Putusan KY Jadi Pembelajaran bagi Penyelenggara Negara
Sanksi berat nonpalu selama dua tahun terhadap tiga hakim PN Jakarta Pusat terkait putusan penundaan pemilu menjadi yurisprudensi dan pelajaran bagi penyelenggara negara lainnya dalam menjalankan tugas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
Majelis hakim meninggalkan ruang seusai sidang pembacaan putusan banding perkara perdata Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum terkait tahapan Pemilu 2024 di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (11/4/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Komisi Yudisial yang memberikan sanksi berat nonpalu selama dua tahun terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima untuk tidak melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dinilai tepat. Putusan ini sangat penting agar menjadi pembelajaran bagi penyelenggara negara agar tidak main-main dalam menjalankan tugasnya.
Kalangan masyarakat sipil telah menerima petikan putusan resmi dari Komisi Yudisial (KY) yang mengeluarkan putusan etik atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait putusan penundaan pemilu pada 1 Maret 2023.
KY melalui Petikan Putusan Nomor 0057/L/KY/III/2023 menyatakan hakim Tengku Oyong, H Bakri, dan Dominggus Silaban terbukti melanggar lima butir KEPPH dan menyatakan ketiganya dijatuhi sanksi berat nonpalu selama dua tahun. Putusan yang ditandatangani Majelis Sidang Pleno KY Mukti Fajar Nur Dewata tersebut dibuat atas laporan dari Nanang Farid Syam selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan Dewi Keadilan Indonesia.
Wadah Pegawai (WP) KPK mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan pernyataan sikap mereka atas teror yang menimpa dua unsur pimpinan KPK di Jakarta, Rabu (9/1/2019). Dari kiri ke kanan: Kabid Kerja Sama dan Humas WP KPK Putri Rahayu Wijayanti, Ketua WP KPK Yudi Purnomo, dan Penasihat WP KPK Nanang Farid Syam.
Nanang yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim dengan didampingi Themis Indonesia sebagai kuasa hukum mengapresiasi putusan KY yang telah menjatuhkan sanksi terhadap tiga hakim tersebut. Putusan ini jadi pembelajaran bagi penyelenggara negara untuk tidak main-main dalam menjalankan tugasnya.
”Tentu kami berharap ini jadi yurisprudensi sekaligus pelajaran bagi siapa pun, termasuk penyelenggara negara lainnya, untuk tidak main-main dalam menjalani tugasnya. Apalagi, mempunyai dampak jangka panjang bagi masa depan bangsa,” kata Nanang saat dihubungi di Jakarta, Rabu (19/7/2023).
Putusan ini dinilainya sebagai upaya untuk menegakkan marwah hakim. Selain itu, sebagai bentuk pengawalan konstitusi yang telah menggariskan agar pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Tentu kami berharap ini jadi yurisprudensi sekaligus pelajaran bagi siapa pun, termasuk penyelenggara negara lainnya, untuk tidak main-main dalam menjalani tugasnya. Apalagi, mempunyai dampak jangka panjang bagi masa depan bangsa.
Nanang juga berharap masyarakat sipil terus mengawal proses demokrasi ini. Jika tidak, maka akan terus mengalami krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, yang juga pendiri Themis Indonesia Law Firm, Feri Amsari, menilai putusan KY sangat tepat. Sebab, hakim telah melanggar peraturan Mahkamah Agung (MA), yakni menentukan yang bukan kewenangannya.
”Bagi saya, ini putusan penting untuk menjaga pemilu kita tetap berlangsung dan dunia peradilan tidak melampaui batas sehingga kemudian dapat merusak nilai-nilai demokrasi,” kata Feri.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari
Sebelumnya, Juru Bicara KY Miko Ginting menyatakan, KY sudah melakukan pleno pengambilan putusan terhadap ketiga hakim tersebut. Petikan putusan pleno tersebut sudah disampaikan oleh KY kepada pihak pelapor. Sementara putusan lengkap telah disampaikan kepada Ketua MA (Kompas.id, 19/7/2023).