Pendanaan jadi urat nadi aksi terorisme, selain ideologi. Kemajuan teknologi kian mempermudah kelompok-kelompok teror menghimpun dana, baik lewat pendekatan sumbangan untuk berderma maupun membobol akun pengguna Paypal.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
Selain ideologi, faktor pendanaan merupakan urat nadi dalam aksi terorisme. Belakangan, kelompok teroris semakin bertransformasi dalam mencari pendanaan mulai dari jalur formal seperti mendirikan lembaga swadaya masyarakat, yayasan, lembaga pendidikan serta memakai kemajuan teknologi.
Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat dermawan dan murah hati menjadi sangat mudah dimanfaatkan jaringan teroris. Hal itu dilakukan dengan cara menyebarkan narasi-narasi untuk berderma.
Pendanaan terorisme jauh berisiko tinggi, bersifat jangka panjang, laten dan penentu terjadinya aksi terorisme. Aksi bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resor Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (5/7/2016), adalah salah satu contoh beberapa aksi teror dari proses mendanai dengan cara-cara narasi yang sesungguhnya mematikan itu.
Film itu mengisahkan sosok Munir Kartono, seorang mantan narapidana terorisme yang tertangkap dengan dakwaan pendanaan terorisme di Indonesia. Munir berperan sebagai sosok pencari dana melalui internet dengan proses skimming atau membobol data rekening nasabah. Di acara pemutaran film tersebut, Munir turut hadir bersama Noor Huda.
Di film itu diceritakan kembali bahwa saat lulus SMA pada tahun 2000 dan gagal dalam ujian masuk kampus negeri, Munir memutuskan masuk kursus desain grafis di Kota Bogor, Jawa Barat. Lembaga kursus itu dimiliki aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang pelan-pelan menarik dirinya ke dalam agenda politik HTI.
Narasi perlawanan terhadap sistem demokrasi yang digaungkan HTI membuat Munir berkenalan dan berteman akrab dengan Bahrun Naim, sosok tokoh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Narasi perlawanan
Sebelum terpengaruh narasi HTI, krisis moneter pada 1997 turut mengakibatkan permasalahan pada keluarga Munir. Masalah ekonomi mengakibatkan Ibunya terpaksa bekerja menjadi buruh pabrik. Atas kondisi tersebut, Munir menyalahkan bapaknya yang dianggap sebagai sosok yang tidak bertanggung jawab. Permasalahan pada keluarganya menyebabkan Munir makin menyalahkan pemerintah dan menyatakan sikap permusuhan terhadap pemerintah.
Narasi perlawanan terhadap sistem demokrasi yang digaungkan HTI membuat Munir berkenalan dan berteman akrab dengan Bahrun Naim, sosok tokoh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Asia Tenggara. Narasi perjuangan bahwa pencarian dana melalui internet merupakan bentuk jihad memukau bagi Munir. Keduanya melakukan aksi pencarian dana di internet selama 2010-2015.
Kemudian, Munir pula yang mencari dana untuk keperluan aksi bom bunuh diri di kantor Polres Kota Surakarta pada awal Juli 2016. Dalam aksi tersebut, seorang anggota kepolisian menjadi korban, yaitu Bambang Adi Cahyanto, yang kala itu masih berpangkat Brigadir Kepala dan bertugas sebagai anggota Provos Polres Kota Surakarta.
”Kelompok-kelompok teroris yang mencari pendanaan untuk melakukan aksi-aksi mereka ternyata telah bertransformasi. Tak hanya merampok, mereka juga memperoleh pendanaan melalui jalur-jalur formal seperti mendirikan LSM (lembaga swadaya masyarakat), yayasan, lembaga pendidikan, serta memakai teknologi baru seperti aset kripto,” kata Noor Huda, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian itu.
Noor Huda mengatakan, ada faktor penyebab pendanaan terorisme semakin kompleks. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya peningkatan dalam penggunaan teknologi internet untuk penggalangan dana (online fundraising), dan penyebarluasan narasi yang mendorong masyarakat berderma yang kemudian dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan terorisme. Narasi untuk berderma itu cukup ampuh mengingat masyarakat Indonesia dikenal sebagai komunitas yang murah hati.
”Kami menaruh perhatian kepada persoalan narasi yang dikembangkan oleh kelompok jaringan teroris untuk mendukung pendanaan terorisme,” ujarnya.
Noor Huda juga memberikan contoh sosok pencari dana untuk terorisme lainnya seperti Hendro Fernando, mantan narapidana terorisme. Hendro menjadi penyalur dana dari ISIS di Suriah ke Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso di wilayah operasi Poso, Sulawesi Tengah.
Diketahui, Hendro ingin menjadi bagian dari perjuangan Islam melalui jaringan ISIS di Indonesia. Narasi politik perlawanan terhadap sistem politik Indonesia yang dikembangkan oleh kelompok itu menggerakkan hati Hendro.
”Kedua orang ini (Munir dan Hendro), saya sebut sebagai credible voice atau orang yang memverifikasi pendanaan merupakan urat nadi dalam aksi terorisme, selain ideologi. (Cerita pengalaman) Mantan pelaku atau keluarganya ini menjadi penting dalam upaya pencegahan agar tak ada lagi yang terlibat pendanaan terorisme,” kata Noor Huda.
Kedua orang ini (Munir dan Hendro) saya sebut sebagai credible voiceatau orang yang memverifikasi pendanaan merupakan urat nadi dalam aksi terorisme, selain ideologi. (Noor Huda)
Munir mengaku tak pernah mengetahui aliran dana dan penggunaan yang telah dihimpunnya. Aksi bom bunuh diri di Polres Kota Surakarta itu membuat Munir sadar dan menyesali keterlibatannya dalam aksi teror tersebut. ”Saya ingin menjadi teladan bagi anak-anak saya,” ujarnya.
Orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana terorisme, terutama untuk pendanaan, tidak sedikit yang terpelajar dan paham teknologi. Apalagi dengan kemajuan internet, lanjut Munir, banyak hal bisa dimonetisasi, salah satunya game atau judi online. ”Saya melakukannya dengan internet seperti membobol akun PayPal nasabah. Saya mengambilnya tidak banyak hanya lima dolar per akun,” kata Munir.
Ketua Program Studi Islam Madani Universitas Paramadina M Subhi Ibrahim menuturkan, aksi terorisme membutuhkan narasi untuk legitimasi dan justifikasi atas tindakan tersebut. Sebab itu, narasi yang dikembangkan oleh kelompok teror tujuannya adalah untuk menjadi pembenaran atas tindakan yang mereka lakukan. ”Perlu adanya langkah mitigasi terstruktur dan efektif melibatkan seluruh pihak pemangku kepentingan dan masyarakat untuk menangkal narasi aksi teror dan pendanaan terorisme di Indonesia,” katanya.
Senada dengan Subhi, Noor Huda berharap adanya kesiapan masyarakat dalam menghadapi fenomena terorisme. Ia juga mendorong adanya desentralisasi penanganan pencegahan terorisme. Penanganan isu terorisme masih berkutat pada Jakarta sentris. ”Pengetahuan pusat dan daerah sangat jomplang. Padahal, kasus terorisme banyak muncul di daerah-daerah,” katanya.