Realisasi APBD Rendah, Rp 250 Triliun Belum Juga Dibelanjakan Pemda
Realisasi pendapatan kabupaten/kota baru 43,21 persen per 21 Juli 2023. Selain itu, realisasi belanja baru 35,41 persen. Angka itu masih jauh dari target yang dipatok pemerintah pusat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri mendorong pemerintah daerah segera mengoptimalkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD. APBD yang menjadi tulang punggung utama dalam menggerakkan ekonomi harus tersalurkan tepat waktu, baik program yang telah direncanakan maupun dana untuk masyarakat secara langsung.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro mendorong pemerintah daerah (pemda) segera mengoptimalkan realisasi APBD. Suhajar menyoroti capaian realisasi anggaran, salah satunya realisasi pendapatan tingkat kabupaten/kota yang baru 43,21 persen per 21 Juli 2023.
”Harusnya di bulan Mei sudah 50 persen dan bulan Juni akhir harusnya minimal sudah 58 persen, berarti Juli harusnya di atas 60 persen. Jadi, ada kekurangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis. Pernyataan tersebut disampaikan Suhajar pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Kemendagri, Jakarta, Senin (24/7/2023).
Ia meminta kepala daerah, sekretaris daerah selaku ketua tim anggaran pemerintah daerah, hingga tim intensifikasi pendapatan daerah untuk memantau realisasi pendapatan. Apalagi, berdasarkan data yang dihimpun Kemendagri, masih banyak daerah yang mengalami defisit APBD. Ia khawatir rendahnya realisasi tersebut justru disebabkan oleh target yang ditetapkan terlampau tinggi.
Ia juga mengingatkan pemda untuk mewaspadai penerimaan pendapatan. Jangan sampai pada akhir tahun, daerah terbebani program atau proyek yang sudah berjalan, tetapi uangnya tidak ada.
Selain realisasi pendapatan yang rendah, realisasi belanja di tingkat kabupaten/kota juga baru 35,41 persen. Padahal, pemerintah menargetkan realisasi belanja pada Juli sudah mencapai 60 persen. Menurut dia, masih banyak anggaran yang tertunda untuk dibelanjakan yang nilainya sekitar Rp 250 triliun.
”Nah, ini di mana tertundanya penyaluran dan penyerapannya, misalnya kalau kita tertunda membayar upah tukang, berarti buruh terlambat menerima uang. Kalau buruh terlambat menerima uang, maka uang jajan anaknya mau sekolah tidak dikasihnya. Jadi, ini mohon dampaknya luar biasa,” tuturnya.
Ia menegaskan, APBD merupakan tulang punggung utama untuk menggerakkan ekonomi. Karena itu, APBD harus tersalurkan secara tepat waktu, baik untuk program yang telah direncanakan maupun untuk masyarakat secara langsung. Hal itu termasuk pemberian bantuan sosial (bansos) dan berbagai dana insentif lain.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Nikson Nababan mengatakan, realisasi pendapatan daerah sulit meningkat karena banyak kewenangan dari pemerintah kabupaten yang dihapus, seperti pemberian izin usaha tambang galian C yang ditarik ke pemerintah pusat.
Menurut Nikson, pengelolaan izin seharusnya diserahkan kepada pemda sebagai bentuk otonomi daerah. Pemda hanya perlu diawasi oleh lembaga negara, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika ada izin yang dipersulit. Ia yakin, jika kepala daerah diberi otonomi dalam mengelola daerahnya, maka pendapatan daerah akan cepat naik.
”Kewenangan (pemda) itu agar pelayanan ke masyarakat semakin kuat. Investor tinggal satu pintu langsung ke kepala daerah. Kan, bisa cepat sebenarnya. Kalau ditarik ke (pemerintah) pusat, jadi lama karena numpuk di pusat,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, masih adanya proses tender dalam pengerjaan proyek membuat tidak semua keuntungan dirasakan oleh perusahaan di daerah setempat. Sebab, peserta tender ada yang berasal dari daerah lain. Padahal, tujuan dari APBD adalah agar perputaran uang digunakan di daerah setempat.
Ia berharap aturan tender dihapuskan. Aturan itu, menurut Nikson, juga membuat serapan APBD menjadi lambat karena prosesnya lama. Pemda baru bisa mengerjakan proyek tender pada Mei atau Juni sehingga proyek itu baru selesai pada Agustus atau September. ”Tender itu dihapus saja, biar penunjukan langsung. Jadi, persyaratannya saja diperketat,” ucapnya.
Selain diperketat persyaratannya, katanya, proses penunjukan langsung diawasi oleh KPK serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ketika ada peringatan, perusahaan yang mengerjakan proyek langsung diganti.
Nikson menambahkan, serapan APBD terlambat juga disebabkan oleh anggaran yang diterima pemda setiap triwulan. Selain itu, barang baru diunggah di e-katalog pada April atau Mei sehingga pemda tidak bisa membeli barang sejak awal tahun. ”(Kalau) Misalnya Desember 2022 sudah di-upload, jadi Januari (2023) sudah pembelian,” ujarnya.
Menurut dia, jika masih menggunakan pola yang selama ini ada, pemda baru bisa mengerjakan proyek pada Mei atau Juni dan selesai paling cepat pada Agustus atau September. Bahkan, banyak proyek yang menumpuk pada Desember.