Menerka Metamorfosis Jamaah Islamiyah
Pergeseran paradigma yang ditawarkan Kepala Densus dalam menangani Jamaah Islamiyah akan menjadi harapan hampa jika justru para elite bangsa ini menjadi pengkhianat Pancasila nomor wahid yang terus melakukan KKN.
Densus 88 panen besar pada Desember lalu. Pasalnya, 23 terduga teroris, termasuk pentolan Jamaah Islamiyah, Zulkarnaen alias Arif Sunarso dan Taufik Buluga alias Upik Lawangga, dibekuk sebelum mereka melakukan aksi.
Setelah hampir tiga dekade kemunculannya, inikah lonceng kematian bagi Jamaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi lokal berjejaring global ini? Apakah pendekatan keamanan seperti penangkapan, pengadilan, dan penjara memadai menghadapi kecanggihan gerak anggota JI yang mampu berbaur di masyarakat dengan baik ini? Perlukah pergeseran paradigma melihat kelompok JI?
Kontra hegemoni
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam konsep ”hegemoni” yang ditawarkan pemikir kiri Antonio Gramsci (1891-1937). Dalam Prison Notes Book, Gramsci menuliskan, ketika ada sebuah kekuasaan yang dominan (hegemoni), dapat dipastikan akan muncul kekuatan lain untuk melawan kekuasaan itu.
Proses pertarungan legitimasi kekuasaan ini disebut oleh Gramsci sebagai counter hegemony. Untuk melakukan kerja ”kontra hegemoni” ini, bagi Gramsci, diperlukan tahapan dan tahapan penggunaan brute force atau kekerasan kepada lawan politik haruslah dilakukan setelah melakukan tahapan pembentukan kebudayaan.
Baca juga: Jamaah Islamiyah Ubah Strategi agar Bertahan
Dengan kerangka pikir ”kontra hegemoni”-nya Gramsci ini, fenomena JI harus dibaca sebagai sebuah kompetisi narasi untuk menjawab pertanyaan fundamental berbangsa, seperti apa itu konsepsi ”negara dan warga negara”, bagaimana ”identitas dan kepemilikan (belonging)” serta ”loyalitas dan legitimasi” dalam bernegara itu dioperasionalisasikan.
Adapun aspek kultural JI yang dibalut narasi kontra hegemoni itu belumlah tergarap dengan baik.
Dengan mengusung narasi besar di atas, sulit rasanya membayangkan JI akan berakhir jika negara hanya mengandalkan pendekatan keamanan. Pendekatan keamanan tentu sangatlah penting. Namun, pendekatan ini hanya mampu meredam salah satu aspek gerakan JI, yaitu aspek militeristik mereka. Adapun aspek kultural JI yang dibalut narasi kontra hegemoni itu belumlah tergarap dengan baik.
Di sinilah letak daya lentur JI menghadapi pendekatan keamanan ini sangatlah jelas. Misalnya, setelah peristiwa bom Bali I tahun 2002, JI belajar bahwa penggunaan teror sebagai upaya mencapai tujuan politik adalah tindakan yang sangat merugikan JI. Dalam rapat evaluasi internal JI setelah bom Bali ini disepakati bahwa ”Indonesia belum siap dijadikan lahan jihad dan, jika dipaksakan, masyarakat luas justru akan memusuhi gerakan JI”.
Baca juga: Bukan Rumah bagi Terorisme
Berangkat dari kesadaran itu, JI mengubah cara kerja mereka dengan mengusung konsep ”jihad tamkin”. Ini adalah sebuah konsep gerakan yang ingin mengambil alih negara dengan rancang gerak jangka panjang dengan memadukan antara pembinaan teritorial, seperti dakwah dan pendidikan, serta pembinaan individu, seperti pelatihan militer.
Dengan tangan dingin Para Wijayanto, pemimpin JI yang tertangkap pada pertengahan 2019 di Bekasi, konsep ”jihad tamkin” ini dioperasionalisasikan dengan penguatan ekonomi JI. Sebagai mantan pekerja profesional terdidik, Para Wijayanto membuka usaha-usaha legal, seperti bisnis kelapa sawit dan juga pengumpulan dana infak masyarakat melalui lembaga sosial sayap JI, seperti Yayasan Abdurahman bin Auf. Dalam aspek pendidikan, menurut salah satu petinggi Densus, paling tidak ada 63 sekolah yang hari ini diduga berafiliasi dengan JI.
Bisa dikatakan, JI di era Para Wijayanto ini bertransformasi menjadi organisasi ”terbuka” dan ”modern”. JI merangkul banyak elemen umat Islam, terutama di kalangan LSM. Pola pendekatan baru JI ini dipilih untuk menarik simpati masyarakat luas. Tak berlebihan jika kemudian Para Wijayanto menaksir anggota aktif JI yang tersebar di seluruh Indonesia bisa sampai 6.500 orang.
Aturan organisasi JI pun jelas: ”Jika mereka sudah bekerja, maka 5 persen dari pemasukan mereka akan dipotong oleh organisasi untuk ’gaji’ para petinggi organisasi. Namun, jika ada anggota yang belum ada pemasukan, maka JI akan membantu mereka agar bisa mandiri”.
Baca juga: Polisi Ungkap Sumber Dana Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah
Dalam aspek militer, Divisi JI bersandikan ”Tholiah” aktif menjaga aset JI yang tersisa, seperti sosok Zulkarnaen dan Upik Lawangga. Divisi ini juga melakukan pengembangan kapasitas (capacity building) kepada para anggota muda mereka dengan mengirimkan program ”magang jihad” mandiri ke Suriah. Artinya, tujuan ke Suriah itu bukan untuk menjemput kematian seperti diidam-idamkan sebagian pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di sini, melainkan para kader JI ini harus memperluas jaringan internasional dan belanja ide baru.
Yang juga membedakan dengan pendukung NIIS, utasan JI ini gagah karena mereka membawa duit sendiri sehingga tidak didikte oleh kombatan di Suriah. Setelah magang kelar, mereka wajib mengembangkan apa yang mereka dapatkan itu di Indonesia di kemudian hari.
Dalam konteks ini terlihat bahwa ada proses regenerasi dalam tubuh JI.
Dalam konteks ini terlihat bahwa ada proses regenerasi dalam tubuh JI. Bahkan, JI mampu berkembang seperti korporasi yang sehat meskipun instrumen keamanan dan hukum disasarkan ke kelompok ini oleh negara. Wajar kemudian kita bertanya: ”Jangan-jangan, negara selama ini baru mampu menangani ’puncak gunung es’-nya saja?”
Pertanyaan ini dapat diartikan penangkapan yang terjadi itu hanya melemahkan anggota JI yang ”terlihat” karena mereka terlibat aksi langsung atau menyembunyikan informasi. Anggota JI yang ”tidak terlihat” belum dijamah sama sekali.
Baca juga: Kelompok Jamaah Islamiyah Diduga Masih Terus Merekrut Anggota
Lalu, apa iya mereka yang ”tidak terlihat” ini semua akan diproses hukum formal? Hari ini saja, penjara kita masih kelimpungan menghadapi masalah klasik overkapasitas dan minimnya SDM, terutama dalam hal rehabilitasi sosial tahanan. Belum lagi, JI bukanlah pemain utama dalam aksi terorisme di Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan, secara organisasi JI sudah enggan menggunakan teror.
Ada pemain teror baru muncul sejak deklarasi NIIS tahun 2014. Mereka itu terkait dengan Jamaah Anshorut Daulah (JAD), organisasi pendukung NIIS di Indonesia. Salah satu ciri utama anggota JAD adalah mereka ber-”sumbu pendek”. Proses perekrutan anggota JAD bisa cukup lewat internet. Dengan pola ini, mereka siap beraksi. Bisa dikatakan, gerak mereka mirip lone wolf atau serigala kesepian yang siap menerkam siapa saja yang dianggap lawan.
Jika sudah di penjara, anggota JAD ini seolah-olah menjadi ”panitia masuk surga”. Mereka dengan mudah mengafirkan petugas keamanan, psikolog, dan pekerja sosial yang ingin menderadikalisasi mereka. Intinya, mereka adalah kluster yang sangat berbeda dengan kluster JI yang diisi individu terdidik, santun, dan terkesan menghargai para petugas.
Pergeseran paradigma
Melihat kompleksnya masalah terorisme di Indonesia ini, Kepala Densus 88 Irjen Martinus Hukom menawarkan pergeseran revolusioner cara pandang dan pendekatan terhadap isu ini. ”Mereka ini orang-orang baik yang selama ini menjadi korban struktural dari proses pembangunan kita,” ujarnya dalam sebuah konferensi zoom yang diadakan universitas ternama di Jawa Timur. ”Densus 88 tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada kerja hulu dan hilir,” tambahnya.
Dari pernyataan di atas, barangkali, Kepala Densus pun menyadari bahwa JI akan hanya melemah sesaat. Konsep yang dibangun JI menghadapi regenerasi sangat adaptif. Misalnya, para tokoh JI pada dekade awal dipimpin alumnus Afghanistan dan dekade berikut dipimpin alumnus pelatihan militer Filipina selatan.
Baca juga : Penangkapan Upik, Tunjukkan Kelompok Jamaah Islamiyah Masih Eksis
Tak tertutup kemungkinan JI ke depan dipimpin alumni yang saat ini telah kembali dari Suriah. Mereka inilah yang akan meneruskan estafet perjuangan para senior mereka yang hari ini telah tertangkap.
Pergeseran paradigma yang ditawarkan Kepala Densus ini akan menjadi harapan hampa jika justru para elite bangsa ini menjadi pengkhianat Pancasila nomor wahid dengan melanggengkan praktik Orde Baru, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketika hal ini terus terjadi, jangan pernah bermimpi JI akan berhenti melakukan kompetisi narasi untuk menjawab pertanyaan fundamental berbangsa, terutama tentang identitas diri sebagai Muslim yang baik.
Noor Huda Ismail, Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura