kerentanan dana kampanye terkait dengan tindak pidana. Selain itu, peserta pemilu harus patuh melaporkan rekening khusus dana kampanye.
”Harapannya bisa mewujudkan pemilu bersih dari praktik politik uang dan koruptif,” katanya.