Setidaknya 56 persen responden jajak pendapat merasa khawatir akan adanya polarisasi pada masa Pemilu 2024. Pemerintah dan elite politik diharapkan punya komitmen serius untuk mencegah keterbelahan.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Kolong jembatan layang di kawasan Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dihiasi mural untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat atau hoaks, seperti yang ditemui pada Minggu (28/2/2021).
Polarisasi politik masih jadi kekhawatiran publik seiring kian dekatnya penyelenggaraan Pemilu 2024. Meski demikian, masyarakat memiliki modal sosial yang kuat untuk menepis ketakutan tersebut. Besarnya modal sosial ini harus dibarengi dengan komitmen dari pemerintah dan elite politik.
Besarnya modal sosial yang dimiliki masyarakat untuk menjaga persatuan saat tahapan Pemilu 2024 berlangsung dapat terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada pertengahan Juni 2023. Hasil survei menunjukkan, lebih kurang tiga perempat responden meyakini masyarakat bisa tetap bersatu di masa pemilu ini. Tidak hanya itu, sebagian dari responden bahkan sangat yakin akan terjaganya kerekatan antarmasyarakat.
Hingga kini, nuansa perpecahan akibat polarisasi politik memang belum terlalu dirasakan publik. Besar kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh masih sangat cairnya konsolidasi dan potensi koalisi politik. Masih dinamisnya konsolidasi elite ini membuat identifikasi dan identitas pilihan politik sulit tumbuh di akar rumput.
Tidak heran jika kemudian sebagian besar responden (65,9 persen) menyatakan situasi politik saat ini masih relatif tenang, meskipun hampir sepertiga responden lainnya mengaku telah melihat munculnya gejala-gejala polarisasi politik.
Masih belum memanasnya suhu politik ini dirasakan masyarakat karena perdebatan politik masih terlokalisasi di kanal-kanal daring. Tiga perempat bagian responden jajak pendapat mengaku telah melihat gejala polarisasi tersebut di media sosial. Beberapa contohnya ialah warganet yang saling menghina pilihan politik (30,9 persen), munculnya narasi politik kebencian (26,7 persen), dan mulai terlihatnya buzzer politik (21,5 persen).
Sementara itu, gelagat polarisasi politik di dunia nyata atau luring belum terlalu tampak. Hanya ada sekitar 3 persen responden yang melihat adanya gejala polarisasi di dunia nyata.
Kekhawatiran
Walaupun gejalanya belum dirasakan dalam taraf yang parah, bukan berarti publik tidak khawatir dengan polarisasi politik di masa pemilu. Hasil survei menunjukkan, sebagian besar responden menyatakan khawatir dengan potensi keterbelahan. Setidaknya lebih dari separuh responden (56 persen) merasa khawatir dengan adanya perpecahan di masa Pemilu 2024.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sebagian besar responden mengatakan, polarisasi politik, apalagi yang kemudian disertai narasi kebencian, berpotensi merusak demokrasi di Indonesia. Pengalaman di Pemilu 2019 menjadi catatan traumatis bagi sebagian besar masyarakat. Kontestasi pemilihan presiden kala itu sarat dengan tarik-menarik antarkubu pendukung capres.
Untungnya, selama satu tahun terakhir ini kekhawatiran masyarakat atas potensi polarisasi ini cenderung menurun. Sebelumnya, jajak pendapat Litbang Kompas pada akhir Mei 2022 merekam, sekitar 70 persen responden khawatir polarisasi yang terjadi akibat Pemilu 2019 berlanjut hingga Pemilu 2024. Sementara pada Juni, persentasenya turun menjadi 56 persen.
Meredanya kekhawatiran ini bisa jadi dipengaruhi oleh kian sempitnya jurang pemisah antara dua kubu yang dulu berkompetisi di Pemilu 2019. Hal ini pun terekam dalam hasil Survei Kepemimpinan Nasional (SKN) Kompas selama beberapa tahun terakhir.
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memproduksi surat suara Pilpres untuk kebutuhan Pemilu 2019, sebanyak 187.975.930 lembar surat suara.
Salah satu indikatornya bisa dilihat dari perbedaan tingkat keyakinan terhadap pemerintah antara pemilih Joko Widodo dan bukan pemilih Jokowi. Pada survei Oktober 2019, perbedaan tingkat keyakinan tampak kontras antara kedua kubu, yakni 81,3 persen untuk pemilih Jokowi berbanding 37,8 persen untuk nonpemilih Jokowi. Hasil pengukuran pada Mei lalu menunjukkan, perbedaan persepsi di antara kedua kubu menyempit, yakni 86 persen berbanding 55,4 persen.
Faktor polarisasi
Dalam melihat polarisasi politik, terdapat beberapa faktor yang dirasa paling berpengaruh sebagai penyebab utama. Dari survei kali ini terlihat bahwa toleransi atau sikap menghargai pilihan orang lain menjadi faktor paling penting yang harus dijaga untuk mencegah terjadinya keterbelahan. Lebih dari 27 persen responden menyatakan, sikap saling tidak menghargai atau intoleransi menjadi sumber utama perpecahan ketika pemilu.
Faktor kedua yang harus diwaspadai ialah hoaks atau berita bohong. Setidaknya 22 persen responden survei kali ini menilai hoaks menjadi faktor utama di balik polarisasi. Temuan ini selaras dengan hasil jajak pendapat pada Mei 2022 yang menunjukkan 21 persen responden merasa hoaks jadi faktor pendorong keterbelahan.
Lebih lanjut, publik juga menyoroti sikap para elite politik yang justru cenderung memecah belah masyarakat. Hampir seperlima responden meyakini, polarisasi politik disebabkan ulah politisi yang provokatif. Hal ini diperkuat juga dengan alasan lain, yakni munculnya fanatisme politik yang berlebihan (16 persen).
SUPRIYANTO
Ilustrasi pendengung,
Faktor lain yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah munculnya pendengung (buzzer) di media sosial. Pada survei Mei tahun lalu, lebih dari sepertiga responden menyebut buzzer ataupun pemengaruh (influencer) sebagai sumber persoalan utama. Meski jauh lebih kecil, masih ada 6,5 persen responden yang khawatir gulma media sosial ini akan memicu polarisasi politik pada pemilu mendatang.
Menjaga persatuan
Pada akhirnya, menjaga persatuan sebagai sesama anak bangsa menjadi keniscayaan. Dalam menjaga persatuan selama masa pemilu mendatang, masyarakat masih memberikan penekanan pada modal-modal sosial yang ada di akar rumput. Lebih dari 28 persen responden, misalnya, menyatakan perlunya saling mengingatkan untuk bisa menghargai pilihan politik masing-masing agar polarisasi tidak terjadi. Tak hanya itu, 23 persen responden lainnya juga menyampaikan pentingnya menghindari fanatisme politik.
Namun, publik juga berharap pada upaya pemerintah dan elite politik untuk turut menjaga kondusivitas. Hasil jajak pendapat menunjukkan, nyaris seperlima dari responden mengatakan bahwa para penyebar hoaks harus mendapatkan hukuman tegas agar keterbelahan bisa dicegah. Tindakan serupa juga diharapkan bisa dilakukan pemerintah kepada buzzer dan bahkan kandidat atau partai politik yang menyebar provokasi dan kebencian.
Maka, untuk bisa menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan dan inisiatif masyarakat. Dibutuhkan ketegasan untuk serius menghukum penebar kebencian, terutama di media sosial. Selain itu, dibutuhkan kesadaran politik para elite untuk tidak menggunakan cara kampanye provokatif yang bisa mengorbankan kepentingan umum.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Seorang pemulung melintas di depan tulisan bertema persatuan di kawasan Prumpung, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/1/2022). Nilai persatuan dan toleransi terus dipupuk warga untuk menjaga semangat persatuan dan kesatuan yang kini mengalami tantangan akibat polarisasi yang terjadi di masyarakat sebagai imbas pemilu.
Dengan modal sosial yang kuat dari masyarakat disertai komitmen serius pemerintah dan elite politik, bangsa Indonesia dapat terus optimistis menghadapi tantangan menepis potensi polarisasi politik.