Wapres Amin Ingatkan agar Pelecehan Seksual di Pesantren Harus Diakhiri
Pesantren semestinya menjadi lembaga pendidikan Islam yang melahirkan ulama berkualitas. Untuk itu, komitmen mencegah terjadinya kekerasan di pesantren harus menjadi upaya bersama.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan bahwa pesantren adalah aset bangsa dan khas Indonesia. Maka dari itu, upaya merusak pesantren oleh pelaku pelecehan seksual harus diakhiri. Sebagai aset bangsa yang bertugas melahirkan calon ulama, pesantren harus menumbuhkan para santri sebagai manusia berkualitas dan berkarakter baik.
”Sesuai dengan undang-undang, pesantren itu adalah pusat pendidikan dan ini saya kira tugas utama pesantren, menyelenggarakan pendidikan,” kata Wapres Amin saat meresmikan pembukaan Road Show Pondok Pesantren ”Menguatkan Karakter Pesantren Antikekerasan” yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aula Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten, Sabtu (29/7/2023).
Menurut Wapres, tugas pertama itu adalah menyiapkan orang yang memahami agama secara benar. ”Karena banyak sekarang orang bicara agama, tapi tidak mengerti agama,” ujar Wapres.
Pesantren ada untuk melahirkan calon ulama. Terlebih lagi, menurut Wapres Amin, lulusan pesantren semestinya mampu merespons beragam masalah yang terus berkembang sesuai zaman. Untuk itu, ulama yang dihasilkan pesantren haruslah ulama yang mengerti banyak masalah, bukan hanya masalah yang ada di kitab dan sudah ada jawabannya, tetapi juga masalah-masalah baru.
Untuk melahirkan calon ulama yang memiliki kualitas dan karakter demikian, pesantren perlu menjadi tempat mendidik dan membina para santri. Menjadi tempat yang memberikan pelajaran supaya santri bisa hidup sederhana dan kuat, rendah hati, dan memiliki karakter baik lainnya. Untuk itu, pesantren menyiapkan metode pembelajarannya.
”Di pesantren itu di-drill (berlatih secara berulang-ulang), dilatih, supaya punya hati yang bersih di dalam. Itulah pentingnya proses pendidikan itu,” tambah Wapres.
Dengan demikian, pesantren melahirkan sosok ulama yang bukan hanya berilmu, melainkan juga memiliki perilaku dan karakter baik. Namun, kata Wapres Amin, apabila ada kekerasan di pesantren, apalagi pelecehan seksual, hal ini merusak nama pesantren. ”Itu pesantren gadungan namanya, itu harus dihabisi, merusak nama pesantren. Ini namanya musang berbulu ayam, pura-pura jadi kiai, tapi merusak prestasi kiai, merusak pesantren. Ini yang harus kita awasi,” tuturnya.
Sebelumnya, kasus-kasus pelecehan seksual muncul ke publik, seperti kasus yang terjadi di sebuah ponpes di Desa Wonosegoro, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, pada 2019. Kasus serupa terjadi pada santriwati di ponpes di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada 2016 serta di Kabupaten Lampung Utara, Tulangbawang Barat, dan Lampung Selatan (Lampung). Selain itu, masih banyak kasus serupa terjadi, seperti di Kabupaten Malang, Jember, dan Jombang (Jawa Timur).
Wapres Amin pun menekankan perlunya pengawasan lembaga pesantren yang kini dilakukan lembaga masyayikh. Majelis Masyayikh dan penjamin mutu pendidikan pesantren di tingkat pusat dikukuhkan akhir 2021 oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Majelis ini menjadi perwakilan dan koordinator dari dewan masyayikh yang berada di setiap pesantren yang dipimpin seorang kiai atau nyai.
Wapres Amin pun menekankan perlunya pengawasan lembaga pesantren yang kini dilakukan lembagamasyayikh.
Sebagai aset bangsa yang khas Indonesia, menurut Wapres dalam sambutannya, semestinya pesantren bisa menjadi pusat pemberdayaan Islam seperti dulu.
Sebelumnya, dalam sambutannya, Ketua MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Amany Lubis menjelaskan, program Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI berupa road show ke pesantren-pesantren ini akan dimulai di tiga wilayah, yakni Tanara (Banten), Purwokerto (Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah), dan Bekasi (Jawa Barat). Program ini diharapkan bisa memberi literasi dan edukasi untuk mencegah kekerasan di pesantren dan lingkungannya.
”Road show dipadu wawasan moderasi beragama dan ekonomi kreatif. Karena pendidikan ilmu pengetahuan, wawasan akhlak, tidak akan menjadi baik bila ekonomi masyarakat tidak baik,” ujarnya.
Maka, mengukuhkan komitmen pesantren untuk membenahi berbagai aspek sekaligus menanamkan nilai-nilai akhlak menjadi penting. Beberapa nilai tersebut meliputi cinta belajar, tekun, mengendalikan diri, memupuk keberanian, tidak bergantung pada orang lain, mandiri, dapat diandalkan, menjaga kesucian diri, memiliki rasa hormat, mau memaafkan, tidak mementingkan kepentingan sendiri, dan memupuk kasih sayang.
Menurut Amany, para kiai dan guru di pesantren perlu memberi contoh. Menguatkan karakter antikekerasan serta mengedepankan kebaikan dan kesopanan di kalangan pengasuh pesantren sampai santri menjadi sangat penting.
Moderasi beragama
Ketua Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga MUI Siti Ma’rifah menambahkan, beragam kasus kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual sesungguhnya jauh panggang dari api. ”Sejatinya lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, tidak memiliki karakter demikian, tetapi mengajarkan nilai yang berakar pada tugas yang dilimpahkan Rasulullah,” katanya.
Tugas tersebut adalah memberikan rahmat bagi sekalian alam. Umat Islam sudah semestinya melanjutkan tugas ini.
Adapun upaya menghilangkan kekerasan di pesantren dipadu dengan penguatan ekonomi kreatif dan moderasi beragama. ”Akar masalah yang dapat menimbulkan kekerasan dapat diselesaikan dengan dua pendekatan, baik ideologis maupun pendekatan ekonomi. Pendekatan ideologis menyangkut paham keagamaan dan ekonomi menyangkut keadilan, ekonomi syariah,” ujar Siti Ma’rifah, yang juga putri Wapres Amin.