Penilaian Masyarakat Pastikan Pelayanan Publik Berintegritas
KPK ingin setiap layanan publik di setiap instansi dari pemerintah pusat sampai ke tingkat desa bisa langsung dinilai masyarakat. Selain itu, bisa dinilai warga negara asing.
JAKARTA, KOMPAS — Penilaian dari masyarakat dibutuhkan untuk memastikan pelayanan publik dilakukan dengan pasti, transparan, akuntabel, dan adil sehingga tidak ada suap. Penilaian ini menjadi cerminan sejauh mana kualitas layanan publik tersebut. Jika penilaian masyarakat masih buruk, perlu lebih bekerja keras dalam melayani.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, pelayanan publik yang berintegritas dan antikorupsi bisa terwujud apabila di setiap layanan pasti, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Jika setiap layanan prosesnya sama, tidak butuh suap.
”Kalau berkepastian, tidak perlu jalur tol, jalur langsung. Kalau sebuah (layanan) prosesnya sama, orang bisa memastikan prosedurnya, maka pasti orang tidak perlu suap. Itu integritas,” kata Ghufron saat membuka forum Sosialisasi Survei Penilaian Integritas (SPI) 2023 bertajuk ”Mengawal SPI demi Negeri” di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Forum ini dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi secara daring.
Untuk memastikan layananan publik berintegritas, kata Ghufron, dibutuhkan penilaian dari masyarakat. Cara ini diperlukan agar penilaian integritas tidak dilakukan secara subyektif. Alhasil, penilaian ini menjadi cerminan sejauh mana kualitas layanan tersebut. Apabila penilaian masyarakat masih jelek, perlu lebih bekerja keras dalam melayani.
Ghufron menegaskan, negara butuh dukungan dari publik. Jika kerja pemerintah tidak diterima dan dinilai baik oleh masyarakat, akan berat untuk proses peningkatan kualitas layanan.
Ia berharap SPI yang selama ini masih menjadi program rutin tahunan bisa ditingkatkan. Ghufron ingin setiap layanan di setiap instansi dari pemerintah pusat sampai ke tingkat desa bisa langsung dinilai oleh masyarakat.
Selain itu, Ghufron berharap SPI dinilai warga negara asing (WNA). Sebab, selama ini SPI baru dinilai oleh internal kementerian dan masyarakat. Penilaian dari warga negara asing sangat dibutuhkan sebagai pembanding Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International.
Menurut Ghufron, penilaian dari WNA akan berguna untuk memberikan gambaran kepada calon investor dari luar negeri. Ketika nilainya jelek, calon investor akan beralih ke negara lain.
Budi Arie Setiadi menegaskan, korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama. Pemerintah secara tegas telah menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Sepanjang 2022, KPK telah menerima 4.365 laporan gratifikasi dari kementerian, lembaga negara, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara (BUMN). KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara senilai Rp 46,5 triliun dan mengembalikan uang negara sebesar Rp 575 miliar.
Melihat budaya korupsi yang masih ada di masyarakat, Presiden Joko Widodo, kata Budi, telah mengembangkan budaya antikorupsi dan menumbuhkan rasa malu menikmati hasil korupsi sebagai bentuk pencegahan korupsi. Pendidikan antikorupsi harus diperluas untuk melahirkan generasi masa depan yang antikorupsi serta kualitas sumber daya manusia yang baik sebagai modal utama dalam pembangunan bangsa dan negara.
”Pemerintah juga telah melakukan pembenahan dengan melakukan reformasi birokrasi untuk mengurangi sampai menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi pemerintah serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat,” kata Budi. Salah satu langkah nyata tersebut, lanjut Budi, dengan membangun zona integritas untuk menilai keberhasilan dari reformasi birokrasi.
Budi menuturkan, SPI penting untuk menciptakan kesadaran terhadap risiko korupsi di pemerintah. Sebab, SPI akan dipublikasikan kepada masyarakat untuk mendesak adanya perbaikan sistem pada organisasi agar tidak ada celah korupsi lagi.
Pada 2022, hasil SPI menunjukkan Indonesia rentan korupsi karena mendapat skor 71,9 poin dari target 72 poin. Artinya, kesadaran penyelenggara negara dalam pencegahan korupsi masih rendah.
Sebanyak 1 dari 4 responden masyarakat pengguna layanan menyatakan pernah memberikan suap/gratifikasi atau menjadi korban pungutan liar (pungli). Penerima suap/gratifikasi/pungli tersebut rata-rata berusia 41 hingga 50 tahun dan sebagian besar korban pungli berusia 21 hingga 30 tahun.
Temuan lainnya, di lingkup pegawai, SPI mencatat 33 persen mengatakan adanya penyalahgunaan pengelolaan pengadaan barang dan jasa di instansi. Sebanyak 59 persen pegawai menyalahgunakan fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi dan 25 persen pegawai mengatakan risiko jual/beli jabatan di instansi masih tinggi.