Intuisi Politisi dan Kecerdasan Buatan dalam Kontestasi
Caleg yang maju untuk DPR dituntut mengembangkan strategi. Survei elektabilitas, contohnya, digunakan untuk menarget kelompok masyarakat yang bisa datangkan suara. Jika salah memetakan, tak ayal bisa meleset.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Survei awal itu digunakan sebagai basis menentukan pemilih potensial dan isu yang ditawarkan kepada konstituen.
Mahadata sangat diperlukan dalam memenangkan kontestasi. Terlebih bagi caleg muda dan pendatang baru dengan dana kampanye yang terbatas.
Penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye bisa membuat ketergantungan caleg kepada parpol menurun. Sebab suplai data dan informasi dari parpol digantikan oleh teknologi.
Popularitas tak bisa dijadikan satu-satunya sandaran bagi calon anggota legislatif atau caleg untuk mendulang suara di pemilihan umum. Kenyataan itu dihadapi Muhammad Farhan, pesohor yang kini duduk di Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat. Hingga pada praktiknya ia harus mengembangkan strategi dengan melakukan pemetaan agar kelompok masyarakat yang dipilih tepat sasaran sehingga bisa mendatangkan suara.
Diakui Farhan, ada kalanya akhirnya ia hanya mengandalkan intuisinya. Namun, di tengah kemajuan teknologi informatika, pemetaan itu bisa dibuat lebih tajam lagi dengan mengandalkan kecerdasan buatan.
Dua tahun menjelang Pemilu 2019 lalu, Farhan menuturkan, memantapkan dirinya untuk ikut berkontestasi dalam pemilu legislatif dari Partai Nasdem. Berbekal pengalamannya sebagai pesohor dan pengurus Persib Bandung, ia meyakini bisa merebut satu kursi Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Jawa Barat I yang meliputi Kota Bandung dan Cimahi.
Ia pun menguji keyakinannya tersebut mengadakan survei. Hasilnya sangat mengagetkan, karena elektabilitasnya di dapil tersebut hanya 0,7 persen. ”Dari situ, saya tahu harus bekerja ke arah mana karena bisa diukur menggunakan data,” ujarnya seusai peluncuran platform Pemilu AI (platform kampanye dengan kecerdasan buatan) di Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Berbekal data itu, Farhan kemudian menyusun berbagai strategi yang tepat sasaran. Data awal itu dia gunakan sebagai basis menentukan pemilih potensial dan isu yang ditawarkan kepada konstituen. Usahanya pun tidak sia-sia karena pada Pileg 2019 ia mampu merebut satu kursi dari dapil Jabar I.
Di era modern, penggunaan mahadata menjadi satu hal yang sangat krusial dalam politik elektoral. Oleh karena itu, banyak politisi yang mencari data tentang perilaku pemilih sebanyak mungkin untuk bisa memenangi kontestasi. Kondisi ini juga memunculkan pendekatan-pendekatan politik elektoral berbasis data seperti survei dan melahirkan industri konsultan politik.
Sebagai politisi, Farhan mengakui kesulitan terbesar dalam memenangi kontestasi adalah pemetaan suara. Sebab, pemilih di dapilnya cukup beragam dan jumlahnya mencapai lebih dari 2 juta pemilih. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan yang tepat untuk menentukan pemilih potensial dan kebutuhan pemilih agar pendekatan yang dilakukan berjalan optimal.
”Suara dan aspirasi masyarakat menjadi kunci penting saat merumuskan sebuah strategi kampanye karena strategi kampanye yang kita lakukan sudah semestinya didedikasikan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat,” ujarnya.
Selama ini, Farhan mengaku, menggunakan strategi canvasing untuk memetakan basis suara. Ia membentuk tim pemenangan dan melakukan survei untuk melihat potensi suara. Terkadang saat reses, Farhan juga mengecek secara langsung kedekatan dengan pemilih yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Selama ini, Farhan mengaku, menggunakan strategi canvasing untuk memetakan basis suara.
Namun, strategi itu dinilai cukup mahal karena membutuhkan tim yang besar dan waktu yang cukup lama. Bahkan, terkadang hasilnya tidak cukup akurat antara laporan dari tim dengan verifikasinya secara langsung di lapangan. Salah satunya, program kampanye dan reses yang sering dilakukan di sebuah kecamatan di Bandung ternyata tidak memberikan penambahan suara yang signifikan.
”Kadang karena saya tidak punya waktu untuk membaca hasil pemetaan, akhirnya pengambilan keputusan berdasarkan intuisi,” tutur Farhan.
Kebutuhan data akurat
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menilai, mahadata sangat diperlukan dalam memenangi kontestasi. Terlebih bagi caleg muda dan pendatang baru dengan dana kampanye yang terbatas, data yang akurat membuat target sasaran kampanye semakin terarah. Dengan demikian, dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan suara sangat efisien.
”Saya tidak mau hanya mengandalkan canvasing karena butuh biaya besar dan prosesnya lama, tetapi belum tentu dipilih,” katanya.
Menurut dia, tantangan yang dihadapi politikus saat ini adalah pemetaan pemilih. Para politisi cenderung menduga-duga basis suara dan cara pendekatan yang paling efektif dan efisien. Penggunaan data masih sangat terbatas karena tidak semua politisi mampu memiliki data yang beragam untuk bekal sebagai pedoman merebut suara pemilih.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Philips Jusairo Vermonte mengatakan, pemilih yang beragam latar belakang membuat banyak isu mengalir ke permukaan. Hal ini membuat sebagian caleg terkadang kesulitan untuk menentukan isu prioritas yang menjadi fokus utama dalam kampanye politiknya. Dalam kondisi ini, penggunaan mahadata berbasis kecerdasan buatan cukup membantu caleg menentukan isu prioritas dan menyusun strategi kampanye yang tepat sasaran.
Lebih jauh, penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye bisa membuat ketergantungan caleg kepada parpol menurun. Sebab suplai data dan informasi dari parpol digantikan oleh teknologi yang bisa diakses langsung oleh para caleg. Pengenalan caleg kepada konstituen akhirnya menjadi lebih mudah diakses oleh seluruh caleg, tidak hanya yang menjadi elite parpol. ”Kampanye bisa dilakukan lebih konkret dan teknokratis sesuai kebutuhan masyarakat,” ucap Philips.
CEO Pemilu AI Luky Djani mengatakan, penggunaan kecerdasan buatan memudahkan caleg memiliki konsultan politik secara personal. Dengan berbekal data yang lengkap, peluang keterpilihan caleg semakin tinggi. Sebab, penentuan strategi tidak hanya berdasar intuisi, tetapi berbasis data yang diolah menggunakan kecerdasan buatan.
”Kecerdasan buatan dapat menganalisis mahadata, seperti data politik, data sosial ekonomi, data demografi, data profil persona caleg, hingga data media sosial dan media online dari daerah pemilihan. Penggunaan Pemilu AI bisa memberikan rekomendasi microtargeting strategi kampanye tepat sasaran yang sesuai dengan target suara, wilayah dan kelompok sasaran, serta persona caleg,” katanya.