Saatnya Mencegah Media Sosial Dijadikan sebagai Jembatan Milenial dan Terorisme
Media sosial jadi salah satu sarana penyebaran ideologi terorisme. Media sosial mampu menembus sekat-sekat, seperti geografis, usia, waktu, serta dapat menyasar banyak orang sekaligus. Perlu upaya bersama mengatasinya.
Aksi teror yang terjadi di Gereja Katedral Makassar dan di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia menyentak publik. Terorisme masih menghantui negeri ini sekaligus membuka mata bahwa pelaku teror adalah anak muda yang lahir pada era tahun 1990-an. Mereka adalah generasi milenial.
Lantas, apa yang sebenarnya mendorong mereka untuk melakukan aksi teror? Sejenak saya teringat sebuah film dokumenter karya Noor Huda Ismail, yakni Jihad Selfie. Film tersebut menceritakan tentang kehidupan remaja 16 tahun yang berasal dari Aceh, Teuku Akbar Maulana.
Akbar adalah penerima beasiswa dari Pemerintah Turki untuk sekolah agama di International Anatolian Mustafa Germirli Imam Khatip High School di Kayseri, Turki. Sebagaimana generasi milenial pada umumnya, Akbar akrab dengan media sosial. Pergaulannya dengan media sosial itu pula yang kemudian turut berpengaruh nyata dalam kehidupannya.
Adalah kawan lamanya, Yazid, yang mengunggah foto di Facebook dengan berpose sambil membawa senjata AK-47 berdampingan dengan bendera NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah/ISIS). Demikian pula teman lain bernama Wildan yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Irak. Mereka berdua adalah warga negara Indonesia (WNI).
Hal itu memukau Akbar. Apa yang mereka lakukan dipandang sebagai sesuatu yang gagah, keren, dan membawa perubahan pada dunia. Terpincut, Akbar lantas menghubungi Yazid melalui Facebook Messenger dan Whatsapp.
”Dahsyatnya media sosial adalah pada saat terinfeksi ideologi itu pun tidak perlu dengan bertatap muka, tetapi itu sudah cukup mengubah pandangan seseorang,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar.
Baca juga : Penyebaran Terorisme lewat Media Sosial Menargetkan Anak Muda
Menurut Boy Rafli, media sosial menjadi sarana penyebaran ideologi terorisme yang masif. Sebab, cakupan media sosial tidak terbatas dan mampu menembus sekat-sekat, seperti geografis, usia, waktu, serta dapat menyasar banyak orang sekaligus.
Baca juga : Menyebar di Media Sosial, Peran Orangtua Penting
Sementara, lanjut Boy, pengguna internet di Indonesia sangat besar, yakni mencapai 202,6 juta jiwa per Januari 2021. Jumlah itu naik 15,5 persen atau 27 juta jiwa dibandingkan Januari 2020 dengan total jumlah penduduk 274,9 juta jiwa. Sekitar 80 persen dari jumlah itu memiliki akun media sosial.
Menurut Boy, penggunaan media sosial untuk menyebarkan paham ideologi terorisme yang menyasar orang muda telah disadari betul oleh penyebar propaganda tersebut. Mereka tahu orang muda memiliki idealisme, keberanian, dan energi yang besar. Sementara secara psikis, orang muda juga cenderung sedang mencari jati diri.
Baca juga : Sebaran Gaya Hidup Teror dan Ancamannya di Indonesia
”Dan kaum milenial itu kecenderungannya tidak selektif dalam menerima informasi. Jadi, ketika terperangkap tawaran ini, dia tidak merespons dengan kritis, melainkan larut dalam alam pikiran. Seperti virus, masuk ke pikiran, larut, kemudian dia terperangkap dan mengiyakan konsep-konsep atau gagasan-gagasan yang disampaikan oleh pihak-pihak yang melakukan propaganda tersebut,” tutur Boy Rafli.
Dalam peristiwa bom bunuh diri di depan gerbang Gereja Katedral Makassar dan peristiwa penyerangan di Mabes Polri, baik L (26) maupun ZA (25) termasuk golongan milenial. Mereka lahir tahun 1995. Namun, berbeda dari impian anak muda sebayanya, mereka ”berjuang” meraih mimpi yang ada di benak mereka.
Dalam laporan berjudul ”Tackling Terrorist’ Explotation of Youth” (Mei, 2019) yang ditulis Jessica Trisko Darden dari American Enterprise Institute yang juga asisten profesor di American University’s School of International Service disebutkan, peran orang muda sangat vital dalam mendukung banyak grup teroris. Peran mereka mulai dari yang tidak terkait langsung dengan aksi teror, yakni memasak, hingga menjadi kombatan di medan laga.
Alasan mereka bergabung dengan jaringan teror bervariasi. Ada yang bergabung karena ditipu, diperdagangkan, diculik, atau direkrut dengan paksa. Ada pula yang bergabung secara sukarela karena daya tarik identitas berbasis kelompok, janji kesejahteraan ekonomi, ketenaran, kemuliaan, atau rasa hormat. Penyebab lainnya adalah koneksi pribadi, termasuk jaringan keluarga dan pertemanan.
Sementara terdapat faktor lain yang menjadikan mereka rentan, yakni kedekatan geografis mereka dengan kelompok teroris, masalah ekonomi, persepsi marjinalisasi dalam sosial atau politik, paparan jaringan sosial yang permisif, dan paparan propaganda ekstremis. Tentu faktor tersebut berbeda-beda sesuai dengan konteks lokal.
Mengapa jaringan teroris merekrut orang muda? Menurut Darden, kelompok teroris memanfaatkan orang muda mulai dari fungsi pendukung, sebagai perekrut, penyebar propaganda, hingga menjadi kombatan. Secara individual, peran itu akan ditentukan dari usia dan jenis kelamin.
Meski di awal peran perempuan hanya sebagai pendukung, hal ini kemudian berubah. NIIS kemudian merekrut wanita berusia antara 18 dan 25 tahun ke dalam unit khusus wanita yang dikenal sebagai Brigade al-Khansaa yang menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk menegakkan hukum syariah.
Demikian pula dengan anak laki-laki atau laki-laki muda. Dalam beberapa kasus, anak laki-laki diperlakukan dan digunakan sebagai tameng manusia untuk menyelamatkan kombatan dewasa yang terlatih. NIIS juga memanfaatkan anak laki-laki sebagai kombatan bersama dengan laki-laki dewasa. Selain itu, anak laki-laki juga banyak ditampilkan dalam propaganda NIIS.
Menurut Darden, keterlibatan anak muda dalam konflik bersenjata bukanlah fenomena baru. Namun, banyak pihak belum menempatkan faktor kerentanan orang muda dalam perekrutan kelompok teroris sebagai perhatian utama. Terlebih terhadap anak perempuan dan wanita muda.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos berpandangan, anak muda telah cukup lama menjadi sasaran perekrutan karena jaringan teroris telah menyadari bahwa mereka harus melakukan regenerasi untuk bisa menyalurkan ide atau gagasan mereka.
Salah satu cara paling mudah untuk melakukan perekrutan adalah melalui internet, secara khusus media sosial. Penyebaran ideologi terorisme melalui internet di Indonesia banyak dilakukan oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
”Proses rekrutmen itu memang melalui internet. Mereka bahkan tidak saling kenal. Tetapi, di titik tertentu, dibutuhkan pertemuan fisik untuk mematangkan. Kalau yang belum matang tetapi melakukan aksi teror, itulah yang disebut lone wolf. Cirinya, belajar dari internet,” ujar Bonar.
Menurut pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, pada dasarnya orang muda atau yang sering disebut milenial berada pada masa pencarian identitas diri. Dalam konteks ini, kelompok teroris dapat memberikan identitas baru bagi mereka.
”Apalagi di masa pandemi ini semua lari ke internet. Kalau tidak ada literasi bahwa dunia maya dengan nyata itu berbeda, maka yang maya jadi tampak nyata. Inilah sebabnya anak muda masuk ke situ,” kata Noor Huda.
Menurut Noor Huda, para pengambil kebijakan mesti menerjemahkan literasi digital menjadi kebijakan yang lebih membumi dalam pencegahan penyebaran ideologi terorisme. Sementara peran orangtua menjadi sentral karena melalui keluarga, penanaman nilai berlangsung. Berikutnya adalah perkuatan nilai keindonesiaan melalui pendidikan.
Hal senada diungkapkan Boy Rafli. Menurut dia, pencegahan terorisme perlu dilakukan dengan membangun kesadaran mulai dari lingkup keluarga. Sebab, di sanalah salah satu tempat untuk menanamkan nilai-nilai sebagai bangsa Indonesia.
Semoga saja semua pihak bisa bergandengan tangan memutus mata rantai radikalisasi dan teror....