Kelompok Jamaah Islamiyah Diduga Masih Terus Merekrut Anggota
Beberapa tahun terakhir, kelompok Jamaah Islamiyah tidak menunjukkan aksi terorisme karena menerapkan strategi baru. Strategi perekrutan dan pelatihan justru akan membuat kelompok ini berbahaya di masa mendatang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan terduga teroris Upik Lawanga dari kelompok Jamaah Islamiyah atau JI oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri patut diapresiasi. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir kelompok tersebut tidak beraksi, Polri diharapkan tetap mewaspadai pergerakan mereka.
Pada 23 November 2020, Densus 88 Antiteror Polri menangkap TB alias Upik Lawanga di Kabupaten Lampung Tengah, Lampung. Upik Lawanga merupakan murid dan dianggap sebagai penerus Dr Azahari dan telah masuk daftar pencarian orang (DPO) kepolisian sejak 2006.
Direktur International Association for Counterterrorism and Security Professionals Indonesia Rakyan Adibrata, Selasa (1/12/2020), mengatakan, penangkapan Upik Lawanga patut diapresiasi. Sebab, dia bisa menghindari kejaran aparat hingga bertahun-tahun.
”Upik Lawanga sebagaimana Para Wijayanto, adalah tokoh-tokoh JI yang lepas dari endusan polisi lebih dari 10 tahun. Sebagaimana penangkapan Para Wijayanto pada tahun lalu, penangkapan Upik Lawanga ini adalah kerja besar yang harus diapresiasi,” kata Rakyan.
Menurut Rakyan, dari penangkapan itu tampak bahwa organisasi JI masih tetap hidup dan berkembang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelompok JI justru tidak menunjukkan aksi terorisme karena menerapkan strategi baru.
Jika diamati, lanjut Rakyan, dalam beberapa tahun terakhir aksi teror dilakukan oleh teroris dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Sementara kelompok JI bergerak dengan melakukan perekrutan dan pelatihan, bukan melakukan aksi.
Menurut Rakyan, kelompok JI sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok JAD karena memiliki orang-orang yang berpengalaman, seperti Upik Lawanga. Melalui strategi berupa perekrutan dan pelatihan selama beberapa tahun terakhir, kelompok JI justru akan menjadi lebih berbahaya di masa mendatang.
”Kelompok JI ataupun JAD yang berafiliasi ke ISIS merupakan dua ideologi terorisme yang berbeda, tetapi akan selalu menjadi masalah di Indonesia. Tinggal kelompok mana yang akan mendominasi, apakah JI atau JAD. Yang pasti, ideologi penggunaan kekerasan dimiliki kedua kelompok itu sehingga keduanya sama-sama berbahaya,” tutur Rakyan.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Awi Setiyono mengatakan, sejak Para Wijayanto ditangkap Densus 88 Antiteror Polri pada 29 Juni 2019, Polri berhasil membongkar jaringan JI beserta menangkap tokoh penting JI. Mereka adalah terduga teroris yang berperan dalam pengendalian dan pendanaan JI.
Sejak Oktober sampai November 2020, Densus 88 Antiteror Polri berhasil menangkap 24 orang anggota JI ataupun tokoh JI. Mereka ditangkap di Jawa Tengah (4 orang), Jawa Barat (2 orang), Banten (1 orang), Jabodetabek (8 orang), Yogyakarta (1 orang), dan Lampung (8 orang).
Beberapa tokoh penting JI yang berhasil ditangkap ialah BY, pernah menjabat tahjiz yang mengendalikan aset dan sumber daya manusia organisasi JI. Selain itu, FS yang adalah pengurus Abdurahman bin Auf sebagai yayasan penyokong pendanaan operasi JI, serta E sebagai qoid atau pimpinan JI wilayah barat.
”Organisasi Jamaah Islamiyah ini merupakan organisasi yang sudah secara resmi terlarang karena berperan dalam sejumlah tindak pidana terorisme di Indonesia, seperti Bom Bali 1 dan 2, Bom JW Marriott, Bom Malam Natal tahun 2000, dan tindak terorisme lainnya yang telah mengakibatkan sekitar 2.000-an orang menjadi korban, baik meninggal dunia, cacat, maupun luka-luka,” ujar Awi.
Selain mengungkap jaringan JI, Densus 88 Antiteror Polri juga mengungkap jaringan Daulah Islamiyah di Gorontalo pada 27 November. Jaringan itu tergabung dalam sebuah grup di media sosial dengan jumlah tujuh orang.
Mereka berencana melakukan teror di beberapa lokasi. Rencana aksi itu, antara lain, menyerang markas polisi, kantor koramil, dan merencanakan perampokan terhadap anggota DPRD Gorontalo.