Komisi Pemilihan Umum akan mengajukan banding atas putusan gugatan perdata PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para perwakilan pimpinan partai politik dan pimpinan KPU dalam acara Pengundian dan Penetapan Nomor Partai Politik Peserta Pemilihan Umum 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (14/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal. Atas putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum akan mengajukan banding. Dewan Perwakilan Rakyat juga menilai PN Jakarta Pusat mengambil keputusan melampaui kewenangannya.
Salinan putusan yang diterima Kompas menunjukkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh T Oyong dan hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban memutuskan menerima seluruh gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Adapun, Prima mengajukan gugatan karena tidak lolos dalam proses verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024.
Majelis juga menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum dan diperintahkan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta. Selain itu, KPU dihukum untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2024 sejak putusan ini diucapkan pada 2 Maret 2022 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari. Majelis juga menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad).
"KPU akan melakukan upaya hukum banding," ujar Ketua KPU Hasyim Asy'ari merespons putusan PN Jakarta Pusat, Jumat (2/3/2023).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari
Anggota KPU, Idham Holik, menambahkan, KPU tegas menolak putusan PN Jakpus sehingga akan mengajukan banding. Terlebih dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak ada penundaan pemilu. Namun, hanya dikenal istilah pemilu lanjutan dan pemilu susulan yang diatur dalam Pasal 431 hingga Pasal 433 UU Pemilu.
Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai, PN Jakpus telah mengambil keputusan melampauan kewenangannya. Sebab pemilu diatur dalam UU. Bahkan, Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan pemilu dilakukan secara reguler lima tahun sekali. Selama aturan belum diubah, pemilu harus terus berjalan.
"Jadi pengadilan bukan ranahnya PN untuk memutuskan penundaan pemilu. Oleh karena itu, putusan ini tidak relevan karena melampaui kewenangannya sehingga tidak mengikat," ujarnya.
Adapun Pasal 471 UU 7/2017 tentang Pemilu mengamanatkan, sengketa proses pemilu, termasuk di antaranya terkait penetapan parpol peserta pemilu dilakukan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) setelah upaya administratif di Badan Pengawas Pemilu dijalankan.
Wakil Ketua Umum Prima Alif Kamal mengatakan, Prima mengajukan gugatan ke PN Jakpus karena ada kesalahan dalam proses pemilu yang dilakukan KPU. Sebab Prima dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tahapan verifikasi administrasi sehingga tidak bisa melanjutkan ke tahapan verifikasi faktual untuk menjadi partai politik peserta Pemilu 2024. "Putusan KPU sangat merugikan kami sebagai calon peserta pemilu," tuturnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, dalam konstruksi hukum penegakan pemilu, PN tidak memiliki kewenangan absolut untuk memutus sengketa kepesertaan pemilu. Terlebih, Prima sudah menjalani ketentuan hukum pemilu, yakni melalui sengketa di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kedua jalur itu telah dilalui dan hasilnya tetap membuat Prima tidak bisa lolos menjadi peserta pemilu.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil.
"Dari awal mereka sudah selesai menempuh jalur penegakan hukum pemilu, tetapi kemudian membawanya ke PN. Sayangnya, majelis hakim PN Jakpus gagal memahami kewenangan absolut mereka, karena PN tidak boleh mengadili persoalan administrasi pemilu," tuturnya.
Menurut Fadli, permintaan Prima untuk menunda pemilu sangat aneh dan tidak tepat. Sebab petitum Prima sama sekali tidak meminta untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu atau setidaknya memberikan perintah kepada KPU untuk memverifikasi ulang.
"Kalau itu ada (verifikasi ulang), masih relevan dibawa ke PN karena mereka masih mengupayakan menjadi peserta pemilu. Tetapi kalau yang diminta penundaan pemilu, jadi aneh ini," katanya.
Sebab, lanjut Fadli, pemilu hanya bisa ditunda dalam mekanisme pemilu lanjutan atau pemilu susulan. Itu pun harus diawali dengan kondisi yang limitatif, yakni ada kerusuhan, bencana alam, dan gangguan keamanan yang membuat sebagian atau seluruh tahapan pemilu tidak bisa dijalankan.
"Tidak ada pemilu ditunda karena persoalan salah satu parpol tidak memenuhi syarat, atau pemilu ditunda karena ada kesalahan KPU dalam proses administrasi pemilu. Jadi penerapan hukumnya sudah banyak bermasalah," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Fadli, KPU harus mengajukan banding dan men-challenge putusan tersebut. Selain itu, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung harus mensupervisi pengadilan di bawahnya agar tidak membuat pelanggaran kewenangan absolute yang serius. "Ada kesalahan penerapan hukum yang sangat vatal dalam putusan ini," katanya.
TANGKAPAN LAYAR
Jeirry Sumampow
Koordinator Komite Pemilih Indonesia dan Koordinator Komunitas Pemilu Bersih Jeirry Sumampow menilai, putusan PN Jakpus berlebihan, bahkan melebihi kewenangan pengadilan. Substansi putusan PN Jakpus bertentangan dengan UUD 1945, bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait dengan pasal yang mengatur bahwa pemilu harus dilakukan lima tahun sekali dan pasal terkait dengan masa jabatan presiden lima tahun.
"Mestinya tak ada kewenangan PN Jakpus untuk melakukan penundaan pemilu. Jika putusan tersebut diikuti akan mengacaukan tahapan pemilu yang telah berjalan," ujarnya.
Dalam kasus ini, lanjut Jeirry, jika KPU dinilai melakukan kesalahan atau pelanggaran, cukup hak Prima dalam tahapan verifikasi yang dipulihkan atau memberikan sanksi kepada KPU. Putusan itu tidak tepat jika masalah ada di tahapan verifikasi parpol, tetapi semua tahapan harus ditunda. Selain tidak ada kepastian hukum, hal ini bisa menjadi ruang politik untuk menciptakan ketidakstabilan demokrasi. "Bisa repot kita jika banyak putusan seperti ini," katanya.