Serapan Rendah, Dana Pemda di Bank Kian Menumpuk
Tingginya dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan berada di level yang mengkhawatirkan.
JAKARTA, KOMPAS — Belum optimalnya belanja daerah membuat simpanan dana pemerintah daerah di perbankan hingga akhir Mei 2022 mencapai Rp 200,7 triliun. Jika belanja daerah tidak segera diakselerasi, percepatan dan pemerataan pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19 akan terganggu.
Kementerian Keuangan mencatat, dana pemda yang berada di bank cenderung meningkat. Pada Januari 2022, saldo pemda di bank tercatat Rp 157,97 triliun.
Transfer ke daerah (TKD) dari pemerintah secara akumulasi dari Januari hingga 31 Mei 2022 telah mencapai Rp 284,25 triliun. Adapun realisasi belanja pemda pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejak awal Januari hingga Mei 2022 sebesar Rp 214,15 triliun. Lambatnya realisasi belanja jadi penyebab terjadinya penumpukan dana pemda di bank.
Dana pemda yang menumpuk di perbankan hingga Rp 202,35 triliun pada Maret 2022 merupakan efek dari belum optimalnya kinerja serapan belanja daerah.
Saat dikonfirmasi, Selasa (12/7/2022), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengakui bahwa tingkat endapan dana pemda di bank cukup mengkhawatirkan. Penumpukan dana pemda di perbankan merupakan efek dari belum optimalnya kinerja serapan belanja daerah.
”Belanja daerah yang belum optimal di antaranya disebabkan oleh menurunnya realisasi belanja rutin dibandingkan tahun lalu dan juga kinerja belanja modal yang belum optimal,” ujarnya.
Untuk mengurangi tumpakan dana pemda di bank, Kementerian Keuangan bersama Kemernterian Dalam negeri akan melakukan pemantauan dan evaluasi bersama. Kegiatan monitoring dan evaluasi akan dilakukan secara fokus kepada daerah-daerah yang memiliki kinerja belanja yang kurang baik.
”Percepatan belanja modal untuk menyerap tingkat komponen dalam negeri minimal 40 persen, terutama dari sektor UMKM, juga perlu didorong,” kata Astera.
Baca juga: Kas Daerah Tidak Boleh Diendapkan Terlalu Lama
Mulai tahun ini, pemerintah pusat telah meningkatkan interkoneksi antarsistem informasi dengan pemda untuk mengurangi jumlah laporan yang disampaikan dan memastikan keseragaman data untuk implementasi program.
Selain itu, kata Astera, untuk mengurangi jumlah dana pemda yang menumpuk di bank akan dilakukan penyempurnaan kebijakan pengelolaan keuangan daerah melalui aturan turunan Undang-Undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (HKPD), diant aranya berupa strategi peningkatan kualitas perencanaan, percepatan belanja, optimalisasi pengelolaan kas daerah, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan aparat pengawas internal daerah.
Sebelumnya saat melaporkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai hingga saat ini pengelolaan anggaran daerah masih belum tepat sasaran. Menurut dia, sebagian besar dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang terpakai digunakan untuk membayar gaji.
”Transfer kami (pemerintah pusat) ke daerah itu rutin, tetapi tetap daerah sekarang itu masih punya Rp 200 triliun di bank. Ini menggambarkan sebuah ironi di mana ada sumber daya, ada dananya, tetapi (program) tidak bisa dijalankan,” kata Sri Mulyani.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi belanja pemda hingga akhir Mei 2022 sebesar Rp 223 triliun. Realisasi ini turun 17 persen secara tahunan dibandingkan posisi Mei 2021 sebesar Rp 270 triliun.
Lebih lanjut, belanja sebesar Rp 223 triliun tersebut juga didominasi oleh belanja pegawai, yakni untuk menggaji aparatur sipil negara (ASN). Ia mencatat, pembayaran gaji mencapai Rp 113 triliun. Sementara itu, belanja modal yang notabene dianggarkan untuk infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, hanya Rp 12 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp 14 triliun.
Baca juga: Presiden Minta Percepatan Akses Keuangan Lebih Agresif dan Inklusif
Sementara itu, Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Agus Fatoni menilai tingginya dana pemerintah daerah yang mengendap di bank juga disebabkan oleh adanya tambahan dana yang bersumber dari pemasukan daerah.
”Bertambahnya dana di bank juga disebabkan bertambahnya pendapatan daerah. Dengan pemasukan yang bertambah, tentu kas pemda di bank akan meningkat juga jumlahnya,” ujarnya.
Meski begitu, Agus tetap mendorong pemda lebih mengoptimalkan penyerapan APBD. Kemendagri juga akan memberikan sanksi bila penyerapan APBD terlambat. Serapan anggaran dapat dilihat melalui dua sisi, yakni pendapatan dan belanja. Setiap daerah memiliki tingkat serapan berbeda-beda disebabkan oleh banyak hal, salah satunya terlambatnya dana transfer dari pusat ke daerah.
”Dalam mekanisme pemerintahan tentu ada sanksi, tetapi juga ada pembinaan. Kita berikan pembinaan dulu setelah itu diberikan sanksi, di antaranya penundaan dana perimbangan. Termasuk soal petunjuk teknisnya. Kalau petunjuk dari pusat segera turun, kegiatan cepat dilaksanakan, maka cepat terserap,” jelasnya.
Di sisi lain, kata Agus, terdapat juga kendala terkait sumber daya manusia, dengan adanya sejumlah pejabat yang belum memahami regulasi pengelolaan keuangan daerah. Karena itu, dia menekankan agar para pejabat yang ditempatkan di keuangan memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memandang persoalan dana pemda mengendap di perbankan merupakan masalah kompleks yang selalu terjadi. Akar masalah ini, menurut dia, tidak hanya dari pemda saja tetapi juga dari pemerintah pusat. Sebab, beberapa dana pemda yang ditransfer dari pusat ke daerah membutuhkan petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak).
”Sering kali juknis dan juklak ini telat diterbitkan oleh pemerintah pusat sehingga daerah pun menahan untuk belum mengeksekusi pos belanjanya. Takutnya nanti tidak sesuai teknis dan pelaksanaan jadi ditunda untuk sementara waktu. Itu dari sisi pemerintah pusat,” kata Yusuf.
Sementara, kata Yusuf, dari sisi pemda kerap ada masalah dalam optimalisasi realisasi belanja di daerahnya. Jika dilihat secara historis, pola belanja daerah biasanya baru akan tinggi di semester kedua karena proses tender membutuhkan waktu.