KPU Berkukuh Tak Buka Akses Penuh Silon bagi Bawaslu
KPU berdalih terikat pada sejumlah undang-undang. Bawaslu tetap bisa mengakses Silon KPU jika ada laporan pelanggaran terkait dokumen administrasi bakal caleg tertentu.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum atau KPU berkukuh memberikan akses terbatas kepada Badan Pengawas Pemilu terkait informasi seputar bakal calon anggota legislatif di Sistem Informasi Pencalonan KPU. Akses lebih luas akan dibuka setelah KPU merilis daftar caleg sementara dan daftar caleg tetap. Itu pun hanya bisa jika partai politik memberi persetujuan.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari berdalih akses tak dapat dibuka bebas sekarang karena terikat dengan berbagai instrumen hukum, seperti Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU Pelindungan Data Pribadi yang membuat KPU harus berhati-hati.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
KPU akan membuka informasi soal bakal caleg setelah pengumuman daftar caleg sementara (DCS), Agustus mendatang, dan setelah penetapan daftar calon tetap (DCT), November mendatang.
Namun, itu pun KPU harus meminta terlebih dulu persetujuan dari pimpinan partai politik (parpol) sebagai pengusung bakal caleg.
Berkaca pada Pemilu 2019, tak semua riwayat hidup (CV) calon dapat dibaca atau diunduh. ”Jadi, bukan tahun ini saja, bukan Pemilu 2024 saja,” ujar Hasyim.
Meski demikian, Hasyim memahami tugas Bawaslu sebagai pengawas pemilu.
Karena itu, selain memperoleh akses terbatas ke Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU, KPU dapat membuka informasi terkait bakal caleg tertentu lebih luas ke Bawaslu setelah ada laporan dugaan pelanggaran oleh bakal caleg tersebut. Semisal, ada laporan atau temuan Bawaslu soal indikasi ijazah palsu dari bakal caleg, KPU akan membuka akses informasi itu ke Bawaslu.
Kompas telah berupaya menghubungi Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. Namun, hingga berita ini dipublikasikan, ia tak merespons pesan yang telah dikirimkan.
Sebelumnya, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, pihaknya berusaha mempersuasi KPU guna membangun sinergi kedua lembaga. Sebaliknya, apabila tak ada kemajuan, Bawaslu akan menempuh jalur lain, seperti sengketa informasi atau melaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Saat ini kami melakukan pengawasan melekat untuk mengatasi kesulitan ini. Ternyata tidak dapat maksimal karena (untuk melihat data di Silon), kami dibatasi hanya 15 menit. Keterbatasan ini tentu memengaruhi kualitas mengawasi tahapan verifikasi administrasi bakal calon legislatif (caleg),” ujar Lolly (Kompas.id, 15/6/2023).
Menanggapi hal ini, mantan anggota KPU sekaligus peneliti senior Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mengatakan, KPU memang seharusnya memberi akses yang cukup kepada Bawaslu agar dapat mengawasi secara optimal.
Namun, Bawaslu juga semestinya tak hanya bergantung pada akses yang diberikan KPU. Mereka dapat mengawasi dengan mencari jalan lain. ”Karena, kan, mereka juga punya tenaga, punya struktur yang (ada) di mana-mana juga,” kata Hadar.
Selain itu, semestinya topik akses informasi ini sudah dituntaskan saat penyusunan rancangan peraturan terkait pencalonan anggota legislatif yang dibuat KPU. Bawaslu berkesempatan memberi masukan, bahkan menyengketakannya, seharusnya ruang ini dapat dimanfaatkan.
Peraturan ini juga tak lepas dari peran Komisi II DPR yang mengarahkan. Ketika peran tak optimal, situasi Bawaslu dalam melakukan pengawasan pun terganggu.
Sementara Ketua KPU periode 2012-2022, Arief Budiman, menyarankan agar penyelenggara Pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP, segera bertemu untuk membahas persoalan ini.
”Transparansi, termasuk Silon, penting bagi penyelenggara dan juga peserta serta pemilih. Seluruh penyelenggara pemilu harus transparan dalam setiap tahapan,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.